Kamis, 11 November 2010

Tersenyumlah.. :D

Aku akan selalu tersenyum
Walau badai menghadangku
Aku akan selalu tersenyum
Walau musibah menginjakku
Aku akan selalu tersenyum
Walau hati ini terluka perih
Aku akan selalu tersenyum
Walau kegelapan menyelimuti lubukku
Aku akan selalu tersenyum
Walau hujan deras dan petir-petir mengguyurku
Aku akan selalu tersenyum
Walau api-api berkobar membakar jasmani
Aku akan selalu tersenyum
Walau makhluk-makhluk yang melata di Bumi ini memusuhiku
Aku akan selalu tersenyum
Walau ombak ganas menerpaku
Aku akan selalu tersenyum
Walau sinar matahari sadis menyengatku
Aku akan selalu tersenyum
Walau sang bintang telah pergi jauh meninggalkanku, bahkan tak kembali lagi

Aku akan selalu tersenyum...
Walau perih...

Rabu, 10 November 2010

Karena Inilah Hidupku

Ketika aku ingin memasuki suatu taman
Taman indah yang penuh kebahagiaan
Taman asri penuh warna
Taman subur penuh senyuman
Taman hijau penuh tawaan
Mengapa kalian mencegatku?


Ketika aku diberi sayap untuk terbang
Aku ingin menari-nari dengan bintang-bintang kecil yang berkilau
Aku ingin menyentuh awan putih bak kapas
Aku ingin bertengger di Bulan
Aku ingin melukis di cakrawala yang luasnya sejauh mata memandang
Tapi, mengapa kalian mematahkan sayap tersebut?


Ketika aku berusaha untuk mempersembahkan yang terbaik buat sobatku
Membuatnya menjadi tersenyum
Membuatnya menjadi tertawa
Membuatnya menjadi bahagia
Tapi, mengapa kalian membuat hatinya terluka perih?


Gerak-gerik kalian itu memang terserah pada kalian
Tetapi gerak-gerikku juga terserah padaku
Apa yang kalian perbuat kepadaku selama ini kepadaku...
Aku tidak bisa berdiri tegak di atas panggung kehidupan
Wajahku selalu dialiri sungai air mata setiap langkahku
Aku selalu dikelilingi oleh awan-awan kegelapan
Aku tidak bisa berlari di jalan kebahagiaan


Terserah apa yang kalian mau
Tapi terserah juga apa yang aku mau
Karena, ini adalah HIDUPKU

Selasa, 02 November 2010

F.L.Y.


Bab 1 : Aku dan Hamid


Sang mentari mulai muncul, terbit dari ufuk Timur, menyinari dunia. Elokan bukit-bukit hijau satu per satu mulai terlihat. Burung-burung mulai berkicau merdu dan indah. Ada yang beterbangan kesana-sini, meramaikan suasana bentangan langit biru. Jendela-jendela dan pintu-pintu rumah mulai dibuka. Orang-orang pun mulai keluar untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang menyapu halaman, mengurus ternaknya, menyiram bunga, menyiram motor...ehh...mencuci motor, dan lainnya. Anak-anak pun mulai berangkat sekolah dan berlari-lari gembira. Suasana Desa Bukit Berbaris sangat nyaman dan tenteram.
“Kukuruyuuuk....”, ayam pun berkokok, melainkan beker yang bersuara kokoknya ayam. Aku langsung terbangun, setelah lelah berpetualang di alam mimpi. Jam menunjukkan pukul 06.00 pagi. Aku langsung melompat untuk bersiap-siap sekolah.
“Bang.., makan dulu, nih sarapannya”, kata Nenek sambil menunjukkan 2 roti bakar ketika Nenek melihatku berlari tergesa-gesa.
“Maaf, Nek! Aku sudah telat...”, kataku langsung menyambar 2 roti itu dan lalu kulalap bulat-bulat.
“Astaghfirullahal’adziim.... kalau kamu tersedak gimana???”, ujar Nenek prihatin.
Setelah aku kunyah cepat-cepat dan langsung kutelan, aku pun minum segelas susu yang sudah disediakan.
“Nenek, pergi dulu, ya!”, kataku sambil mencium tangan Nenek. Setelah salam, aku langsung menaiki sepedaku dan berangkat, menuju ke sekolah...!
Perkenalkan, namaku Safir. Aku duduk di kelas 1 SMA, berumur 14 tahun. Aku bersekolah di sekolah swasta yang berbasis internasional, Sekolah Fatmawati, yaitu tepatnya di tengah kota di daerah Jawa Barat. Bukannya menyombongkan diri, ya..bahwa sekolah ini hanya menerima orang-orang yang pintar otaknya saja. Lagipula, sekolah ini menyediakan beasiswa untuk sekolah di luar negeri seperti Singapore, Australia, Inggris, bahkan Amerika! Sekolah ini juga berbeda dengan sekolah lain. Masuk jam 08.00 pagi. Setiap hari Sabtu dan Minggu libur.
Alhamdulillah Allah telah memberiku otak yang encer. Kalau bukanlah karena otakku, pasti dari TK pun aku bakalan belajar di sekolah dekat perdesaan, sekolah yang (maaf..tapi kenyataan) kualitasnya rendah. Dan Ayah tidak mau anaknya belajar di sekolah itu.
Ya sih..walau sekolah perdesaan itu jaraknya dekat. Sedangkan sekolahku berada di tengah kota. Demi menuntut ilmu, aku harus rela mengayuh sepeda berjarak tiga kilometer untuk pergi dan pulang sekolah. Kalian pasti sudah bisa menebak, bahwa aku tinggal di daerah perdesaan. Ya, aku tinggal di Desa Bukit Berbaris, desa dekat perkotaan, walaupun memang jauh dari rumah ke sekolah, bahkan jaaauuuuh banget! Aku hanya tinggal bersama Kakek dan Nenek. Ibu sudah pulang ke rahmatullah ketika aku masih berusia 12 tahun, pas melahirkan adik perempuanku. Kini, adikku, Zahro, berumur 3 tahun, belum sekolah. Ayah bekerja menjadi tukang kuli bangunan di luar kota, yaitu di Surabaya, dibantu dengan kakak laki-lakiku, Hasan, yang sudah lulus SMA. Setiap bulan, Ayah akan mengirimkan uang untuk mencukupi kebutuhan kami, terutama biaya sekolahku yang cukup mahal.
Kakek adalah seorang peternak. Ayam, bebek, kambing dan sapi adalah hewan yang Kakek ternak. Dan penghasilan dari hewan-hewan itu akan Kakek jual untuk menghasilkan uang.
Aku punya sahabat di sekolah, namanya Hamid. Kami bersahabat sejak kelas 1 SMP. Waktu itu, ia adalah anak baru di sekolah. Awalnya, teman-teman hanya memandangnya biasa-biasa saja. Suatu hari, ada salah satu anak di kelasku menyuruhnya untuk menceritakan tentang keluarganya. Ternyata, Hamid adalah anak indo. Ibunya dari Jakarta dan Ayahnya dari Singapur. Ayahnya adalah direktur pengusaha terkenal, dan sangat dekat dengan pejabat-pejabat, bahkan punya sahabat yaitu orang pejabat juga! Dia sudah pernah diajak ayahnya untuk keluar negeri sejak kecil. Sedangkan ibunya memiliki toko kue yang sudah membuka cabang di kota-kota besar. Karena itu, keluarganya kaya raya.
Setelah mendengar cerita itu, keesokkan harinya, Hamid langsung disambar teman-teman. Teman-teman pun jadi banyak yang ingin berteman dengan Hamid. Bahkan, banyak perempuan-perempuan yang suka dengannya (prikitiww..).
Awalnya Hamid menerima saja teman-temannya yang ingin berteman dengannya. Tapi, beberapa minggu kemudian, Hamid jadi tidak mau berteman dengan banyak orang lagi, soalnya mereka hanya memanfaatkan kekayaannya saja. Hamid tidak suka dimanfaatkan, apalagi kekayaannya. Berarti tidak ikhlas, kan bertemannya. Jadi, Hamid sering menyendiri. Jika ada salah satu temannya mengajaknya, Hamid menolak dengan halus.
Suatu hari, ketika sedang belajar, tiba-tiba dari speaker di kelas memberitahukan bahwa aku dipanggil kepala sekolah, guru yang terkenal paling galak. Pandangan teman-teman yang tadinya ke arah papan tulis, langsung tertuju ke arahku. Aku langsung cemas. Guruku juga menatapku dengan cemas. Jangan-jangan disuruh denda lagi karena aku telah memetik bunga iseng-iseng, dan tukang sapu di situ telah melihatku terus sama dia diadukan ke kepala sekolah, gumamku. Akhirnya aku langsung keluar kelas dan menuju ke ruangan kepala sekolah.
Sampai di ruangan kepala sekolah..., tok, tok, tok! Aku pun mengetuk pintu.
“Silahkan masuk, Safir!”, kata Pak Wisnu, kepala sekolah, dari dalam ruangan dengan suara bass dan garangnya. Aku pun masuk. Kemudian, Pak Wisnu mempersilahkan aku untuk duduk
“Safir, sebelumnya saya mau memberitahu kepadamu bahwa hari ini kamu didenda karena telah memetik bunga sembarangan”, beritahu Pak Wisnu. “Tapi...hari ini saya tidak akan memberi kamu denda. Saya memberi kamu dispensasi. Jadi, jangan diulang lagi, ya perbuatanmu ini!”
“Iya? Terima kasih, Pak!!”, seruku girang. Hampir saja mau lompat sampai tembus ke atas. “Emang kenapa, Pak?? Emang hari ini hari ultah Bapak? Atau ada kebahagiaan yang menimpa Bapak?”
“Justru tidak. Hari ini hari yang membuat Bapak sedih, apalagi buatmu”, ujar Pak Wisnu sambil menghela napas.
“Lho..kesedihan berupa apa, Pak? Sampai saya harus ikut ditimpa?”, tanyaku dengan penuh penasaran.
Pak Wisnu menghela napas lagi. “Apakah sebelumnya Ibu kamu mengandung adikmu..?”. Aku mengangguk sambil terheran-heran. Pertanyaan aneh.
“Tadi Nenekmu menelpon bahwa, sekitar jam 10.00 pagi, Ibu kamu mulai merasakan sakit di perutnya. Dan ada tanda-tanda bahwa ibumu mau melahirkan. Kemudian, Nenek dan Kakekmu mengantarnya ke puskesmas terdekat. Beberapa menit kemudian, adikmu terselamatkan. Sedangkan Ibumu.....”. Pak Wisnu berhenti dan menghela napas panjang. Penasaranku mulai melunjak.
“Ibumu memberi pesan untukmu lewat Nenekmu, bahwa kamu harus bisa menjaga adikmu walau tanpanya. Dan kejarlah cita-citamu setinggi mungkin. Buatlah ibumu bahagia walau dia hanya melihatmu dari atas. Karena kamu adalah anak lelaki satu-satunya harapan ibumu.  Setelah memberi pesan untukmu, dia pun menghembuskan napas terakhir dan akhirnya dipanggil oleh Sang Pencipta...”
Setelah mendengar kabar itu, aku langsung berdiri dan terjatuh. Aku langsung sujud untuk menyembunyikan tangisanku, walau tangisanku tidak bersuara.
Pak Wisnu langsung menghampiriku dan membelai kepalaku, “Safir, Bapak turut berduka cita atas berita ini. Karena itu Bapak tidak memberimu denda. Ibumu akan dikuburkan nanti siang, sekitar jam 12.30. Kamu, kan bisa melihatnya untuk terakhir kali”.
Aku langsung bangun dari sujudku dengan muka, mata, dan hidung yang sangat merah. Mungkin hatiku juga ikutan merah. “Pak, bagaimana saya bisa melihat Ibu saya terakhir kalinya? Dari sekolah ke perdesaan saya bisa memakan waktu kurang lebih satu setengah jam. Otomatis sampai sana sudah jam 01.30 siang. Paling saya tinggal melihat kuburan Ibu saya!”, ujarku parau.
Pak Wisnu langsung memelukku. “Sudah..ini takdir Allah. Siap gak siap kita harus menerimanya dengan lapang dada, Saf..”, bisik Pak Wisnu..
«««
Setelah puas aku menangis (tanpa suara) di ruangan kepala sekolah, aku mengucapkan terima kasih atas beritanya dan keluar dari ruangan itu. Pas juga, bel berbunyi tanda pulang.
Pas aku berjalan menuju kelas, salah satu teman kelasku, Ali, memberiku kertas ulangan matematika dan tas ranselku. “Niih.., tas lu. Sudah gue siapkan. Selamat, ya bro! Ulangan mtk lu dapat 10 lagi!”, katanya sambil menjabat tanganku. Kemudian, teman-teman kelasku mulai berdatangan untuk mengucapkan selamat sambil menjabat tanganku. Aku pun mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.
“Hei bro, muka lu kenapa merah?? Habis ditampar Pak Wisnu?”, tanya Ali. Teman-teman menatapku terheran-heran.
“Aku..aku terkena musibah..”, jawabku lirih.
“Musibah apaan? Gempa? Banjir? Atau longsor?”, tanya Maryam.
“Bukan musibah alam. Tapi...takdir Allah yang dengan berat hati harus kuterima..”, jawabku lirih lagi.
“Takdir apaan, teman?”, tanya Ja’far.
“Ibuku...hari ini...MENINGGAL...”, jawabku terbata-bata sambil terisak-isak. Air mataku mulai tumpah lagi.
Seketika itu, teman-teman lelakiku langsung memelukku. Sementara, teman-teman kelasku yang perempuan menangis histeris (dengar berita orang saja sudah histeris apalagi dengar berita sendiri..? pingsan kalii..).
Setelah teman-temanku menenangkanku, satu persatu mereka pun meninggalkan aku. Sementara itu, Hamid pun menghampiriku di tengah-tengah keramaian. Padahal, semua mulai bubar.
“Safir, selamat ya!!!”, seru Hamid. Aku hanya tersenyum.
“Ehh...si Safir kenapa? Kok mukanya merah gitu??”, tanya Hamid kepada Ali yang melewatinya.
“Ahh...lu mah, ketinggalan! Kemana aja lu? Ibunya meninggal!”, beritahu Ali, kemudian berlalu. Setelah semua bubar, tinggal aku dan Hamid saja. Kami berdiri berhadap-hadapan walau jaraknya sekitar 1 meter dan hanya diam seribu bahasa.
“Saf, kamu gak apa-apa kan..?”, tanya Hamid mengangkat pembicaraan. Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Kemudian aku meninggalkannya. Dia masih berdiri di situ dan terus memerhatikanku.
Semenjak kejadian itu, aku sering menyendiri. Dan teman-temanku hanya menghiburku dengan kata “sabar”. Sabar bukan berarti diam, kan??? Tapi, dari puluhan teman kelasku yang menghiburku dengan kata “sabar”, ada satu teman kelasku yang menghiburku bukan dengan kata itu..dan hiburannya menyentuh hatiku. Siapakah dia...??
Saat istirahat, setelah Hamid makan jajanannya, dia pun keluar dari kantin. Ketika sedang jalan, dia melewati sebuah pohon besar. Dan dia melihatku sedang bertengger di situ sambil termenung.
“SAFIIR...”, teriaknya. “Ngapain kamu di situ??? Turun gih!!”.
Aku yang mendengar teriakannya hanya menjawab, “Sudah phe-whe”.
“Nanti bajumu kotor”, kata Hamid. Daripada aku mendengar teriakannya lagi, aku terpaksa turun dari pohon dengan lincah. Kemudian kami duduk di kursi dekat pohon itu.
“Kamu hebat, ya! Bisa memanjat pohon setinggi itu!!!”, puji Hamid. Aku hanya tersenyum saja, karena aku masih berkabung.
“Kalau aku sedih, pasti aku maunya merenungkan di tempat yang tinggi. Entah di pohon, di atap rumah, dan lainnya. Atau gak di bukit, soalnya daerah rumahku banyak bukitnya”, kataku mulai bicara.
 “Emang kamu tinggal dimana?”, tanya Hamid. Mungkin dia heran karena tempat tinggalku dekat perbukitan, soalnya di kota sama sekali tidak ada perbukitan. Jiah..pohon saja jarang!
“Aku tinggal di Desa Bukit Berbaris”
“Gila! Jauh banget. Naik apa kamu ke sini?”.
“Naik sepeda”
“Untung sekolah masuknya jam 08.00 pagi. Dari rumah biasanya kamu berangkat jam berapa??”
“Aku bangun jam 05.30 pagi. Kemudian aku bersiap-siap sampai jam 06.00 pagi. Dan aku berangkat ke sekolah selama satu setengah jam. Sampai di sekolah biasanya jam 07.30 pagi”. Kemudian, kami diam sejenak.
“Kamu punya berapa saudara?”, Hamid membuka topik pembicaraan lagi.
“Aku anak ke-2 dari 3 bersaudara. Aku punya kakak laki-laki, Hasan. Dia sekarang kerja di Surabaya bersama ayahku. Dan aku punya adik perempuan. Nenekku menamainya Zahro. Dia baru lahir. Dan dia membuat Ibuku meninggal..”. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku tidak bisa menahan tumpah tetesan air mata ini!!
Hamid yang melihat wajahku langsung menepuk pundakku. “Sudah..terima saja. Aku sangat beruntung seperti kamu! Walau Ibumu tidak menemanimu lagi, tapi kamu masih bisa sama saudaramu, Kakek–Nenekmu yang masih setia menemanimu. Aku? Aku anak tunggal. Kedua orangtuaku sangat sibuk sehingga sering pulang larut malam dan berangkat dini hari. Orangtua dari Ayah-Ibuku sudah meninggal sehingga aku tidak punya Kakek-Nenek lagi dari kedua orangtuaku. Setiap hari, aku hanya ditemani beberapa pembantu. Rasanya sepi banget, deh!”. Kami terdiam lagi.
“Safir...”, sahut Hamid. “Hidup ini adil. Setiap orang mempunyai nasib yang berbeda-beda. Semakin lama kita hidup, semakin banyak cobaan dari Allah, terutama orang baik. Karena itu, pasti orang baik yang lebih sering tertimpa musibah daripada orang jahat. Karena, Allah menguji kesabaran kita. Semakin banyak cobaan yang kita hadapi, semakin tinggi kesabaran kita. Dari situlah, Allah mengangkat derajad kita hanya lewat kesabaran yang kita miliki. Hidup adalah pendakian. Semakin tinggi kita menempuh puncak gunung, semakin berat rintangan kita. Sama seperti hidup...”.
“Tersenyumlah, Saf...”, tutur Hamid sambil merangkulku. “Tersenyumlah walau perih...”.
Mendengar kalimat terakhir Hamid, akhirnya aku bisa tersenyum kembali, setelah sekian lamanya tidak menggerakan bibirku untuk tersenyum.
Kemudian, bel berbunyi tanda masuk kelas. Akhirnya kami masuk bersama-sama.
Semenjak kejadian itu, Hamid tidak menyendiri lagi dan mendekatiku. Duduknya pun yang awalnya sebangku sama Ali jadi pindah sebangku sama aku, yang di samping bangkuku kebetulan memang kosong. Ali juga biasa saja ketika Hamid meminta izin untuk pindah tempat duduk. Setiap melakukan sesuatu, pasti kita selalu bersama-sama. Belajar bersama di rumah Hamid, memilih ekskul yang sama, bahkan Hamid sempat nekat ke rumahku untuk ingin melihat pemandangan dari bukit. Semenjak itu, kami menjadi sahabat, sampai menginjak SMA...
«««

Bab 2 : Cita-Citaku

Teman-teman, yang namanya cita-cita pasti sangat penting bagi kita, kan? Terutama bagi masa depan yang cerah. Dan awal mulanya pasti dari mimpi, kan? Dulu..pas aku masih duduk di bangku SD, ibuku sering menceritakan tentang mimpi-mimpi orang. Dari mimpi yang terkecil sampai yang tertinggi.
Teman-teman, cita-citamu apa? Dan apa yang kalian impikan? Kalau aku, sih cita-cita terserah saja. Mau jadi pegawai negeri, guru, polisi, tentara, bahkan tukang sate jalanan pun gak apa-apa (yang penting bisa bermanfaat dan bisa menafkahkan keluarga kelak). Aku ikhlas-ikhlas saja..! Tapi, kalau mimpi.....ehm, mimpiku kayaknya sangat berbeda dengan orang-orang dan hanya aku yang mempunyai mimpi ini. Mau tau, gak mimpiku apaan? Aku bermimpi bahwa AKU INGIN TERBANG...dengan cara apapun!!! Mimpi ini hampir mirip seperti mimpinya Wright bersaudara..
Dari TK (dari TK aku sudah bersekolah di Sekolah Fatmawati), aku (bukannya ge-er, tapi nyata!) sudah dianggap anak pintar dan cerdas oleh teman-teman, guru-guru, bahkan Pak Wisnu yang terkenal galak itu! Soalnya, aku duduk di bangku TK hanya setahun, gak seperti yang lain..2 tahun. Karena pas berumur 4 tahun, aku sudah bisa membaca buku-buku cerita yang panjang-panjang dengan lancar. Karena itu, pas masuk SD umurku baru 5 tahun.
Tapi...ada satu kata pujian yang merusak pujian ‘cerdas’, yaitu ‘ANEH’. Di Sekolah Fatmawati aku memang terkenal ‘cerdas tapi aneh’, bahkan ada yang tega sekali mengatakanku ‘cerdas yang autis’. Teganya..teganya..teganya..(kok jadi nyanyi..?). Teman-teman tau, mengapa aku dibilang aneh? Soalnya hanya gara-gara mimpiku yang ‘ingin terbang’.
Aku masih ingat betul ketika aku duduk di kelas 2 SD, pas Bu Pia, guru PKn-ku, sedang menjelaskan tentang cita-cita.
“Anak-anak, cita-cita sangat penting bagi kita. Cita-cita menentukan masa depan kita. Apakah masa depan kita bakal terang atau gelap? Jika kita tidak mempunyai cita-cita, berarti masa depan kita akan gelap! Bahkan kita tidak ada artinya. Dasarnya cita-cita adalah mimpi”, Bu Pia menjelaskan panjang lebar. Yang biasanya aku suka terkantuk-kantuk pada pelajaran PKn, kali ini dengan mata berbinar-binar, sangat setia mendengarkan penjelasan beliau sambil duduk dengan sangat tegapnya. Ya..kali ini aku sangat suka pelajarannya!
“Anak-anak, waktunya hampir usai! Oke, sebelum menutupi pelajaran kita hari ini, beritahulah mimpi dan cita-cita kalian. Ibu akan tunjuk satu-satu”. Bu Pia mulai menunjukkan teman-temanku.
“Aku ingin membuat masakan yang enak, lezat, dan terkenal di dunia! Aku ingin menjadi tukang koki berkelas terkenal”
“Aku ingin bisa membasmi musuh-musuh seperti kartun-kartun superman di TV. Aku mau jadi tentara, ah!”
“Aku ingin menjadi pemimpin bangsa, karena itu aku bercita-cita menjadi presiden kelak”
“Aku mau menjadi penyelam, karena aku mau melihat alam di dalam lautan”
Hampir semua teman-temanku sudah ditunjuk. Tinggal aku seorang diri yang belum ditunjuk. Dalam hitungan detik saja, jari telunjuk Bu Pia yang panjang sudah mengarah ke mukaku. “Safir, apa yang kamu impi dan cita-citakan?”
Dengan pe-de-nya aku menjawab dengan suara sangat lantang seperti membaca UUD pas upacara, sampai suaraku bergema kemana-mana di ruang kelas dan arah mata teman-teman mengarah semua kepadaku yang tengah berdiri. “Bu Pia..aku mah terserah bahwa cita-citaku apaan! Mau jadi guru kayak Bu Pia, tentara, pegawai negeri, bahkan jadi tukang sate jalanan pun saya terima saja!!”. Teman-teman langsung tertawa meledak seperti bom atom diledakkan di sebelah telingaku, gara-gara mendengar ‘tukang sate jalanan’. Emang apa lucunya, sih? Kalau aku bilang badut, wajar mereka tertawa, karena badut suka buat lucu. Kalau tukang sate jalanan? Yang ada orang malah teriakin ingin membeli sate tanpa ekspresi apapun. Ada tidak, orang memanggil tukang sate jalanan sambil tertawa? Itu mah, harus dibawa ke rumah sakit jiwa dulu kali yaa!
“Kamu ini ada-ada saja!! Emang mimpimu apaan??”, tanya Bu Pia agak melotot sambil menggeleng-gelengkan kepala, mungkin beliau kira aku main-main ya!
“Mimpiku, ya Bu..paling langka dan mungkin ini adalah mimpi satu-satunya yang belum dipunyai oleh orang di dunia ini dari zaman Nabi Adam a.s. sampai manusia terakhir diciptakan..kecuali aku! (maaf kalau terlalu egois, tapi ketika kelas 2 SD aku memang belum mengetahui tentang Wright bersaudara..)”, jelasku panjang lebar.
“Udaaah...jangan banyak omong lagi! Waktu hampir mau usai. Kasihan teman-temanmu ingin pulang tapi terpakasa menunggu kamu yang bertingkah aneh dan gak jelas!”. Bu Pia bertanya sekali lagi, “Ayo, apa mimpimu??”
“Akuu.....”. Aku berjeda sebentar. Teman-teman mulai memampang muka penuh penasaran. Bahkan ada yang cangak melihatku karena aku hanya terdiam. Tiba-tiba... “AKU INGIN TERBAAAAANG....!!!!!”, seruku kencang-kencang sambil merentangkan tanganku bagaikan merentangkan sayap yang tinggal terbang saja. Seruanku membuat kelas lebih bergema..bahkan hampir membuat kaca-kaca jendela pecah!
Tapi...teman-teman bukannya kagum malah cangak semua sampai bel berbunyi. Pas bel berbunyi, seketika seluruh teman-temanku bahkan Bu Pia, tertawa meledak sangat terbahak-bahak. Kali ini bagaikan 10 bom atom yang diledakkan di kedua telingaku!
“Kau ini GILA!!! Hanya burung yang bisa terbang! Manusia mana bisa terbang, apa lagi macam kau? Wong kagak punya sayap! Iiih...maneh teh mimpi naon? Kumaha, eta??”, logat Jawa campur Sunda kasar pun keceplosan terlontarkan dari mulut Bu Pia.
“Bu Pia, tapi kata ibuku, peganglah mimpi setinggi mungkin, biar besar resikonya. Kalau sudah memegang resiko yang besar, makin cepatlah untuk jadi orang yang sukses!”, protesku.
“Iya..Safir! Tapi setidaknya jangan lebai dong, mimpimu. Mimpi itu paling cuma alam mimpi yang kamu bawa tidur ntar!”.
“Tapi Bu, aku benar-benar ingin terbang! Serius, bahkan dua rius! Aku ingin melihat alam di atas, aku ingin melihat kekuasaan Allah yang ada di langit. Aku ingin sekali, Bu! Karena itu aku ingin terbang, walau hanya satu menit”, kataku sambil menunjuk ke atas.
“Ya sudah, terserah kamu! Kalau bisa, sih tolong hapus secepat mungkin mimpimu itu, sebelum kamu digotong ke rumah sakit jiwa”, tutur Bu Pia sangat dalam, bagaikan seribu pedang yang menusuk hatiku dalam-dalam sampai menembus ke belakang. “Bel sudah berbunyi dari tadi! Ketua kelas, mohon disiapkaan...”
«««
Gara-gara tuturan Bu Pia yang datar tapi dalam, aku sempat trauma untuk memikirkan mimpiku selama 3 hari berturut-turut. Setelah itu aku biasa saja untuk memikirkannya, gara-gara ketika aku sedang bercerita dengan Ibu yang tengah mencuci piring, ditemani Kak Hasan yang masih duduk di bangku SMP.
“Ada-ada saja mimpimu, Saf!”, ujar Ibu menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar mimpiku.
“Kan aku ingin terbang, soalnya ingin melihat alam dan kekuasaan Allah di atas sana!”, jelasku singkat, padat, dan mudah dimengerti..sambil menunjukkan ke atas.
“Dek, kamu gak bakalan bisa terbang! Hanya unggas yang bisa terbang. Itu pun gak semua jenis unggas bisa terbang. Yaitu burung unta dan pinguin, salah satu jenis unggas yang gak bisa terbang”, jelas Kak Hasan panjang, lebar, dan susah dimengerti..bagi aku! Kan belum cukup umur untukku untuk mengetahui yang kayak gitu-gituan.
“Ya deuuh...yang sudah SMP, mah beda! Bahasanya berilmiah gitu dehh!!!”, ledek Ibu sambil mengacak-acak rambut Kak Hasan dengan tangannya yang basah bekas habis cuci piring. “Atuh..Bang, mana ngerti Adik yang kayak gitu-gituan! Kan belum belajar IPA”. Ya, dulu pelajaran IPA dan IPS dimulai dari kelas 3 SD.
“Iiih..gitu banget, sih! Buat impianku terhalang!!”, aku hanya bisa sewot sambil memampang muka sebal, karena aku memang benar-benar gak mengerti apa yang Kak Hasan omongin.
“Eh Dek, tapi kamu bisa terbang dengan alat transportasi”, tegur Kak Hasan menghiburku sambil meninju bahuku pelan, kebiasaan Kak Hasan banget, tuh! Mukaku yang tadinya kusut langsung berubah menjadi berbinar-binar cerah, karena habis diseterika oleh perkataan Kak Hasan tadi.
“Iya, Kak? Kendaraan seperti apa tuh?”, tanyaku dengan berjuta-juta penasaran.
“Kata guruku, dengan helikopter, pesawat, balon udara, bahkan roket..yang bisa sampai menembus Bumi dan bisa menuju ke luar angkasa!”, jelas Kak Hasan.
Helikopter? Pesawat? Balon udara? Roket..yang bisa sampai menembus Bumi? Apaan tuh? Seumur hidup ini belum pernah mendengar nama-nama itu ke kedua telingaku!
“Kakak...itu semua tadi nama apa..??”, tanyaku sekali lagi dengan bermilyar penasaran (tambah banyak saja tanda-tanda tanya di benakku).
“Tadi, kan sudah dibilangi...alat transportasi yang ada di udara. Aku juga tidak tau seperti apakah alat itu. Aku juga baru pertama kali mendengarnya dari guruku. Maklumlah Dek, orang kampung seperti kita itu katro, gak tau apa-apa. Bahkan mungkin gak akan bisa tau...”, jelas Kak Hasan sedih. “Safir...tapi kamu pasti bisa kok terbang dengan cara apapun..kamu pasti bisa..walau hanya seorang diri..walau Allah memberi kesempatan bagimu hanya semenit dan sekali dalam seumur hidup...”
Ketika itu, Kak Hasan berumur 14 tahun, beda 7 tahun denganku yang masih berumur 7 tahun (juga). Kak Hasan dulu sekolah di kabupaten, dari SD sampai lulus SMA. Karena (maaf) Kak Hasan otaknya memang pas-pasan. Setelah mencoba tes IQ di kabupaten, dia terpaksa sekolah di situ. Itulah yang membuat Kak Hasan setelah lulus SMA langsung bekerja membantu Ayah, tanpa kuliah dulu. Selain otaknya memang biasa-biasa saja, biaya kuliah kan mahal. Apalagi hidup kami di perdesaan yang sederhana saja. Tapi Kak Hasan maklumi, soalnya di desa kami banyak anak-anak yang setelah lulus SD, dia tidak bersekolah lagi dan hanya bantu bapaknya yang jadi petani, peternak, pemburuh, dan pekerjaan desa yang lain. Sedangkan Kak Hasan masih bisa sekolah sampai lulus SMA, walau tidak melanjukan universitas. Padahal Kak Hasan ingin bercita-cita menjadi arsitek, yang merancang bangunan itu. Bahkan Kak Hasan bermimpi bahwa Kak Hasan ingin merancang bangunan terindah se-Indonesia, terserah bangunan untuk apa saja (dijadikan rumah sakit pun boleh!). Yang penting biar Ibu bisa melihat, walau dilihat dari Surga Firdaus sana. Tapi sayang...kali ini Kak Hasan membantu Ayah jadi tukang kuli bangunan...! Kak..mudah-mudahan saja mimpimu tercapai...
Sedangkan aku...? Bukannya sombong tapi memang benar-benar kenyataan, pas mencoba tes IQ di kabupaten, katanya aku cocok belajar di sekolah swasta yang banyaknya di kota, salah satunya Sekolah Fatmawati. Bahkan kemungkinan besar aku bisa masuk universitas setelah lulus SMA, jika Allah menghendaki rezeki keluarga kami. Makanya, Ibu kan pernah berpesan kepadaku detik-detik menjelang ajalnya bahwa aku adalah anak lelaki Ibu harapan satu-satunya dan sangat spesial. Belum tentu ntar pas Zahro mulai menginjak umur untuk masa sekolahnya, dia bisa di kabupaten, di sekolahku kini, atau bahkan di sekolah swasta yang lebih hebat lagi...
Untungnya, Hamid, sahabatku, selalu membantuku dimana aku kesusahan. Pas aku baru-baru bersahabat dengannya, aku sempat menanyakan tentang alat-alat transportasi yang pernah disebut Kak Hasan. Hamid yang kebetulan orang kota, tau seperti apa transportasi itu dan menunjukkan kepadaku, walau hanya lewat gambar di buku.
Tapi...perkataan Kak Hasan yang menyemangatiku bisa mencapai cita-citaku..selalu terngiang di hati ini sampai umurku 14 tahun sekarang, walau sekarang Kak Hasan sedang pergi jauh meningalkanku karena membantu Ayah bekerja...!
Safir...tapi kamu pasti bisa kok terbang dengan cara apapun..kamu pasti bisa..walau hanya seorang diri..walau Allah memberi kesempatan bagimu hanya semenit dan sekali dalam seumur hidup...
«««

Bab 3 : Tetangga Baru Hamid (1)

“Saf..kemarin lusa aku kedatangan tetangga baru!!”, cerita Hamid pas istirahat.
“ Iya..? Dari mana?”, tanyaku kaget.
“Dengar-dengar dari orangtua, sih..dari  Amerika..”
“HAH??? Beneran? Bohong, ah!!”, ngototku.
“IIH! Gak percaya!”, kali ini Hamid berbalik mengotot.
Akhirnya aku percaya juga. “Gilaa!! Jauh banget! Berarti dari ujung ke ujung dong”.
“Katanya, tuan rumahnya sedang membahas serius tentang PBB dan organisasi-organisasi internasional lainnya pada presiden. Itu sebabnya beliau datang ke Indonesia”, jelas Hamid.
“Lho, emang dia siapa?? Ribet amat ngurusin PBB. Amat aja gak ribet”, ocehku.
“Beliau itu JUBIR PRESIDEN AMERIKA tau!!!”, tegur Hamid sambil memukul lenganku pelan.
“Oooohh....”, aku pun cangak selama beberapa detik.
“HEI!! Giliran sudah dikasih tau yang sebenarnya baru cangak!”, tegur Hamid lagi. Kali ini pas dekat kupingku.
“Gila..mantap euy!”, seruku setelah sadar dari kecangakanku. Hamid hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anaknya mau dimasukkan ke sekolah ini, setelah mendengar dari Bapakku tentang Sekolah Fatmawati”.
Aku pun mengangguk pelan. “Anaknya perempuan atau laki-laki?”
“Perempuan”, jawab Hamid singkat. “Namanya Chelsea Hasanah Simpson. Dipanggil Chelsea”
“Jiih..? Nama arab campur inggris..? Jadi aneh”, protesku sambil menggigit roti.
“Tau! Ngapain nanya aku? Aku kan bukan emaknya”, protes Hamid. Aku pun tertawa..sampai roti yang aku kunyah belum halus langsung tertelan bulat-bulat. “Ehh...ntar mau ke rumah aku gak? Ntar aku kenalin tetangga barunya, tapi istri tuan rumahnya doang. Soalnya setiap hari Senin beliau ke rumahku untuk mengobrol bersama mamaku. Soalnya mamaku hanya punya waktu luang setiap hari Senin. Mau gak..??”, tawar Hamid sambil menyenggol lenganku dengan sikutnya.
“Eng..gimana..yaa..”, aku pun ragu-ragu. Sebenarnya ingin, lagian sudah lama belum ke rumah Hamid semenjak UN pas SMP. Tapi, hanya kenalan sama tetangga baru doang. Buat apa? Gak penting! Tapi aku ingin melihat perkembangan rumah Hamid..bisa saja ada yang baru.
“Hmm...sekalian mengerjakan PR Kimia 50 soal yang barusan Bu Reni kasih”, kata Hamid. “Mau tidak?”.
Aku terdiam sebentar untuk memikirkan hal tersebut. Ide bagus juga, lagian kalau pulangnya telat kan alasannya habis dari rumah Hamid. Nenek bakal menerima alasanku kalau aku pulang telat karena habis dari rumah Hamid, mau sampai malam pun! Soalnya Nenek sudah sangat percaya kepada Hamid, lagian dia kan sahabatku yang sangat setia. “Okelah kalau begitu”, jawabku akhirnya. Kami pun saling ber-toss.
«««
Sepulang sekolah, aku dan Hamid bergegas ke rumahnya dengan mobil Hamid. Sepeda kutaruh depan sekolah, supaya kalau mau balik ke rumah, aku bisa mampir ke sekolah dulu untuk mengambil sepedaku. Ribet, ya? Masalahnya, kalau dari sekolah ke rumah Hamid aku benar-benar tidak tau jalannya, meskipun sudah berkali-kali ke rumahnya. Soalnya..selain jauh, arah rumah Hamid melewati jalan raya yang besar-besar. Jalan raya yang besar-besar itu wilayahnya benar-benar kota! Banyak bangunan, toko-toko, kendaraan yang besar-besar, bahkan polusi adalah sumber dari wilayah itu!
Karena Nenek sudah sangat percaya sama Hamid, orangtua Hamid pun sudah menganggap aku sebagai anggota keluarganya. Jadi, aku sudah diperlakukan seperti anak mereka. Dibelikan makanan, diajak pergi, dan macam-macam. Pernah, pas aku duduk di kelas 2 SMP, aku menginap di rumah Hamid ketika liburan tahun baru. Nenek menitipkan kepada mamanya Hamid karena waktu itu anaknya Nenek yang paling kecil menikah. Jadi, Nenek dan Kakek terpaksa mudik dulu. Kak Hasan sudah lulus SMA, jadi Kak Hasan mulai membantu Ayah bekerja di Surabaya. Zahro yang baru menginjak setahun dititipkan di rumah tetangga, yang kebetulan sahabat Ibu. Kalau aku dititipkan? Nenek takut kalau aku bosan selama liburan. Jadi aku dititipkan di rumah Hamid saja.
Nah..pada tanggal 31 Desember, orangtua Hamid berencana ingin mengelilingi kota untuk melihat kembang api. Aku diajak orangtuanya ke restoran yang berkelas terkenal di kota itu, dimana restoran itu adalah tempat tongkrongan para turis dari luar negeri. Karena resepnya juga ada yang dari luar negeri, seperti Thailand, China, Fhilipina, Korea, Italia, Meksiko, bahkan Amerika. Ya Allah...seumur hidup baru kali ini aku diajak pergi ke restoran..! Maklum..orang desa. Disana..aku bingung memilih apa karena banyak yang ingin kucoba. Tapi, ntar orangtuanya kasihan membayar mahal makanannya kalau aku memilih banyak-banyak. Kan terkenal, jadi harga makanannya pasti mahal-mahal! Lho, kok jadi membahas restoran? Ok,  let’s back to the story!
Tok..tok..tok..! Hamid mengetuk pintu rumahnya. Kemudian, mamanya Hamid membukanya.
“Eh..Hamid, sudah pulang!”, sapa mamanya. Hamid pun mencium tangan mamanya.
“Mama, Hamid bawa Safir lagi nih!”, kata Hamid sambil menunjukkanku. “Kami mau mengerjakan tugas bersama-sama”. Aku hanya nyengir ketika mamanya Hamid menatapku.
Kemudian... “Hei..Safir?? Apa kabar?? Wah, semenjak UN pas SMP tiba kamu gak ke rumah, ya! Sekarang baru bertemu! Apa kabar??”, sapa mamanya Hamid. Aku mencium tangan beliau.
“Alhamdulillah...baik, kok! Baik, Ma!”, kataku. Aku boleh memanggil mamanya Hamid dengan sebutan ‘mama’, panggilan yang diberikan Hamid kepada mamanya.
“Liburan kelulusan kemana saja?”, tanya mamanya Hamid. “Kalau Hamid, sih waktu itu ke Singapur, lho sama keluarga”.
“Iya kok..Hamid sudah cerita kepadaku pas masuk kelas, ketika baru masuk tahun ajaran baru. Bahkan dia memberiku sebuah gantungan kunci dan bulpen dari Singapur sebagai oleh-oleh”, beritahuku. “Aku hanya ke Candi Borobudur sama Ayah dan Kak Hasan. Waktu itu Ayah dan Kak Hasan datang ke rumah. Lagian, Ayah sekalian menghadiri acara wisuda” 
“Oh begitu...”, gumam mamanya Hamid. “Tambah cakep saja, ya Safir! Mentang-mentang sudah SMA”. Aku hanya nyengir karena dipuji. Sedangkan Hamid, dia langsung tertawa terbahak-bahak sampai terjatuh. Akhirnya, mamanya Hamid mempersilahkan kami masuk.
Pas masuk, aku melihat ada 2 tamu. Satunya ibu-ibu muda, satu lagi anak perempuan yang terlihat masih berumur 12 tahun.
“Safir..kenalkan pada tetangga baru Hamid. Yang ini kita panggil Mrs.Simpson”, tunjuk mamanya Hamid ke ibu-ibu muda itu. Aku pun mencium tangan beliau.
“Mrs.Simpson..ini Safir, sahabat Hamid dari SMP”, kali ini mamanya Hamid menunjukku kepada Mrs.Simpson.
“Ooh..yang sering Hamid bicarakan kepada kita setiap hari Senin?”, tanya Mrs.Simpson sambil melihatku. “Senang bertemu denganmu, Safir!”. Aku hanya tersenyum saja. Wah..wah..wah..ketahuan, nih Hamid membicarakanku dari belakang! Aku pun melirik Hamid. Hamid hanya nyengir kuda tanpa dosa.
“Dan Safir, ini Chelsea, anaknya Mrs.Simpson”, tunjuk mamanya Hamid ke anak perempuan yang kelihatan berusia 12 tahun. Aku pun menyalaminya sambil tersenyum. Dan dia membalas senyumanku.
“Ya sudah..Hamid dan Safir katanya mau mengerjakan tugas. Jadi, sekarang kalian sholat Dzuhur dan makan siang dulu, ya! Terus kalian mengerjakan tugas kalian.”, perintah mamanya Hamid. Kami pun langsung melaksanakannya.
Setelah sholat Dzuhur dan makan siang, kami langsung mengerjakan PR Kimia 50 soal di ruang TV, berseberangan dengan ruang tamu yang di sana, dimana ada Mrs.Simpson, Chelsea, dan mamanya Hamid yang kayaknya sedang berbicara seru. Karena, dari tadi mereka tertawa terus. Tapi..sayup-sayup kedua telingaku mendengar percakapan mereka di ruang tamu.
“Tante..”, panggil Chelsea kepada mamanya Hamid. “Kak Safir itu anak indo, ya? Kayak aku dan Kak Hamid?”.
Doeengg!! Aku langsung menepuk dahiku. Mungkin Hamid juga mendengar percakapan itu dari ruang tamu langsung mendadak tertawa cekikikan sambil melirikku.
“Wahaha...sejak kapan anak desa dibilang kayak anak indo??”, ledek Hamid sambil terus tertawa.
“Apaan sih? Aku juga gak ngarap dibilang anak indo!”, gerutuku pelan sambil menjulurkan lidah. Chelsea adalah orang kota kedua yang mengatakanku orang indo. Orang kota pertama itu mamanya Hamid, ketika pertama kali aku ke rumah Hamid. Kalau orang desa? Jiaah..bahkan itu topik gosip para ibu-ibu sehari-hari!
“Ngarap atau tidak..???”, ledek Hamid sambil tertawa terbahak-bahak. Mungkin suara tawa Hamid sampai terdengar ke ruang tamu, karena orang-orang yang ada di ruang tamu melihat ke arah kami. Kayaknya kami berisik banget ya? Gara-gara Hamid sih!!
“Hamid, nomor 30 caranya gimana sih??!!”, teriakku pura-pura untuk mengalihkan pandangan mereka. Untung saja mereka kembali tenggelam dalam pembicaraan seru mereka.
“Ngapain sih, nanya nomor 30? Caranya juga aku tau dari kamu!”, tegur Hamid setelah lelah tertawa terbahak-bahak.
“Heh, tadi orang-orang yang ada di ruang tamu melihat kita!!”, tegurku balik. “Hanya pura-pura bertanya doang! Gimana sih?”. Hamid hanya nyengar-nyengir kuda, benar-benar kebiasaannya!
Menurut orang-orang..aku itu memang seperti orang indo. Kata orang-orang, kulitku putih (jangan bilang aku kege-eran, semua ini dari pembicaraan orang-orang, terutama ibu-ibu desa yang sukanya gosip mulu!), seperti orang luar. Bahkan putihan aku daripada Hamid, yang segitu terang-terangnya anak indo! Dan tetap putih meskipun aku setiap hari selalu main di siang hari setiap pulang sekolah, sampai sore ketika masih SD (orang mah, langsung hitam kayak orang Afrika bo! mungkin ini karomah dari Allah kali ya? masya Allah...), jiah..tapi putih doang gak ngaruh kan??!. Kata Ayah, kakeknya Ibu alias buyutku, dulu memang orang Belanda. Tapi, muka-muka Ibu tidak terlihat orang indo, malah turun ke aku! Apalagi ketika pas masuk SMP, banyak yang bilang aku adalah anak kota yang kaya, yang sebenarnya pujian itu harus tertuju untuk Hamid. Padahal aku adalah anak desa katro yang pas-pasan saja. Tau, deh...wallahu a’lam...! Ayo nguping percakapan mereka lagi di ruang tamu (aduh..don’t try this at home! menguping pembicaraan orang dewasa itu sebenarnya tidak baik tau!)
Hasil pengupinganku adalah (wah..wah..wah..Safir parah banget ya!), Mrs.Simpson itu menikah ketika kuliah di Amerika. Pas itu, beliau sedang menerangkan tentang Islam kepada teman-temannya yang di Amerika, salah satunya Mr.Simpson, suami beliau sekarang. Mr.Simpson terlihat tertarik dengan penjelasan itu. Kemudian, beberapa hari setelah itu, Mr.Simpson menghadapi Mrs.Simpson untuk meminta beliau menjelaskan lebih detail tentang Islam. Tak segan-segannya Mrs.Simpson menjelaskan. Beberapa minggu kemudian, Mr.Simpson menghadapi beliau lagi. Kali ini, Mr.Simpson ingin masuk Islam karena telah mendapat hidayah lewat mimpi beliau waktu itu. Ceritanya, beliau mimpi bahwa beliau sedang ada di depan taman yang sangat indah dan wangi kasturi, yang dipagari emas. Beliau ingin memasukinya, tapi tiba-tiba ada yang mencegahnya. Yaitu seorang pria tampan dengan menggunakan jubah putih bersih dan suci serta sorban putih yang terletak di kepalanya.
“Apakah anda ingin memasuki taman ini?”, tanya pria itu.
“Iya..saya ingin banget memasuki taman ini!”, jawab Mr.Simpson tak sabaran. “Baru pertama kali saya melihat taman seindah dan seharum ini, dan taman ini sepertinya tidak ada di dunia. Karena saya belum pernah melihat sebelumnya”.
“Anda boleh memasuki taman ini! Bahkan anda boleh melakukan sesuka hati anda di taman tersebut!”, kata pria itu. “Tapi ada satu syarat!!”.
“Syarat apakah itu?”, tanya Mr.Simpson. “Tolong beritahulah kepada saya! Saya sudah tidak sabaran ingin memasuki taman ini!”.
Pria itu tersenyum lebar. “Syaratnya anda harus mempunyai tiket!”, katanya.
“Tiket? Dimana saya bisa mendapatkan tiket tersebut?”, tanya Mr.Simpson kebingungan.
“Gampang, anda bisa mendapatkan tiketnya di saya sendiri”, beritahu pria itu sambil mengeluarkan kertas yang tertulis. “Jika anda bisa membaca tulisan ini dengan lantang, maka anda bisa memasuki taman ini”.
Mr.Simpson akhirnya mengambil kertas tertulis itu dari tangan pria tersebut. Ketika melihat tulisan pada kertas itu, ternyata tulisan tersebut adalah tulisan arab yang melantunkan 2 kalimat syahadat!
Dan Mr.Simpson akhirnya terbangun dari mimpinya...
Setelah Mrs.Simpson mendengar mimpi Mr.Simpson, beliau langsung menuntunnya ke masjid terdekat dan dituntun oleh beliau sendiri, karena di sana benar-benar tidak ada seorang ustadz, bahkan ulama! Beberapa tahun kemudian, pas Mrs.Simpson lulus kuliah, mereka berdua pun menikah...
Tebakanku benar, Chelsea berumur 12 tahun, beda 2 tahun denganku. Besok dia akan masuk ke Sekolah Fatmawati dan duduk di bangku SMP. Dan rencananya Chelsea bersekolah di Sekolah Fatmawati sampai lulus SMA, tapi belajar di kelas akselerasi, yang SMP dan SMA-nya hanya 2 tahun. Pas juga keluarga Simpson tinggal di Indonesia selama 4 tahun. Dan setelah itu Chelsea bisa pulang ke rumahnya lagi dengan memegang ijazah SMP dan SMA. Psst..sebenarnya aku bisa masuk akselerasi, lho karena IQ-ku cukup untuk memasuki kelas itu. Tapi, sayangnya biaya tidak mencukupi dan takutnya aku bakal capek. Kelas aksel memang pulang jam 3 sore. Ntar sampai rumah sudah jam berapa dong? Aku paling takut kalau pulang agak larut, soalnya keadaan desa agak gelap dan sepedaku tidak ada senternya (hehehe..).
Hari sudah jam 2 siang. Pas juga PR kami selesai! Benar-benar nih guru gak kira-kira ngasih soal, langung sekaligus 50. Padahal ulangan semester saja masih lama!
Karena sudah jam 2 siang, aku langsung ingin pulang. Karena, jika sampai di rumah pasti sudah sore. Akhirnya aku berpamitan pulang pada Hamid.
“Langsung pulang, Saf?”, tanya Hamid heran. “Kenalan dengan tetangga lebih detail saja belum”.
“Takut kesorean sampai rumah, Mid!”, jawabku dengan tampang tergesa-gesa. “Sudah cukup tau lebih dalam mengenai tetangga baru lewat nguping pembicaraan kok! Hehehe!”.
“Parah banget!!!”, seru Hamid. Aku hanya tertawa terbahak-bahak.
Setelah itu, aku berpamitan pada mamanya Hamid. “Gak ngomong sama Mrs.Simpson dulu? Tentang apa..gitu, biar akrab!”.
“Maaf, ya Ma! Takut kesorean sampai rumah”, kataku sambil mencium tangan beliau. “Bertemu dengan Mrs.Simpson sudah senang, kok!”.
“Yaa...saya juga sudah cukup senang bertemu dengan yang namanya Safir, yang sering banget Hamid bicarakan!”, kata Mrs.Simpson selagi aku mencium tangan beliau. “Safir orangnya ramah ya!”. Aku hanya tersenyum lebar saja. Sementara, Hamid sudah tertawa terpingkal-pingkal. Dasar aneh!
Setelah berpamitan pulang ke semuanya, Hamid mengantarku ke sekolah dengan motornya. Hamid sudah bisa naik motor. Memang wajar, soalnya pada anak sekolah yang sudah menginjak 15-17 tahun biasanya sudah bisa naik motor. Aku sebenarnya juga sudah bisa, dengan motor Kakek..hehehe! Tapi aku jarang naik motor, karena motornya selalu Kakek pakai setiap waktu. Jadi, seringnya sih naik sepeda. Biarlah..sebagai olahraga! :D
Setelah sampai depan sekolah, aku langsung mengayuh sepedaku untuk menuju desa...
«««
“Assalamu’alaikum”, salamku sesampai di rumah.
“Wa’alaikumsalam”, jawab Nenek yang tengah mencuci piring. “Habis dari rumah Hamid, kan?”. Nenek sudah tau pasti, karena setiap aku pulang telat, pasti alasanku hanya satu, belum pernah yang lain : dari rumah Hamid.
“Pasti dong! Tadi aku mengerjakan PR bersama Hamid”, jelasku sambil melemparkan badanku ke sofa bekas yang sudah bulukan..lelah. “Sekalian berkenalan dengan tetangga baru Hamid”.
“Hamid kedatangan tetangga baru? Namanya siapa? Dari mana?”, tanya Nenek bertubi-tubi sambil mengelap piring yang sudah tercuci bersih.
“Iya, Nek! Namanya keluarga Simpson. Datangnya dari Amerika”, jawabku.
Tampang Nenek yang biasa- biasa saja agak lelah langsung melotot terbelalak kaget. “Buset dah! Ngapain jauh-jauh ke sini? Cari lowongan kerja? Emang di Amerika lapangan kerja sudah di-PHK semua?”.
“Yeee...emangnya kayak kita? Merantau ke negeri seberang? Justru tuan rumahnya datang ke sini untuk membahas PBB dan organisasi-organisasi internasional lain kepada presiden, karena beliau adalah jubir presiden Amerika!”.
“Buset dah!”, seru Nenek sambil takjub mendengarnya. “Coba ayahmu pekerjaannya kayak gitu”.
Aku langsung kaget. “Ih, ogah! Aku sudah bersyukur bisa punya Ayah seperti sekarang, walau kerjanya hanya di kota seberang. Tapi, setiap acara wisuda, Ayah menyempatkan diri untuk ke rumah bersama Kak Hasan. Daripada jadi jubir presiden, sibuknya na’udzubillah! Harus menyeberang dari negara ke negara lain, butuh ongkos yang banyak, ribetnya lagi..anaknya pun harus ikut misalnya. Harus pindah sekolah lagi, kenalan teman baru lagi, bayar masuk sekolah lagi, RIBET BANGET, deh!!!”, protesku panjang-lebar.
“Hahaha! Tapi, gitu-gitu pasti mereka sering terbang!”, ledek Nenek. Seketika, aku langsung terdiam kaku. Iya juga, pasti mereka sering terbang..sampai bosan sekalipun! Sering melihat awan yang menggumpal, bentangan langit biru, gedung-gedung yang bagaikan mainan balok, sawah-sawah subur seperti hamparan karpet halus, wuiih...aku bisa membayangkannya meskipun belum pernah melihatnya! Ya Allah...aku benar-benar ingin terbang!
“Abang, mandi dulu gih sono! Sudah jam 4 sore..masih saja pakai seragam. Sudah sholat Ashar belum..??”, tegur Nenek sambil menaruh piring-piring yang sudah kering dilap.
Astaghfirullah.. karena keasyikkan merenungkan mimpiku, aku jadi lupa apa-apa! Aku langsung pontang-panting lari ke kamar untuk melaksanakan sholat Ashar dan mandi...!

Bab 4 : Tetangga Baru Hamid (2)

“Safir...”. Seseorang memanggilku. Aku yang berada di loteng rumah langsung menoleh-noleh untuk mencari sumber suara itu.
“Safir..”. Suara itu muncul lagi. Siapa, sih..gumamku.
“Safir...di belakang!”, kali ini seseorang menyuruhku untuk menoleh ke belakang. Aku pun akhirnya menoleh.
“Kak...Kak Hasan?”. Aku langsung berteriak, “KAK HASAN....kapan datang?? Kok malam-malam begini datang? Tumben datang!!”.
“Safir..mau ikut kakak gak? Ayo kita berkeliling dunia!”, Kak Hasan mengajakku.
“MAU BANGET!!”, seruku. “Tapi dengan cara apa?”.
“Kita terbang dengan memegang kaki burung ini!”, kata Kak Hasan sambil memegang kaki burung gereja yang mungil itu.Seketika itu,tiba-tiba Kak Hasan sudah terbang melayang!
Tanpa aba-aba, aku langsung melompat dan meraih kaki burung gereja yang tengah terbang itu. Tapi...
BRUUUKKK!!!!!!
“Kukuruyuuk....”, alarmku pun berbunyi nyaring. Aku langsung bangun, dalam keadaan terkapar di bawah ranjang. “Aduuh...mimpi buruk..”, gumamku sambil berjalan ke arah kamar mandi dengan memegang pinggulku yang sakit sekali karena menghantam lantai.
“Kamu jatuh dari ranjang?? HAHAHAHA!!!!!”, seru Hamid sambil tertawa terpingkal-pingkal..puas banget mendengar mimpi yang kualami barusan. “Seorang Safir jatuh dari ranjang hanya karena ingin terbang!!!”.
“Heh..heh..heh..! Aib orang jangan disebarin geura!”, ujarku, mencoba memberhentikan tawa Hamid yang ngakaknya tak terkendali lagi.
“Tapi bilang saja kalau ingin terbang!”, kata Hamid sambil menyikutku setelah puas tertawa.
“Iya juga, sih..hehehe!”, gumamku.
“Dasar! Kenapa gak tanya sama yang sudah berpengalaman terbang berkali-kali..sampai bosan? Kali saja mimpimu bisa kenyataan berkatnya!”, usul Hamid memberikan ide kepadaku.
“Siapa? Maksud kamu burung?”, tanyaku terheran-heran. “Aku disuruh bertanya dengan burung? Burung saja gak tau bahasa kita dan kita tidak tau bahasanya!”.
“Hei, penjelasanku belum selesai, friend!”, sewot Hamid. “Terbang gak mesti pakai sayap kan? Manusia saja bisa terbang berkali-kali, dengan menggunakan pesawat, alat transportasi udara!”.
“Iya..? Oh..begitu..”, gumamku paham. “Emang siapa yang sudah berpengalaman terbang berkali-kali? Kamu?”.
“Aku memang pernah naik pesawat, tapi baru beberapa kali doang!”, cerita Hamid. “Aku sering pergi ke luar negeri ketika masih TK, tapi sekarang jarang banget. Jadi aku gak terlalu ingat suasana dalam pesawat seperti apa”.
“Lho..bukannya pas kamu ke Singapur ketika liburan kelulusan, pakai pesawat kan?”, tanyaku memastikan.
“Iyaa...tapi aku masih agak lupa suasananya seperti apa”, jelas Hamid. “Dan kalau mau nanya gimana caranya biar bisa naik, jangan tanya kepadaku!”.
“Lantas..aku harus bertanya kepada siapa?”, tanyaku lagi.
Hamid pun berdehem. “Tanyalah sama Chelsea! Dia sudah beratus kali naik pesawat, bahkan sampai bosan! Dia beritahu kepadaku bahwa dia sudah bosan naik pesawat. Kali saja dia tau gimana caranya dia bisa naik pesawat”.
Betul juga..gumamku. “Tapi gimana caranya aku bisa bertanya kepadanya tentang ini? Ngomong saja belum pernah!”.
“Di waktu yang pas bisa, Saf”, beritahunya. “Ketika kamu dan Chelsea main ke rumahku, kamu pasti bisa menanyakan tentang hal ini”.
“Tapi aku ingin bertanya secepat mungkin”, ujarku gak sabaran. “Biar setelah dia beritahu caranya, aku kan bisa melakukannya dari sekarang..jika caranya memang butuh waktu yang lama”.
“Ya sudah..terserah kamu. Mudah-mudahan Allah memberi kamu kesempatan untuk menanyakan kepada Chelsea di minggu ini”, kata Hamid. Aku langsung meng-amin-kan doanya selantang mungkin. Pas juga bel pun berbunyi tanda masuk kelas.
«««
Kesempatan pun kayaknya datang. Karena...
Kriing...telepon rumah pun berbunyi selagi aku sedang melahap makan malamku. Zahro  yang sedang bermain-main sendirian dekat telepon langsung mengangkatnya dan bercakap-cakap sebentar. Dia sudah mulai bisa ngomong walau masih kurang jelas.
“Ka Safhil..aja telfon jali Ka Hamij.. (Kak Safir..ada telpon dari Kak Hamid)”, teriaknya sambil memegang gagang telepon. Aku yang lagi mengunyah makanan langsung beranjak ke dekat telepon.
“Makasih ya Dek!”, kataku sambil mengusap rambutnya. Kemudian aku pun berbicara...
“Assalamu’alaikum Hamid...! Ini Safir..kenapa?”
“Wa’alaikumsalam. Tadi yang ngangkat telepon siapa sih?”
“Itu..adikku, Zahro. Baru bisa ngomong. Emang kenapa?”
“Gak apa. Lucu saja dengar dia ngomong. Ok..langsung to the point ya! Hari Sabtu mau, gak ngerjain tugas Sejarah? Itu, lho..mencari bencana-bencana alam yang ada di luar negeri, terus diklipingin”
“Boleh!! Lagian hari Sabtu ini alhamdulillah aku punya banyak waktu luang, kok!”
“Aku juga! Jam 8 pagi sampai depan sekolah, ya! Aku tunggu nih! Oya, kalau bisa, jika kamu punya koran bekas tentang bencana alam di luar negeri, tolong dibawa ya!”
“Yo’i, lagian kakekku kan suka ngumpulin koran bekas! Barang-barang lainnya? Kayak gunting, kertas HVS, atau lainnya?”
“Udah..kamu bawa saja koran. Aku sudah menyiapkannya dari kapan tau!”
“Ooh..benar ya! Aku bawa itu saja!”
“Iya..iya! Ya sudah deh, itu saja. Jangan lupa ok? Aku tunggu hari Sabtu. Assalamu’alaikum..!”
“Wa’alaikumsalam..!”. Kemudian aku pun menutup telepon sebagai akhir pembicaraan.
Hari Sabtu akhirnya tiba! Aku bergegas sarapan dan menaiki sepeda menuju kota dengan menjinjing tas ransel sekolahku yang berisi koran-korang bekas atas permintaan Hamid. Aku pungut di gudang berhari-hari..hehehe! Bahkan sampai dimarahi Nenek karena gudangnya berantakan. :P
Sesampai depan sekolah, aku melihat Hamid yang sedang berdiri depan motornya sambil memainkan Hp-nya.
“OII! HAMIID!!!”, seruku sambil melambaikan tangannya..supaya dia tau aku berada dimana.
Hamid langsung menolehku sambil tersenyum. “Hei..Safir! Kamu tepat waktu sekali! Ayo ke rumahku!”. Akhirnya kami menuju ke rumah Hamid dengan motornya.
Ketika kami sedang menempel-nempel guntingan-guntingan koran, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Hamid bergegas membukanya.
“Eh..Mrs.Simpson! Ada apa?”, sapa Hamid setelah membuka pintu.
“Boleh nitip Chelsea, gak?”, mohon beliau. “Saya mau ke ibumu, Hamid. Soalnya kami akan pergi berbelanja bersama. Dan kayaknya lama, sampai siang agak sorean”.
“Boleh, kok! Lagian di rumah juga ada Safir”, ujar Hamid.
“Oh..ada Safir! Titip salam buatnya ya!”, kata Mrs.Simpson. Kemudian beliau berkata pada Chelsea, “Mammy pergi dulu ya! Kalau mau apa-apa, bilang ke Kak Hamid saja ya! Jaga diri baik-baik, jangan buat Kak Hamid repot lho! Chelsea mau minta apa?”
“Itu deh, cardigan yang warnanya hitam”, pinta Chelsea sambil mencium tangan ibunya.
“Insya Allah Mammy belikan deh!”, ujar Mrs.Simpson. “Pergi dulu ya! Assalamu’alaikum!”. Akhirnya Mrs.Simpson pergi dengan mobil mewahnya. Dan Chelsea pun masuk ke rumah Hamid.
“Chel, aku lagi ngerjain tugas sama Safir”, beritahu Hamid. “Nonton TV dulu saja, ya! Atau gak, main playstation dulu saja deh!”. Dengan seribu bahasa, Chelsea berjalan menuju ruang TV, tempat kami mengerjakan tugas.
Hamid pun terheran-heran karena Chelsea hanya terdiam bisu. Biasanya Chelsea sangat cerewet. “Chelsea, tumben diam! Biasanya, kan cerewet!”, bujuk Hamid.
“Emang kenapa?”, akhirnya Chelsea pun membuka mulutnya sambil menoleh ke arah kami yang tengah menempel-nempel guntingan koran. “Perasaan aku biasa-biasa saja!”.
“Gak, ah! Tumben saja diam!”, ledek Hamid. “Gara-gara ada sahabatku bukan? Gara-gara ada Safir, ya..jadi diam seribu bahasa kayak gitu?”.
Chelsea mulai tersenyum cengengesan. “Gak juga, ah! Lagi mau diam. Suka-suka orang, dong mau kayak gimana!!”.
“Deeeuuh...kenapa, tuh? Malu sama Kak Safir?”, ledek Hamid lagi.
“Hamid, kamu salah nempelin korannya!! Kok yang ditempel malah koran yang beritanya tentang Gusdur telah wafat sih??”, tegurku. Waduuh...sudah ketempel lagi! Memang benar-benar si Hamid, ledekannya sudah kelewatan.
“Eh..eh..maaf, ding!!”, ujarnya sambil melepaskan tempelan koran yang salah. Hasilnya..kertas HVS-nya jadi rusak, deh! Tapi gak apa-apa sih, toh kalau ditempel pakai koran lagi, gak bakal kelihatan kan kertasnya yang rusak! Dan akhirnya Chelsea mengejek Hamid habis-habisan.
Alhamdulillah..akhirnya pekerjaan kami pun beres! Tinggal dikumpulkan hari Selasa nanti.
“Saf..masih jam 10 pagi, nih!”, kata Hamid. “Main di rumahku dulu yuk!”. Aku pun mengangguk. Lagian, kalau sekarang pulang buat apa coba? Tidak ada kerjaan di sana. Kakek ngurus peternakannya, Nenek pasti main ke rumah temannya. Zahro main di rumah tetangga. Aku? Mending main di rumah Hamid saja, mumpung banyak waktu luang. Lagian..semenjak SMA, aku jarang main ke rumah Hamid. Padahal, ketika masih SMP aku sering banget main ke rumah Hamid, bahkan setiap hari Sabtu. Kecuali kalau ada suatu urusan dari Nenek atau Kakek.
“Main playstation, yuk!”, ajak Hamid.
“Ntar saja deh! Lagi malas”, gumamku. “Kamu sama Chelsea dulu, deh yang main! Aku menyaksikannya saja”. Akhirnya mereka berdua bermain dengan serunya, sedangkan aku hanya melihat permainan yang dimainkan oleh mereka, yaitu permainan balap mobil.
Ketika lagi seru-serunya, tiba-tiba telepon berdering. Hamid langsung melempar playstation-nya ke tanganku. “Sementara kamu dulu, deh yang main!!”, ujar Hamid sambil berlari menuju telepon, yang jaraknya agak jauh. Akhirnya aku pun melanjutkannya. Aku paling suka main balap mobil. Dan aku pun akhirnya menang.
“Wah..Kak Safir bisa main balap mobil, ya!”, kata Chelsea. “Bahkan lebih bisa Kak Safir daripada Kak Hamid. Kak Safir suka main balap mobil di rumah kakak sendiri bukan?”.
Aku pun tertawa terbahak-bahak. “Punya playstation di rumah saja kagak ada. Gimana mau main? Soalnya, pas SMP aku sering numpang main playstation-nya Hamid setiap ke rumahnya. Pas aku masih SMP, setiap minggu, kan aku main ke rumahnya”.
Chelsea pun tertawa. Akhirnya kami memberhentikan permainannya sejenak dengan minum air mineral yang telah Hamid siapkan. “Oya..Kak Safir anak indo, ya?”.
Aku yang sedang meneguk air hampir mau muncrat. “Aku tidak ada keturunan anak indo! Memang, sih..sebenarnya kakeknya ibuku orang Belanda. Tapi tidak turun ke ibu! Muka ibuku kayak orang Indonesia yang biasa-biasa saja! Kakak dan adikku juga tidak memampang wajah-wajah anak luar”.
“Ya..yang penting, kan turun ke Kak Safir”, ledek Chelsea. Aku hanya tertawa saja. Wah..Chelsea mulai banyak bicara, nih! Hamid benar, ternyata Chelsea itu cerewet!
“Kak Safir tinggal di komplek sebelah mana?”, kali ini Chelsea menanyakan tempat tinggalku. Mungkin dia kira aku tinggal di kota. Padahal aku tidak tau nama-nama komplek yang ada di kota. Komplek rumah Hamid saja aku tidak tau namanya apa!
“Maaf, Chel! Aku sebenarnya tinggal di desa, di Desa Bukit Berbaris...”, jawabku sambil agak malu.
Chelsea langsung kaget. “Hah? Kak Safir tinggal di desa? Jadi berangkat sekolahnya gimana?”.
“Aku menggunakan sepeda untuk sampai ke sekolah. Durasinya sekitar kurang-lebih satu setengah jam”, jelasku singkat. “Kamu gak punya saudara, ya..sehingga kamu mesti dititipi di rumah Hamid? Atau saudaramu gak ikutan?”, kali ini aku yang berbalik bertanya.
“Iya, Kak! Aku anak tunggal, kayak Kak Hamid. Aku sudah bosan main sama pembantu mulu. Aku punya 3 pembantu, yang orangtuaku ajak juga dari rumah”, jelasnya. “Karena, di Amerika aku sering main sama pembantu. Untung di sini aku punya teman, Kak Hamid, meski dia itu laki-laki dan dia adalah kakak kelasku. Tapi, Kak Hamid sudah aku anggap sebagai kakakku yang setia. Pas aku baru masuk ke komplek sini, Kak Hamid langsung menghampiriku dan mengajakku main. Makanya setiap malam kami selalu main. Kadang main playstation, main sepeda malam-malam, atau gak cerita-cerita gitu. Kalau Kak Hamid ada PR, aku setia menemaninya”. Waaah..aku pun hampir tertawa ngakak mendengarnya. Ternyata Chelsea diam-diam senang atas kelakuan baik Hamid!
“Gimana dengan kakak? Kakak punya berapa saudara?”, tanyanya balik. “Jangan-jangan seperti aku dan Kak Hamid lagi!”.
“Gak..aku adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara, Chel!”, ujarku. “Aku punya kakak laki-laki, Hasan. Dia sudah lulus SMA, sekarang membantu ayahku bekerja di Surabaya sebagai tukang kuli. Dan aku punya adik perempuan, Zahro, yang masih berumur 3 tahun. Jadi, di rumah aku hanya tinggal bersama Nenek, Kakek, dan Zahro”.
“Ibu Kak Safir kemana?”, tanya Chelsea. “Ikut Ayah ke Surabaya?”.
“Gak, Chel. Ibuku sudah pulang ke rahmatullah ketika melahirkan Zahro...”, jelasku sambil meneguk air sampai gelasnya kosong tak berisi.
“Oh..maaf Kak..”, gumam Chelsea sambil menunduk. Mungkin pertanyaannya barusan membuatku merasa sedih.
“Gak usah minta maaf, kali! Aku sudah terbiasa mendengar pertanyaan tersebut!”, tegurku. Chelsea pun kembali tersenyum. Akhirnya kami terdiam sejenak.
Hei..tiba-tiba aku ingat pertanyaanku tentang pesawat! “Chelsea, aku mau nanya dong!”, ujarku. “Gimana, sih caranya biar bisa naik pesawat? Kan, kata Hamid kamu sering naik pesawat, sampai bosan! Kenapa bosan? Kalau aku jadi kamu, aku gak bakalan bosan, lho!”.
Chelsea tertawa terkekeh-kekeh. “Iya, lha! Kak Safir kan belum pernah merasakan yang namanya naik pesawat! Kalau sudah merasakan, awalnya pasti senang..tapi kalau sudah ratusan kali kayak aku, pasti bosan, deh!”.
“Emang naik pesawat itu rasanya gimana, sih?”, tanyaku penasaran.
“Kalau awalnya, pasti terkagum-kagum! Serasa kita itu terbang, bisa menembus awan, jauh dari daratan, pokoknya bagaikan burung deh!”, jelas Chelsea. Waduh..jadi gak sabaran ingin naik pesawat!
“Enak kali, rasanya! Kenapa kamu bosan?”, ujarku. Beneran deh, kalau aku jadi Chelsea, aku gak bakalan bilang naik pesawat itu bosan, walau sampai berjuta-juta kali!
“Begini Kak, sebenarnya aku ingin banget naik roket...”, gumamnya sedikit menunduk. “Roket itu bisa terbang sampai menembus Bumi, dan kita bisa melihat Bulan, planet-planet lain, dan segalanya yang ada di luar angkasa secara langsung dan jarak yang dekat!!”. Kemudian dia terdiam. “Sebenarnya...aku ingin menjadi astronot, Kak! Aku gak mau menjadi penerus Daddy. Cukup kakak sepupu laki-lakiku yang jadi penerusnya! Aku gak mau jadi pemerintah jenis apapun! Aku gak mau jadi pemimpin! Aku tidak bisa memegang tanggung jawab yang besar! Aku gak mau, Kak!!”, tukasnya. Aku turut bersedih juga.., lagian dalam syariat Islam kan perempuan gak boleh menjadi pemimpin.
“Mimpi kamu apa, Chel?”, tanyaku.
“Aku hanya ingin menjadi astronot! TITIK segede KEBO’!”, tukasnya lagi. “Kalau Kak Safir?”.
“Aku ingin terbang..”, jawabku pelan. “Itu sebabnya aku nanyain kamu gimana caranya biar bisa naik pesawat”.
“Ooh..begitu! Perasaan, Kak Hamid pernah cerita ke aku bahwa kakak bermimpi seperti itu”, gumamnya. Wah..wah..wah..tak ada ampun bagi Hamid, gumamku dalam hati geregetan!
“Kalau mau naik pesawat, mah beli tiketnya Kak!”, beritahunya. “Tapi gak gampang belinya. Soalnya tiketnya mahal, bisa ratusan ribu bahkan berjuta-juta!”. Ehh..buset dah, gak bakalan mungkin Ayah mau beliin tiket semahal itu. Pantasan keluargaku belum pernah naik pesawat. Bahkan ke bandara saja belum!
“Ooh..terima kasih, ya Chel..atas infonya”, kataku sambil tersenyum. Chelsea pun membalas senyumanku dengan sangat lebarnya. Alhamdulillah..terima kasih ya Allah! Engkau telah memberiku kesempatan untuk menanyakan hal seperti ini! Tinggal aku atur strateginya gimana..supaya bisa beli tiket pesawat..!
«««

Bab 5 : Menabung, Menabung, dan Menabung!

Ok, deh!! Akhirnya Allah memberitahu strategi untukku..setelah aku mengerjakan sholat Isya! Aku tau gimana caranya agar bisa membeli tiket pesawat yang mahal itu. Dengan cara..MENABUNG!
Setiap jajan, aku akan menyisakan uang jajanku untuk ditabung, mau sedikit atau banyak, yang penting terus dan terus menabung! Kan sedikit demi sedik lama-lama menjadi bukit, ya kan? Wah..keterlaluan deh, kalau gak tau peribahasa itu..!
Bahkan kalau misalnya mood aku lagi melunjak, aku sempat gak jajan lho! Sampai-sampai pernah...
“Safir, gak jajan lagi?”, tanya Hamid sambil menyendok kuah bakso yang hangat dan tercampur saus sambal (jangan ngiler), soalnya dari tadi aku memerhatikannya menyuapi bakso demi bakso. Jangan ditiru, ya..gak sopan lho ngeliatin orang lagi makan! Don’t try this at home!
“Gak”, jawabku sangat singkat. “Lagi puasaa....
“Edan...puasa apa kamu?”, potongnya sigap. “Puasa senin-kamis? Hari ini hari Rabu! Atau puasa Nabi Daud? Kemarin kamu bilang kamu juga puasa? Sudah 3 hari berturut-turut nih! Puasa qodho? Ngapain kamu pas lagi puasa Ramadhan?”.
“Hei..hei..hei.., sori, ya! Safir pas puasa Ramadhan full, lho!!”, ujarku (aduh, sombong banget sih!). “Lagi gak mau jajan...”.
“Idiih..ntar kelaparan saja”, tukas Hamid. “Mau aku beliin makanan, gak? Kan kamu biasanya jajan rot...”.
“Gak usah..ngerepotin!”, tolakku sigap sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu kenapa, Saf? Mual??”, tanya Hamid lagi.
“Gak, Hamid! Aku gak kenapa-kenapa”, kataku pelan.
“Terus, kenapa bisa gak jajan selama 3 hari berturut-turut?”, tanya Hamid. “Cerita, dong! Kalau hal ini bersifat rahasia, gak bakal aku kasih tau deh!!”.
Aku pun menghela napas. Hmm...bagaimana juga, Hamid adalah sahabatku yang selalu terbuka. Apa aku beritahu saja, ya strategiku? “Lagi menabung, Mid..”, beritahuku akhirnya. “Menabung untuk bisa beli tiket pesawat kelak”.
Hamid pun ber-ooh. “Tapi, Saf..aku kasih saran deh. Tiket pesawat itu kemahalan! Walau kamu gak bakalan jajan sampai lulus SMA sekalipun, gak bakalan cukup uangnya untuk beli tiketnya! Tiket pesawat sekarang naik-naik, apalagi kalau sedang hari libur besar-besaran! Kerugiannya : naik harga dan bisa-bisa kehabisan tiket”.
“Yaah..jadi gimana dong?”, tukasku bingung.
Hamid berpikir sebentar. “Eng..kenapa gak bekerja saja?”.
Aku terbelalak kaget. “Kerja kayak tukang asongan? Atau jadi tukang kuli? Tukang sate jalanan? Atau..atau..atau..”.
“Yee..jangan berat-berat kayak gitu, dong!”, tegurnya. “Kamu, kan belum cukup umur untuk bekerja yang kayak gituan. Apalagi kamu masih berumur 14 tahun, umurnya anak SMP”.
“Yaa..umurnya anak SMP yang mau SMA, kan?”, ledekku. “Itu, sih..sama saja atuh!”.
“Udah..udah..to the point!”, ujar Hamid. “Kerjanya yang ringan-ringan saja! Hmm...atau gak, mau gak jadi tutor di tempat kursus bahasa inggris omku, Om Farel, yang habis dari Australia itu lho! Kan setelah Om Farel pulang dari Australia, beliau langsung buka kursus bahasa inggris depan rumahku”. Hmm..gimana ya?
Om Farel itu om kesayangan Hamid. Beliau memang sangat ramah dan menyenangkan. Beliau sering bercanda sama aku setiap aku ke rumah Hamid. Terakhir aku melihatnya, pas liburan semester 1 ketika aku masih kelas 3 SMP. Setelah itu, beliau pergi ke Australia untuk memperdalami bahasa inggris. Hei, ternyata balik dari Australia langsung buka kursus! Keren...
“Aku juga ingin mendaftarkan diri jadi tutor! Soalnya, sebenarnya aku juga lagi menabung, nih! Aku ingin beli kamera canon SLR yang kayak fotografer itu lho!”, beritahu Hamid. Oya, Hamid kan bercita-cita menjadi fotografer alam. “Pas juga Om Farel kekurangan 2 tutor, nih! Ntar setiap bulan dikasih ‘uang jajan’, lho..Rp30.000. Kan lumayan, Saf!”. Hamid suka bilang kalau gaji itu uang jajan, karena menurutnya..kata ‘gaji’ itu hanya untuk orang dewasa yang berbisnis. Yaah..biarpun kami sudah berumur belasan tahun, tapi kan belum mencapai umur kedewasaan. J
 Iya juga, ya! “Ya sudah, deh! Aku mendaftarkan diri jadi tutor!”, ujarku akhirnya. “Tapi..ngomong-ngomong mulai dan selesainya jam berapa?”.
“Mulai jam 01.30 siang. Selesainya jam 02.30 sore. Jadi, ada waktu setengah jam untuk sholat Dzuhur dan makan siang di rumahku”, jelas Hamid.
“Haa..? Jam 02.30 sore?”, tanyaku kaget. “Tapi gak apa-apa, deh! Berarti sampai rumah jam 04.00 sore”. Kalau demi tabungan, aku lakukan segalanya deh!
«««
Sepulang sekolah, aku dan Hamid bergegas menuju ke rumah Hamid untuk sholat Dzuhur dan makan siang. Setelah itu, kami bergegas menuju tempat kursusnya Om Farel yang bertepatan di depan rumah Hamid.
Tok..tok..tok..! Hamid pun mengetuk pintu. Setelah mengetuk pintu tiga kali, Om Farel pun membuka pintu.
“Assalamu’alaikum, Hamid! Ada perlu??”, sapa Om Farel selagi Hamid mencium tangan beliau.
Setelah itu, giliranku untuk melakukan apa yang Hamid lakukan. Ketika itu, Om Farel langsung menyapaku, “Hei, Safir!! Wah..wah..wah..tambah cakep saja. Gimana kabarnya??? Sehat?”.
“Alhamdulillah..sehat wal afiat, kok Om!”, kataku sambil nyengir.
“Om baru buka kursus bahasa inggris, nih! Ayo..masuk!!”, ajak Om Farel kepadaku dan Hamid. Akhirnya kami pun masuk.
Di kantor beliau.. “Safir, Hamid, kan kursusnya baru buka..tapi om kekurangan 2 tutor. Jadi kalian berdua mau jadi tutornya, gak??”, bujuk Om Farel memohon.
“Dengan senang hati, dong Om!”, ujar Hamid dengan semangat ’45.
“Wah..wah..wah..benar-benar baik, ya ponakan om!”, puji Om Farel. Hihihi...aku pun dianggap keponakan beliau. Akhirnya Om Farel mengantar kami untuk mengelilingi tempat kursus itu. Kata beliau, kebanyakan yang mendafter itu anak SD sekolah negeri. Tapi ada juga anak sekolah swasta, bahkan ada yang dari Sekolah Fatmawati! Anak SD-nya pun dari kelas 2 sampai kelas 6. Dan kursus ini libur pas hari Minggu saja.
“Sementara..2 kelas yang digabung jadi 1 kelas itu saya tutornya. Jadi, mulai besok bisa ngajar, gak??”, tanya beliau. “Biar kelas yang saya ajar bisa dibagi 2, soalnya muridnya lumayan banyak, ada 20 orang. Kan masing-masing tutor memegang 10 murid”.
Aku pun bingung, aku ingin tapi takut belum siap. Kemudian Hamid menyikutku. Aku pun menolehnya.
“Mau, gaaak??”, bisik Hamid sangat pelannya.
Aku pun bergumam gak jelas, “Engg....”.
Tapi... “Ya, Om! Boleh, kok!!! Dengan senang hati”, kata Hamid dengan santainya. Aku langsung menepuk dahiku. Belum saja jawab!! Dasar Hamid langsung ceplas-ceplos!
Om Farel langsung tersenyum lebar mendengarnya. “Waaah..ternyata kalian sangat baik untuk membantu om! Ya sudah, sekarang kalian boleh pulang. Besok ke sini lagi, ya jam 01.30 siang! Om tunguuu...!!!”. Setelah berpamitan pulang akhirnya kami pun pulang ke rumah masing-masing.
«««
Keesokkan harinya, aku dan Hamid bergegas ke tempat kursus Om Farel untuk...bekerja. Jujur, ya..sebenarnya aku sama sekali belum siap dan punya mental untuk mengajar walaupun semalam aku sudah memanjat ke atap rumah untuk merenungkan hal ini. Tetapi belum saja mempan...! Pokoknya aku gak mau kebagian antara anak kelas 2 sampai kelas 4 SD! Karena mereka masih terlalu polos dan pasti susah sekali untuk diajarkan!
Aku masih ingat pengalamannya Kak Hasan dulu. Pas Kak Hasan berumur 15 tahun, dia ditawar pemilik masjid untuk mengajar madrasah, soalnya beliau baru buka program madrasah di masjid. Jadwalnya setiap hari sebelum menunaikan sholat Maghrib, kecuali hari Minggu. Sebulan bisa dapat Rp10.000 (ngomong-ngomong, besaran ‘uang jajan’ku ya daripada Kak Hasan dulu. maklum, orang desa..). Kebetulan, Kak Hasan kebagian kelas yang murid-muridnya sekitar kelas 2. Dan inilah salah satu petikan dari pengalaman Kak Hasan....
Waktu itu, Kak Hasan sedang mengajari ilmu Fiqih. Setelah mengajari, Kak Hasan ingin memberi pertanyaan kepada mereka. “Adik-adik, setelah mendengarkan pelajaran tadi, saya mau memberikan sebuah pertanyaan. Yang bisa menjawab akan mendapat permen. Jadi, jangan segan-segan ya..menjawab pertanyaannya!”.
Ada satu murid yang beranjak pergi ke tukang asongan di depan masjid. Setelah melakukan sesuatu, dia pun berlari ke kelasnya lagi.
“Kak, saya sudah dapat permen, kok tanpa menjawab pertanyaan terlebih dahulu!”, kata dia dengan santai dan tampang gak berdosa.
Kemudian, Kak Hasan tidak tau harus melakukan apa...
Oya, ada pengalaman juga tentang Ayah mengajar! Pas Ayah duduk di bangku 3 SMA, suatu hari kepala sekolah mengatakan bahwa Ayah harus mengajar di kelas 4 yaitu pelajaran B.Indonesia. Kebetulan, sekolah di kabupaten gurunya memang sedikit (dulu Ayah sekolah di kabupaten). Karena benar-benar sama sekali TIDAK ada penggantinya, kepala sekolah menyuruh Ayah untuk megajar di kelas 4 SD. Memang waktu zaman itu, Ayah terkenal sangat pintar.
Pas itu, kelas 4 SD sedang membahas tentang antonim alias lawan kata (semua pasti sudah tau, kan?).
“Adik-adik, jika saya melontarkan sebuah kata, mohon disebut antonimnya, oke? Biar kalian cepat memahami”, ujar Ayah.
(nb : pokoknya, yang hurufnya kapital semua, adalah jawaban dari murid-muridnya, oche!).
“Muda”.
“TUA”.
“Tinggi”.
“PENDEK”.
“Hitam”.
“PUTIH”.
“Cepat”.
“LAMBAT”.
“Menang”.
“BERJAYA”.
“Salaah!!!”. (kali ini seruan, bukan sebagai pelajaran. seharusnya antonim dari ‘menang’ itu ‘kalah’, kan? bukan ‘berjaya’?)
            Tapi malah...“BENAR”.
“Jangan ditiru!!”.
“HARUS DITIRU!!”.
“Hei! Diam!!”.
“HEI! BERISIK!!”.
“Jangan berisik!!”.
“BOLEH DIAM!!”.
“Kalian akan dihukum besok”.
“KAMI SUDAH DIBEBASKAN KEMARIN”.
“PELAAAJARAAAAAAAAN USAAAAAIIIIIII!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”. (ini adalah seruan Ayah yang beremosional karena kesal).
“PELAJARAN MASIH BERLANJUT”. (seruan murid).
Setelah mengambil buku, “Assalamualaikum”
“WAALAIKUMSALAM”.
Braaak!! Ayah pun keluar. Dan mereka pun tidak tau gimana caranya menunjukkan antonimnya keluar secara fisik. Karena yang mereka pikirkan, Ayah tidak menyebutkan kata ‘keluar’ dari mulut, tetapi langsung diperagakan. Dan mereka kebingungan gimana caranya memeragakan kata ‘masuk’...! (gubraaak!).
Semenjak kejadian itu, Ayah sudah trauma untuk tidak mengajar lagi. Makanya Ayah tidak menjadi guru, tapi malah menjadi tukang kuli...
Mudah-mudahan saja aku kebagian mengajar kelas yang isinya murid-murid kelas 5 dan 6 (amiin..amiin..bilqobul..alfaatihah..). Kan mereka sudah mulai beranjak dewasa, jadi mereka sudah tidak polos lagi!
«««
Dan harapanku tidak terkabul, aku harus mengajar di kelas yang murid-muridnya kelas.....4 SD! Waah....rasanya ingin kabur!! Tapi hadapin saja deh, kan demi uang tabungan..hehehe! Cuma kelasnya dekat kantor Om Farel. Jadi kalau ada apa-apa, ya nyeberang ke kantor saja..hehehe!
Hei, tapi pas aku mengajar, ternyata tidak seburuk yang aku kira! Ternyata mereka sering membuat suasana menjadi ramai dan kocak! Dan mereka sangat mengasyikkan bagiku!! Hmm....kesan-kesan pas aku mengajar di tempat kursus Om Farel akan aku bahas di bab selanjutnya, oke!
Sepulang dari pekerjaanku, aku langsung cepat-cepat memberitahu Nenek kalau misalnya setiap pulang ke rumahnya telat atau bahkan sampai larut, aku mengajar di tempat kursusnya Om Farel dan tidak perlu untuk membuatkan makan siang lagi soalnya aku sudah makan di rumah Hamid.
Mendengar alasan itu, Nenek langsung berjingkrak senang seperti anak kecil yang dikasih balon dan es krim. Pas makan malam, Nenek memberitahu Kakek tentang pekerjaan baruku. Kakek juga turut bahagia, yang kemudian mengajakku ke kabupaten untuk membeli senter yang akan ditaruh di sepedaku. Soalnya, jika aku pulangnya larut sampai keadaan mulai gelap, senter yang ada di sepedaku bisa dijadikan sebagai penerangnya. Masalahnya aku paling takut kalau melewati jalan menuju perdesaan gelap-gelap. Soalnya sepi banget, jarang ada lampu jalan, suka melewati pinggiran hutan gitu! Ditambah lagi lolongan anjing-anjing liar yang ada di sekitar pinggiran hutan tersebut. Hiii....
Akhirnya aku dan Hamid mengajar di tempat kursus Om Farel setiap hari (kecuali Minggu)..sampai seminggu sebelum hari ujian semester 1. Ya, soalnya ketika seminggu sebelum ujian, Om Farel meliburkan kursusnya agar biar kami konsentrasi untuk menghadapi ujiannya!
Setiap akhir bulan aku dan Hamid juga dikasih ‘uang jajan’ sebesar Rp30.000, seperti yang dikatakan Hamid waktu itu. Dan uangnya selalu aku simpan di tempat tabunganku, kotak sendal bekas punya Zahro yang kutaruh di kolong ranjang (kan kecil..soalnya sepatu Zahro kecil juga!). Mudah-mudahan saja bisa mengabulkan impianku..amiin...!
«««

Bab 6 : Menjadi Tutor

Tak terasa sudah 3 bulan menjadi tutor! Yeah..rasanya asyik juga, ya! Heboh, lucu, kocak, gokil, pokoknya seru banget! Kayak mengajari anak TK! Apalagi mereka yang masih polos-polos membuat suasanan jadi aneh juga. Hahahaha....sesuai janjinya, aku akan menceritakan kesan-kesanku selama menjadi tutor di tempat kursus Om Farel, ok!
Ketika hari pertama aku mengajar, aku memperkenalkan diri dulu. “Halo semuanya! Perkenalkan, namaku Safirul Huda. Panggil saja aku Safir”.
“Halo, Pak Safir!!!!”, serentak mereka menyapaku.
“Hei..hei..jangan panggil aku dengan sebutan ‘Pak’! Cukup memanggil aku dengan sebutan ‘Kak’”, tegurku. Aku paling risih kalau dibilang ‘Pak’. Masih kecil gini, hehehe! (memang benar, kan? tahun depan pun aku masih menginjak 15 tahun)
“Tapi, kan bapak adalah guru kami”, kata salah satu murid laki-laki.
“Aku hanya tutor kalian, bukan guru. Aku gak pernah menganggap diriku itu guru. Lagian umurku masih belasan. Aku itu masih sekolah, aku hanya sekedar kakak kelas kalian!”, jelasku.
“Tapi, Kak...”, salah satu murid perempuan menyahut (kali ini aku senang mendengarnya, soalnya dia memanggilku ‘Kak’). “Kan kata Rasulullah, kita semua ini sebenarnya guru! Soalnya, seseorang itu sudah bisa disebut ‘guru’ walau ia hanya mengajarkan satu huruf hijayyah saja! Apalagi kakak, yang akan mengajari kami beribu-ribu kata bahasa inggris!”.
Aduh..ini anak alim juga, gumamku. “Ya sih, terserah kalian mau menganggapku guru, kakak kelas, atau apalah. Yang penting aku hanya menganggap diriku kakak kelas kalian. Soalnya apakah kalian tau? Tanggung jawab seorang guru itu besar! Makanya, aku gak mau memenuhi tanggung jawab besar-besar. Aku hanya menganggap diriku itu murid dan tutor kalian”, jelasku bijaksana. Hei..hei..hei..kok malah jadi nyambung ke ilmu agama?
“Masya Allaaah.....”, serentak semua murid memujiku sambil tertawa terkekeh-kekeh. Aku pun jadi ikutan tertawa karena...pe-de, hahaha!
“Ya sudah..ya sudah, aku absen dulu ya! Biar aku tau nama kalian satu-satu”, tegurku menenangkan mereka yang masih tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian aku mulai mengabsen.
“Adinda Dewinta Mawarni..”. Seorang anak perempuan mengangkat telunjuknya.
“Ahmad Malik..”. Seorang anak laki-laki mengangkat telunjuknya. Kemudian seterusnya sampai kudapati nama-nama unik.
“Marshanda..”. Anak perempuan yang alim tadi mengangkat teunjuknya. Ooh..yang namanya kayak artis ini anak alim tadi, gumamku.
“Weeiiisss!!! Ada artis di kelas ini!!!!”, teriak yang namanya Adinda sambil menunjuk perempuan yang namanya Marshanda.
“Iiihh!!!! Aku bukan artis!!! Aku gak suka artis!!!!!! Weeekkk..”, sahut Marshanda sambil menjulurkan lidahnya. Ya Allaah...beneran deh ini anak meuni[1] alim, gumamku lagi.
“Sudah..sudah...Marshanda diam, ya! Ngabsennya mau dilanjutkan”, tegurku pada Marshanda.
“Panggil aku Marsha saja, Kak biar gak kepanjangan”, katanya. Kemudian pengabsenan dilanjutkan.
Ketika menyebut nama yang paling terakhir di data absen itu... “Muhammad Ali Sulaiman Ridwan Ahmad Idris Ibnu Firdaus Padmawidjojo Mangunkusumo Sidoruhusodo...”.
“Saya, Pak..eh Kak!!!”, seorang anak lelaki mengangkat telunjuknya.
“Eh, panjang bener tuh nama!!”, sahut seseorang yang namanya Idris “Ada nama ‘Idris’nya segala lagi!”.
“Emang kenapa??? Suka-suka gue dong!”, kata anak laki-laki yang namanya Muhammad Ali Sulaiman Ridwan Ahmad Idris Ibnu Firdaus Padmawidjojo Mangunkusumo Sidoruhusodo itu.
“Dipanggilnya siapa....Muhammad Ali...Sulaiman Ridwan...Ahmad Idris...Ibnu Firdaus...Padmawidjojo Mangunkusumo...Sidoruhusodo??”, tanyaku terputus-putus. Idiih..capek banget sih manggil nama panjangnya! Mungkin karena si ibu cinta banget sama anaknya, dikasih nama panjang-panjang kali ya?!
“Dipanggil...Pengki, Kak!”, jawab yang namanya Muhammad Ali..(weleh..weleh..jangan dilanjuti!!) santai. Edaan...gubrak! Nama panjang dan bagus gitu panggilannya sangat…?? (?)
“Fiuuh...aku kira panggilanmu Idris juga”, kata Idris lega.
“Gak lha! Nama panjang dan panggilanku kan langka di seluruh dunia ini!!”, kata Pengki sambil membusungkan dadanya.
“Huuuh...belagu pisan da maneh (sombong banget sih kamu)!!!”, tegur Desi,anak asli Sunda.
“Ya udah, sih! Kuring pan bercanda, serius amat ! Amat wae teu serius (aku kan bercanda, serius amat! amat saja gak serius)! Huuu...dasaaarr!!!!”, kata Pengki dengan bahasa Sunda-nya yang fasih juga.
Enya geus, atuh! Dawam wae kali! Antare Pak Pengki!!!! (ya sudah, dong! biasa saja kali! santai Pak Pengki!!!!)”, sahut Desi masih dengan logatnya.
Lainna maneh anu kudu antare? Konci atuh sungut anjeun anu bisana ngomong terus!!! (bukannya kamu yang harus santai? kunci dong mulutmu yang bisanya ngomong terus!!!)”, balas Pengki dengan bahasa Sunda juga.
“ Heh, tangki minyak!!! Maneh kali anu sungutna dijaga (kamu kali yang mulutnya dijaga)!!!”, gak mau kalah Desi terus ngomong.
Sungut naon da anu tertempel di beungeut maneh? Sungut manusa atawa sungut lauk? Ti tadi teu nutup-nutup (mulut apa sih yang tertempel di wajah kamu? mulut manusia atau mulut ikan? dari tadi gak nutup-nutup)!!”, ejek Pengki dalam, sampai menusuk hati kali (lebai).
CICING (diam) GRA, TANGKI MINYAK!!!!”, balas Desi lagi.
“SUDAH..SUDAH...!!! Kok jadi debat bahasa Sunda sih??!!”, tegurku menenangkan mereka berdua yang asyik debat denga bahasa yang sebenarnya tidak kumengerti.
Dan hari pertama itu penuh dengan ocehan, ejekan, candaan, serta tawaan anak-anak, tidak belajar dulu. Sungguh bagaikan pasar di kelas ini!
Awalnya aku juga agak risih karena berisik terus, tapi lama-lama aku menikmati saja..karena mereka selalu menghiburku dengan ocehannya.
Pernah suatu hari.... “Oke, sekarang kita main deskripsi. Deskripsi tentang buah-buahan atau sayur-sayuran, ya!”, kataku. “My body is round, large, and green. The contents of my body is red and tastes sweet. Who am I?”.
Watermelon (semangka)!!”, jawab Doni bersemangat. “Buah itu, kan makanan kesukaanku!”.
“BETUL!”, kataku. “Sekarang siapa yang mau coba?”.
“AKUU!!!”, teriak Adinda. “I am a fruit. I have hairs in my body. My body is round and red. The contents of my body is white, very sweet, and there are seeds. Who am I?”.
RAMBUTAAAN!!!”, jawab semuanya serentak.
“Kok bisa semua, sih..??”, kata Adinda. “Kegampangan ya??”.
“Itu sih anak TK juga bisa. Habisnya..ada ‘fruit’ sama ‘hair’-nya sih!”, kata Pengki. “Nih..tebak-tebakanku pasti susah dijawab deh! What fruit that can laugh??”, tanya Pengki.
“Stroberi!”, jawab Adinda. Pengki menggeleng.
“Anggur”, jawab Idris. Pengki juga menggeleng.
“Kurma...atau gak buah Tin”, jawab Marsha. “Eh..buah Zaitun deh!”.
“Weleh..weleh..tuh jawaban alim amat”, gumam Bella.
“Jiah, itu sih gak masuk akal!”, sahut Desi. “Peuteuy, ya? Kadaharan poko anjeun (makanan pokokmu)?”.
“Makanan pokok? Emang peuteuy apaan?”, tanya Pengki balik.
“P-E-T-E..PETE! Kadaharan poko anjeun, huahahaha!!!!”, jawab Desi sambil tertawa terbahak-bahak.
“Jiaah...apalagi itu, makanan favoritmu! Sama sekali kagak nyambung! Sudah deh, makanan favorit jangan disebut-sebut di kalangan orang deh”, kata Pengki. “Nyerah saja, deuh!”.
“Tau, ah! Nyerah!!”, seru Malik pasrah.
“Jawabannyaa.......”, kata Pengki kemudian terdiam sebentar, membuat teman-teman penasaran. “BUAHaa..haa..haa..haa..!!”. Seketika, semua pun pada menyoraki Pengki sambil melempari kertas bekas yang sudah diremes-remes seperti bola. Aku juga turut tertawa.
Terus pernah, ketika belajar spelling. Ada kejadian yang membuat ngakak sampai kedengaran ke kantor.
Spell ‘coconut”, ujarku.
C-O-C-O-N-U-T”, teriak semua murid bersemangat.
“Terus...spell ‘magazine’”.
M-A-G-A-Z-I-N-E”.
Kalau... ‘library’?”.
L-I-B-R-A-R-Y”.
“Waah...hari ini kalian tampak bersemangat ya!”, pujiku. Semua pun pada bertepuk tangan sambil bersorak-sorai bergembira.
“Oya Kak, aku juga punya spelling!”, kata Pengki ditengah-tengah suara tepukan tangan murid-murid.
“Iya? Apaan tuh?”, tanyaku. Pasti aneh-aneh deh, gumamku.
“Huu....si Pengki! Kanceuh deui, yeuh gelona (kambuh lagi, nih gilanya)!”, ujar Desi.
“Nih! Ejakan ‘air beku’ dalam 2 huruf!”, kata Pengki.
“Aaaah...gecil!”, kata Fitri. “A-I-R-B-E-...”.
“Salah..salah!!”, elak Pengki. “2 huruf doang, Fit! Itu, sih..kebanyakan, 7 huruf”.
Kumaha atuh lamun ngan 2 hurup? Samentara kecap eta aya 7 hurup! Aheng!! (gimana dong kalau hanya 2 huruf? sementara kata itu ada 7 huruf! aneh!!)”, protes Desi sewot.
Enya geus lamun teu bisa nyerah wae! Teu perlu pake komentar sagala, atuh (ya sudah kalau gak bisa nyerah saja! gak usah pakai komentar segala, dong)”, komentar Pengki balik dengan bahasa Sunda juga.
“Aku tau, deh!”, Idris angkat bicara. “A-B. Kan singkatan dari air beku, A.B”.
“Jiahahaha! Salah, Dris!”, beritahu Pengki. “Nyerah, gak??”.
“Belum..tapi aku punya usulan!”, sahut Marsha.
“Jih? Tebak-tebakan, kok ada usulannya, sih?”, gumam Doni heran.
“Ganti dong, jangan air beku. Air wudhu saja. Kan kalau air wudhu gampang..A-W, air wudhu! Dan AW, kan juga salah satu makanan yang hanya 2 huruf doang!”. (ngerti, kan.. maksudnya ayam ‘AW’)
“Heh..heh..apaan tuh? Gak bisa dong, kan tebak-tebakannya Pengki!”, tolak Pengki mentah-mentah. “Hei, nyerah gak?”.
“Tau, ah! NYERAH!!”, sewot Adinda.
“Jawabannya....E-S, ES. Es, kan sama dengan air beku, air yang beku!”, beritahu Pengki. “Gimana, sih? Gak mikir sampai sono??”. Semua pun tertawa keras sambil melempar kertas bekas yang sudah diremes-remes seperti bola, yang pernah dilakukan sebelumnya.
Dan tawaan itu terdengar sampai kantor. Karena, ketika sudah usai kursus sementara aku dan Hamid siap-siap pulang ke rumah, Om Farel menghampiri kami sambil bertanya, “Kelas samping kantor kelas siapa, sih?”.
Aku langsung tertegun. “Kelasku, Om..! Emang kenapa?”.
“Oooh...kelas kamu, Safir? Pantasan, tertawa terus dari tadi..”.
“Iya, nih Om! Orang biang ributnya si Pengki”, ujarku.
“Pantasan..”, sahut Hamid angkat bicara. “Anak yang punya nama paling panjang itu, kan?”.
“Yups”, ujarku.
«««
Tapi, dibalik semua itu..tersimpanlah sebercak keharuan...
“Lho, Marsha mana?”, tanyaku ketika memasuki kelas.
“Gak masuk, Kak”, jawab Desi.
“Yah, si anak alim gak masuk. Kenapa, sih Des? Kamu kan satu sekolah dengannya”, ujar Nazim.
“Katanya, sih sakit...! Panas tinggi, gitu”, beritahu Desi.
“Ya sudah, ayo kita mulai pelajaran..”, kataku. “Berarti, hari ini yang gak masuk hanya Marsha saja, ya...”.
Kali ini, kami membahas tentang Present Continuous Tense. “Present Continous Tense adalah kalimat yang menunjukkan aktivitas yang sedang terjadi. Contoh present continuous seperti ini : I am eating beef right now. Saya sedang makan daging sapi saat ini..”, jelasku.
“Kak..”, kata Desi. “Ngomongin tentang sapi, Pengki ada tebakan, tuh!”.
“Apaan, sih???”, kata Pengki.
“Jih..pura-pura gak tau gitu, deh! Ulah bohong, maneh pan boga! Maneh mindeng ngabahas di sakola oge (jangan bohong, kamu kan punya! kamu sering membahas di sekolah juga)”, ujar Desi.
“Uh..jangan maksa, dong. Lagi malas tau gak, sih!”, gumam Pengki sambil menutup muka dengan buku..malas.
“Tumben si Pengki kayak gitu. Kenapa, sih?”, tanya Adinda.
“Tau, tuh! Dari tadi di sekolah juga kayak gitu!”, kata Desi acuh tak acuh.
“Kelas garing, nih..!”, gumam Doni. Akhirnya aku melanjutkan penjelasan lagi. Sebenarnya..aku juga merasa kayak gitu. Gak ada tebak-tebakan, gak ada debat bahasa Sunda, dan gak ada kata-kata alim.
Ketika anak-anak mengerjakan soal, aku mencoba untuk mengangkat bicara. “Pengki sakit?”.
“Gak, Kak Safir..”, jawabnya malas tanpa melihatku dan kembali hanyut ke soalnya lagi.
“Terus..kenapa?”, tanyaku lagi.
“Gak apa-apa, kok..”, jawabnya lagi..garing banget. Ada yang gak beres nih, gumamku dalam hati.
Seusai kursus, pas aku lagi membereskan buku-buku latihan untuk dibawa ke kantor, Hamid memasuki kelasku.
“Hei Safir, tumben kelasmu gak ramai. Sepi..sunyi..kayak kuburan tau”, ledek Hamid yang tengah membawa buku-buku latihan untuk dibawa ke kantor.
“Parah banget! Habis, biangnya lagi gak beres, nih”, ujarku sambil membawa buku-buku latihan. Kemudian kami keluar dari kelas.
“Saf, sebelumnya aku minta maaf banget ya”, kata Hamid.
“Lho..kenapa?”, tanyaku heran, gak biasanya Hamid seperti ini.
“Habis ini, aku mau langsung ke rumah, punya urusan sama orangtuaku. Gak tau..tentang apa. Jadi aku gak bisa mengantarmu ke depan sekolah”, beritahu Hamid.
“Ooh..gak apa-apa kok! Ntar aku bisa cari cara lain”, kataku. “Gak usah minta maaf...,selepe (sepele)!”.
“Haha..dasar!”, ujar Hamid. “Duluan, ya..! Daah!”. Hamid pun berlari ke luar sambil melambaikan tangannya. Aku pun membalasnya.
Setelah aku ke kantor, aku memohon Om Farel supaya bisa mengantarku ke depan sekolah, lagian jika beliau mau ke rumahnya, beliau akan melewati Sekolah Fatmawati. Setelah memohon dengan malu-malu, Om Farel bersedia dan menyuruhku untuk menunggu di depan, soalnya banyak yang mau diurus dulu di dalam. Jadi, aku keluar dari tempat kursus untuk duduk sebentar di tangganya, menunggu Om Farel untuk keluar. Pas aku mau duduk, kulihat si Pengki juga duduk-duduk di tangga tanpa ekspresi. Aku langsung menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Gak pulang, Peng?”, tanyaku.
“Gak..”, jawabnya pelan sambil menggeleng cepat. “Lagi malas sama rumah..”.
“Lho, emang rumahnya kenapa??”, tanyaku lagi. “Rumah aja gak malas”.
Tapi, Pengki tidak bereaksi (garing deh..). “Gak ada yang perhatian sama aku!!!”, seru Pengki..mulai menitihkan air mata.
“Lho..lho..pasti semua perhatian, kok sama kamu! Pengki kan anak baik”, ujarku menenangkannya. Aduh, sok bijaksana banget sih!
“Buktinya apa??”, lirih Pengki sambil menatapku. “Semenjak adikku lahir, Mama gak perhatian lagi sama aku! Mama selalu menyuruhku merapikan kamar sendiri, membereskan bekas makanan sendiri, malah aku kadang suka disuruh untuk melakukan pekerjaan yang tidak sesuai denganku!! Disuruh nyiram bunga, nyetrika baju, sampai waktu luangku tersita karena Mama!!!! Aku benci!!”.
“Pengki gak boleh gitu”, ujarku sambil merangkulnya. “Mungkin Mama berusaha membuatmu kamu itu mandiri. Apalagi Pengki sudah kelas 4 SD, sudah mulai dewasa. Kalau sejak kecil kamu mandiri, pasti ujung-ujungnya kamu sudah terbiasa mandiri, bahkan saking mandirinya kamu gak mau diurusin sama orang lagi. Sesungguhnya, pekerjaan Mama lebih berat dari pada kamu. Mama kamu harus rela bangun semalaman suntuk untuk memerhatikan seorang bayi. Bisa aja bayi tersebut menangis di tengah malam untuk meminta susu. Terus, pasti ditambah memasak, mencuci pakaian, dan membereskan bekas makan. Kan capek dan waktu istirahatnya sedikit”.
Pengki pun sadar. “Iya juga, ya Kak! Aku jadi kasihan sama Mama...”.
Aku pun tersenyum. “Mama tetap sayang sama kamu. Mending kamu masih punya Mama. Bisa ada yang nemenin kamu kapan saja, masih bisa mencicipi masakan Mama. Coba kalau gak ada Mama, bagaimana?”.
Pengki tertegun. “Iya juga, ya! Na’udzubillah deh..gak mau!!! Aku akan menyayangi Mama selama-lamanya!”.
“Gitu dong! Baru deh namanya Pengki, hehehe!”, ujarku sambil tertawa. Akhirnya Pengki pun bisa tertawa juga hari itu.
“Kak Safir, aku sebenarnya juga kasihan sama anak yang gak ada orangtuanya, apalagi seorang Mama...”, kata Pengki.
“Iya, Peng! Memang sangat gak enak sebenarnya...! Kan aku salah satunya anak yang kamu maksud itu...”, ujarku.
Pengki langsung menatapku tajam. “Maksudnya....??”.
“Ibuku meninggal ketika aku masih berumur 11 tahun...”, kataku sedikit lirih. “Ketika melahirkan adik perempuanku...”.
Pengki langsung memelukku. “Ya Allah...Kak, maafin aku ya atas kalimat tadi! Dalam banget kayaknya!!”.
“Gak kok, gak apa-apa!”, kataku sambil tersenyum. “Aku sudah terbiasa kok!”.
“Maaf ya Kak..”, mohon Pengki sekali lagi. “Terus gimana dong?”.
“Yaa..kan aku sekolah di Fatmawati. Setiap sore aku selalu menyiram tanaman dan mengangkat kain bersih..kemudian disetrika. Kadang aku pun membersihkan dan membereskan rumah setiap hari Sabtu. Selebihnya Nenekku yang mengerjakan pekerjaan rumah. Alhamdulillah..Nenek masih kuat”, jelasku.
“Papanya Kak Safir kemana? Gak ikut bantu gitu? Atau capek karena habis kerja”.
“Ayahku kerja di Surabaya, Peng..sama kakak laki-lakiku”.
“Owh...begitu. Jadi Kak Safir tinggal sama siapa?”.
“Aku tinggal sama Nenek, Kakek, dan adik perempuanku”.
Pengki langsung terdiam. “Ngomong-ngomong, kakaknya kakak sudah lulus kuliah, ya? Jadi langsung bantu papanya kakak kerja?”.
Aku tertawa. “Bukan lulus kuliah, tapi lulus SMA. Setelah itu, langsung kerja tanpa melanjutkan kuliah”.
“Kok gak kuliah dulu, sih?? Sudah terlalu pintar ya?”, tanya Pengki terheran-heran.
“Justru sebaliknya Peng..”, jawabku pelan. “Selain memang otaknya yang pas-pasan, biaya masuknya juga yang tidak mencukupi”.
“Lho..kok...”. Pengki tetap melihatku tajam, bagaikan mata elang.
“Kami hidup sangat pas-pasan. Kamu tau, gak..kalau sebenarnya aku hidup di...di desa di Desa Bukit Berbaris..”.
Pengki langsung kaget mendengar jawabanku.
“Makanya dari desa ke sekolah, aku menggunakan sepeda untuk sampai di tujuan”, ujarku.
“Kak Safir kayak Marsha..”, kata Pengki. “Marsha juga menggunakan sepeda setiap ke sekolah dan ke tempat kursus. Padahal dia masih kecil..beda 2 tahun sama aku. Tapi dia masuk aksel, sehingga bisa setingkat sama aku..”.
“Anak sekecil itu, kok dibiarin sendiri?”, tanyaku heran.
Pengki hanya tersenyum. “Sebenarnya, dulu memang ada yang memboncengnya. Yaitu Kak Ustman, kakak kesayangannya. Kan orangtuanya sibuk, sampai gak sempat mengantar-jemput Marsha. Tapi, suatu hari, ketika Kak Ustman sedang jalan di pinggir jalan, ada nenek-nenek sedang menyeberang. Kebetulan, memang lampu merah bagi kendaraan. Tapi, tiba-tiba ada mobil yang kayaknya pengemudinya sedang mabuk..langsung jalan laju begitu saja, tanpa berhenti. Pas nenek-nenek itu mau ditabrak, Kak Ustman langsung berlari sekuat tenaga dan menyelamati nenek itu. Sayangnya..Kak Ustman jadi yang tertabraknya. Sudah, deh..langsung meninggal di tempat. Sejak saat itu, Marsha maunya sendiri saja kalau naik sepeda...”.
Giliranku yang tertegun. “Tapi Marsha anak alim, lho Peng”.
“Banget dan banget!!”, ujar Pengki. “Kan ketularan Kak Ustman. Kakaknya, kan pernah mimpin sholat fardhu, lho di masjid! Ketika itu, pemimpin masjid lagi sakit. Hebat, ya!”.
“Keren banget, Peng!!”, gumamku.
“Iya, terus Marsha jago buat dan baca puisi. Wah..sudah deh, masternya kalau tentang puisi! Kalau buat puisi sedih, bisa membuat orang menangis! Kalau membacanya, bisa buat orang merinding! Keren deh pokoknya..!!”. Terus dia terdiam sejenak. Kemudian, “Kak Safir janji dulu, ya! Ini rahasia terbesarku. Karena aku sudah percaya sama Kak Safir”. Dia pun menunjukkan kelingkingnya.
“Iya..iya..”, kataku sambil membalas menunjukkan kelingking. “Kenapa?”.
“Kak...aku kan suka sama dia...hehehe!”, ujar Pengki malu-malu. “Makanya, segala-galanya yang bersangkutan tentang cerita lucu, humor, atau pokoknya yang buat orang tertawa ngakak, sebenarnya aku persembahkan untuk Marsha saja, sebagai penghibur..!”.
“Ciiee...Pengki..”, ledekku sambil menyikutnya. Dia hanya tersipu malu.
“Eh Kak, ntar dulu! Sebenarnya Marsha juga lagi senang sama kakak! Dia kan pernah cerita sama aku!”, kata Pengki sambil menjulurkan lidah.
“Aaah..bohong! Kamu teman dekatnya?”.
“Iya sih, kan kami satu sekolah, sama Desi, di Fatmawati! Cuma aku sama Desi gak aksel”, kata Pengki. “Katanya, kalau melihat muka Kak Safir, dia ingat kakaknya. Soalnya sikap-sikap kakak yang ramah, baik, bijaksana, santai, dan alim, mirip banget dengan sikap kakaknya”.
“Oya? Ah..terserah Pengki deh!”, ujarku.
“Ini kenyataan lho Kak!”, katanya sambil berdiri. “Sudah jam 3 sore. Pulang dulu, ya Kak!”.
“Oya..silahkan. Hei, minta maaf ke Mama nanti ya”, tegurku sambil melambaikan tangan. Pengki pun turut membalas sambil berlalu. Pas juga Om Farel datang.
“Maaf ya Saf, lama! Habis membereskan dokumen-dokumen penting, nih!”, kata Om Farel dengan muka sangat lelah. “Ngomong-ngomong, sholat Ashar berjemaah yuk! Setelah itu baru cabut”, ajak beliau. Aku pun menurut dan kami masuk ke dalam lagi untuk sholat Ashar berjemaah.
Sebenarnya, sih..masih banyak lagi kesan-kesannya. Tapi, cerita-cerita di atas adalah kesan-kesan yang paling bagus selama 3 bulan ini, apalagi mendengar kisah tentang Marsha dari Pengki, ketika aku dan dia ngomong berdua di tangga tempat kursus. Ya Allah..mudah-mudahan si Marsha selalu bahagia, ya... :D
«««

Bab 7 : Hari yang Indah

Akhirnya...ulangan semester telah kulunasi semua. Jadi, sekarang aku tinggal menikmati liburan. Ya..liburan tahun baru. Biasanya kalau mau tahun baru, orang-orang desa pasti pada ke bukit-bukit untuk melihat kembang api yang dipasang di kabupaten atau kota. Biasanya sampai tanggal 2 Januari, penduduk desa masih saja naik ke bukit untuk melihat kembang api.
Dan setiap liburan panjang, aku selalu membantu Nenek mengerjakan pekerjaan rumah yang lebih banyak. Atau..aku juga membantu Kakek untuk mengurus peternakannya. Benar-benar sangat menyenangkan! Peternakan Kakek terletak jauh dari rumah, di pinggiran bukit dan di dekat sungai. Aku sering membantu mengambil telur-telur ayam, memandikan kuda, memerah susu sapi, sampai-sampai bajuku penuh dengan lumpur! Pokoknya sangat menyenangkan ketimbang berkunjung ke tempat rekreasi seperi liburannya anak kota!!
Kadang juga..aku sempat-sempat singgah ke rumah Hamid untuk bermain, jika Hamid juga tidak berlibur ke luar. Permainan istiqomah kami dari SMP : ular tangga. Biarpun kami mulai menginjak dewasa, tapi permainan ular tangga yang cocok bagi anak SD tidak pernah membuat kami bosan. Apalagi sekarang ditambah satu pemain, Chelsea. Kami bermain sampai berjam-jam..sampai bosan.
Suatu hari, kami sedang membicarakan tentang perilaku orang-orang di tahun baru nanti.
“Kalau pas tahun baru, perilaku orang-orang seperti apa sih?”, tanya Chelsea kepada Hamid.
“Kalau di sini..”, Hamid mulai menjawab. “Orang-orang ada yang main petasan, memasang kembang api, bakar-bakar ikan atau apalah, keliling kota, de..el..el deh!”.
“Kalau di desa kayak gimana, Kak?”, kali ini Chelsea bertanya kepadaku.
“Kalau di desa, sih sederhana saja. Gak ada yang punya pembakaran makanan, gak ada yang mampu beli kembang api, orangtua-orangtua di sana melarang anak-anaknya main petasan, keliling desa gak ada yang memuaskan, jadinya pergi ke bukit dan melihat kembang api-kembang api yang sudah dipasang di kota dan di kabupaten. Tinggal melihat hasilnya”, jelasku. “Emang kenapa? Kok tanya kayak gitu?”.
“Gak apa-apa, cuma mau membandingkan orang-orang sini dengan orang-orang Amerika. Kalau di Amerika, orang-orang pada mabuk-mabukan dan melakukan maksiat lainnya. Memang sih, ada kembang apinya juga. Tapi hanya bisa dilihat di jendela, soalnya kan di luar ada salju”, jelas Chelsea.
“Ck..ck..ck..parah banget...”, decak Hamid sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Hmm...enak juga ya, kalau merayakan ulang tahun di sini..”, gumam Chelsea sambil meneguk es teh lemon yang telah disiapkan oleh pembantunya Hamid.
Keningku langsung berkerut. “Lho..emang ultahmu kapan?”.
“Pas tanggal 1 Januari nanti..”, jawab Hamid. “Tuh..siapin kado, gih!”.
“Jiih? Kok aku?”, tanyaku heran. “Orang kota dong seharusnya!! Hahahaha!!”. Aku menyikut Hamid.
“Huu...mentang-mentang orang desa!”, ujar Hamid.
“Ah, aku gak mengharapkan kado, kok kakak-kakakku sekalian..!!”, kata Chelsea.
“Huu..Chelsea munafik!”, ledek Hamid. “Tapi di dalam hati, Chelsea mengharapkan kado dari Kak Safir, kan??”.
“Iiih..apaan sih??? Gazebo!!”, ujar Chelsea sambil memukul lengan Hamid.
“Tau, tuh! Si Hamid..rada-rada gimana gitu”, ledekku juga.
“Heh..heh..parah banget!”, ujar Hamid. Kami tertawa serentak.
«««
Sepulang dari rumah Hamid, tiba-tiba otakku langsung terpikir ulang tahun Chelsea tanggal 1 Januari nanti. Ingin dikasih kado..nih tapi gak ada uang, gumamku dalam hati. Masa pakai uang tabungan? Kan uang tabungan khusus untuk beli tiket pesawat nanti. Hmm...kalau misalnya ke rumah Hamid lagi, aku tanyakan deh barang kesukaannya. Tapi harus hati-hati, nih..tanpa sepengetahuan Hamid! Kalau ketahuan bisa berakibat fatal..aduh bahasanya sok banget sih! Ya kan, kalau ketahuan bisa diledek si Hamid habis-habisan. Masalahnya juga untuk membalas kebaikan Chelsea. Chelsea telah menuntunku ke suatu jalan supaya bisa menempuh mimpiku. Ya sudah..aku mau membalasnya!
Beberapa hari kemudian, aku ke rumah Hamid lagi. Seperti biasa, kami bermain ular tangga. Di tengah-tengah permainan, Hamid dipanggil sama ibunya.
“Eh..permainannya pause dulu dong!”, mohon Hamid. “Ntar dulu, ya!”, akhirnya Hamid bergegas menuruni tangga untuk menghampiri ibunya di bawah. Sementara aku dan Chelsea hanya termenung diam. Ditengah-tengah kesunyian, Chelsea langsung menyalakan Ipod ‘apple’-nya.
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like
On a Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
In other words, darling , kiss me
“Lagu siapa, Chel?”, tanyaku. “Sepertinya lagu jazz, ya? Lagu orang dewasa?”.
“‘Fly Me to The Moon’-nya Frank Sinatra”, jawab Chelsea sambil asyik mendengarkan. “Lagu kesukaan aku, nih Kak!”.
“Oh ya? Tapi nge-jazz banget! Aku gak suka”, komentarku acuh tak acuh.
“Biarin! Yang penting arti dari lagu ini aku banget gitu”, kata Chelsea acuh tak acuh juga.
“Emang apaan?”, tanyaku heran.
“Kan intinya orang ini mau terbang ke Bulan”, kata Chelsea. “Andai saja aku bisa terbang ke luar angkasa....”.
“Kamu bisa mempelajari tentang luar angkasa lebih dalam, kok!”, beritahuku. “Kalau sudah tau lebih detail, kamu tinggal menunggu waktu untuk melihat secara langsung”.
Chelsea berbinar-binar. “Waah..enak banget! Tapi..masalahnya aku gak terlalu tau tentang tata surya lebih dalam...”.
“Lihat di internet saja, kan bisa!”, ujarku. “Atau, gak..lihat di buku pengetahuan..”.
“Iya, sih. Tapi kalau di internet, aku gak ngerti. Terus, pernah mau beli komik pengetahuan tentang luar angkasa. Tapi..sudah habis!”, katanya sedih. “Coba saja..aku bisa mendapati buku tentang luar angkasa, yang bisa dimengerti olehku...”. Sementara lagu terus beralun...
Fill my heart with song
Let me sing for ever more
You are all I long for
All I worship and adore
In other words, please be true
In other words, in other words
I love ... you
«««
Sekarang aku tau apa yang harus kuberi pada Chelsea : buku pengetahuan tentang luar angkasa punya Kak Hasan dulu!
Sepulang dari rumah Hamid, aku langsung melompat ke kamar Kak Hasan. Aku langsung membongkar-bongkar segala-galanya yang ada di kamar Kak Hasan, sampai-sampai Nenek menegurku, “Abang..Nenek gak mau tau ya! Ntar kamarnya si Hasan diberesin lagi!! Gak mau tau, baru beberapa detik tadi Nenek sudah capek-capek membereskan”.
“Iya, Nek! Safir janji!!!!”, teriakku dari dalam kamar Kak Hasan. Waduh..kasihan banget Nenek. Baru selesai diberesin beberapa detik, malah diberantakin lagi sama aku. Parah banget, Safir...!
Setelah membongkar-bongkar segala-galanya, sampai mengangkat ranjang tempat tidur dan melihat seekor tikus yang sudah tergeletak mati di bawah ranjang (Nenek membersihkannya kurang bersih, soalnya masih ada tikus yang tertinggal..!!), akhirnya bukunya ketemu ditindih sama kasur. Bukunya lecek, gumamku.
Setelah merapihkan kembali sekalian (dengan baik hati) membuang tikus keluar sambil melapor ke Nenek tentang hal tersebut dan beliau bilang bahwa beliau lupa, aku bergegas ke kamarku. Setelah itu, kuambil sampul plastik tersisa dan kusampul buku itu rapi-rapi. Setelah beres, aku ambil secarik kertas dan menulis sesuatu...
Ayo, Chelsea! Berjuanglah terus..supaya kamu bisa meraih cita-citamu! Aku akan selalu mendukungmu!!! CHAYOO!! :D
-Safir-
Kemudian aku selipkan di tengah-tengah halaman bukunya. Terus, bukunya kubungkus dengan kertas kado bekas dan kuberi pita bekas (juga). Jadi, deh! Bahkan..aku mempunyai rencana yang matang, nih...!!
Pada tanggal 30 Desember, aku bermain ke rumah Hamid lagi. Ketika aku datang, tidak seperti biasanya Hamid langsung menyambutku dan menarikku untuk masuk ke kamarnya, tempat bermain kami.
“Saf, mau bantuin Chelsea, gak?”, ajak Hamid sambil menunjuk ke arah Chelsea. “Membantu mempersiapkan acara ulang tahunnya pada tanggal 31 Desember, di malam hari”.
“Iya? Kapan? Kok tanggal 31 Desember?”, tanyaku berturut-turut.
“Soalnya, Kak..sekalian masang kembang api di rumah”, ujar Chelsea. “Orangtuaku sudah membelinya. Kak Safir boleh ikut, kok!”.
“Oh, begitu. Boleh!”, kataku. “Tapi..aku bantu saja, ya! Gak yang lain”.
Hamid sedikit heran kepadaku, karena mungkin dia tau maksud kalimat yang barusan aku lontarkan tadi. Kemudian Hamid memasang muka mengerti apa yang kumaksud sebenarnya. Kalau Chelsea, dia sudah berjingkrak kegirangan. Masalahnya, aku tidak akan diizinkan jika keluar malam-malam sendirian di tahun baru, apalagi kalau ke rumah Hamid. Soalnya Nenek takut jika aku bakalan tertimpa kecelakaan di kota ketika aku menaiki sepeda. Kan kendaraan pasti ramai banget!
Akhirnya, kami bergegas ke rumah Chelsea untuk mempersiapkan acara ulang tahunnya. Pas memasuki rumahnya, brr...dingin banget, gumamku. Ya lha, soalnya ada AC dimana-mana!
Kami mendekorasi di halaman belakangnya yang kira-kira seluas ruang tamuku. Aku memompa balon-balon yang bewarna-warni, Hamid menata perabotan-perabotan rumah tangga, dan Chelsea menyiapkan alat-alat yang akan diperlukan besok. Katanya, kue ultah serta makanan-makanan kecil lainnya sudah dipesan di toko kue milik mamanya Hamid.
Beberapa jam kemudian..halaman belakang sudah terhias cantik dan indah. Kami bertiga langsung terduduk, capek. Ibunya Chelsea memberi 3 gelas es milo untuk kami bertiga.
“Kak Safir, besok datang, dong..!”, rajuk Chelsea sambil menatapku penuh permohonan.
“Iya, tuh Saf! Datang dong!”, Hamid ikut merajuk.
“Eng..gimana, ya? Insya Allah ya!”, gumamku pelan.
“Datang, ya Kak! Ntar kutunggu!”, kata Chelsea. “Kalau gak datang aku nekat datang ke rumah Kak Safir, lho!”.
“Huu..Chelsea! Mengharapkan seorang Safir benar, sih!”, ledek Hamid. Chelsea langsung memukul lengan Hamid.
«««
Malam 31 Desember pun tiba..
Chelsea merayakan ulang tahunnya dengan sangat meriah, ditambah lagi bunyi kembang api yang mulai muncul. Dan asap-asap tetangga yang mengepul karena bakar-bakar terbang kemana-mana. Kendaraan-kendaraan besar mulai memenuhi jalan raya besar. Suasananya sangat ramai.
Sementara, orang-orang desa mulai berkeluaran dari rumahnya dan pergi ke bukit. Ada yang membawa tikar dan rantang..seperti mau kemping, ada yang membawa keluarga besar seperti kakek, nenek, buyut, mertua, ponakan, cucu, cicit, cicitnya lagi, cicit-cicitnya lagi, cicit-cicit-cicitnya...(aduh aduh kebanyakan!), dan macam-macam, deh!
“Ayo Bang! Makannya yang banyak, kan kita mau ke bukit!”, bujuk Nenek menyemangatiku.
“Ah..Nenek! Semangat betul!”, ledekku sambil nyengir.
“Nanti bawa jaket, ya! Kan pasti dingin..di puncak bukit”, kata Nenek mengingatku. Aku pun mengangguk.
“Ade’...sudah pakai jaket belum??”, teriak Nenek kepada Zahro yang lagi main di sofa sama Kakek.
“Uda Ne’...”, jawab Zahro juga semangat. “Jhalo cama Kake’ uda pake jaket. Nene’ uda beyum?”.
“Udah dong, dari tadi!”, kata Nenek. “Tinggal Abang, nih belum!”.
“Ka Safhil pake dong! Bial cama kaya Jhalo”, kata Zahro lucu dan menggemaskan.
“Iya..iya..nanti juga bakal pakai, kok! Tenang saja!!”, seruku sambil meneguk air minum. Kemudian aku melompat dan memasuki kamarku untuk mengambil jaket. Ketika mau diambil dari tempat tidur, aku melihat kado..yang ingin kukasih pada Chelsea. Hmm...besok saja deh, gumamku.
Sementara, di rumah Chelsea...
“Kak Hamid, Kak Safir mana??”, tanya Chelsea..di tengah keramaian orang.
“Lagi di jalan kali”, hibur Hamid.
“Sudah jam 8, nih! Kan aku sudah bilang kalau acaranya kan jam 6 malam”, kata Chelsea. “Kak Safir kenapa, sih?”.
“Chel..sebenarnya..”, akhirnya Hamid memberitahu alasannya mengapa aku gak datang. “Intinya dia gak bisa. Neneknya takut kalau dia kecelakaan, makanya dia tidak diizinkan keluar malam tahun baru. Kan mobil ramai”.
“Yaah...”, Chelsea sedih sambil duduk di kursi. “Gak seru kalau gak ada Kak Safir. Garing, deh rasanya...!”. Hamid hanya menghela napas.
“Kak, minta alamat Kak Safir, dong!”, pinta Chelsea tiba-tiba sambil berdiri. “Mau nyusul..”.
Hamid terbelalak kaget. “Gelo! Ngapain??”.
“Ayo, dong Kak! Kak Hamid kan baik. Pliiis!!!”, rajuk Chelsea sambil menarik-narik tangan Hamid.
Akhirnya Hamid pasrah. “Ya deh..ya deh, nih! Aku sms-in ke Hp kamu ya!”, kata Hamid sambil memencet Hp-nya.
Bunyi nada sms Chelsea terdengar hanya beberapa detik kemudian. “Yes..terima kasih, ya Kak!”, kata Chelsea sambil berlalu meninggalkan Hamid yang melongo.
“HEH...ACARANYA GIMANA???”, seru Hamid setelah connect lagi.
“Kak Hamid saja yang nanganin!!”, seru Chelsea juga. Setelah itu, batang hidung Chelsea tidak terlihat lagi.
“Memang deh, si Chelsea! Ngerepotin..”, gumam Hamid dalam hati. “Hanya demi Safir doang....”.
Tapi, tiba-tiba bibir Hamid membentuk sebuah senyuman. “Ternyata sahabatku sudah mempunyai jati diri juga, ya..”
«««
 45 menit berlalu...mobil Chelsea sudah berada di depan warung, dekat rumahku...
Orang-orang desa mungkin pada heran. Gila..ada mobil nih..jangan-jangan ada yang mau ngasih sembako, bisik para ibu-ibu ‘penggosip’.
“Pak Mamat, tunggu di sini saja, ya! Ngopi di warung itu juga boleh!”, kata Chelsea kepada sopirnya.
“Ok, Non!”, kata Pak Mamat. Kemudian Chelsea keluar dari mobil.
“Jln. Bukit Cemara no.7...”, gumam Chelsea sambil melihat-lihat rumah satu per satu. Karena keadaan agak gelap, dia tidak bisa melihat blok di setiap rumah.
“Bu..boleh tanya gak?”, akhirnya Chelsea memberanikan diri untuk bertanya pada salah satu ibu-ibu yang melewatinya.
“Iya, Dek! Ada apa?”, kata ibu-ibu itu ramah.
“Rumah yang ada di Jln Bukit Cemara no.7 mana, ya?”, tanya Chelsea.
“Ooh..rumahnya si Safir ya??”, kata ibu-ibu itu menyakinkan. “Itu tuh..yang rumahnya ada tanaman-tanaman subur”. Ibu-ibu itu menunjukkan rumah bercat oren yang sudah agak pudar dan sedikit mengelupas.
 “Oh..ya. Makasih ya Bu”, kata Chelsea. Ibu-ibu itu mengucapkan “sama-sama” dan berlalu. Axis banget sih Kak Safir, gumam Chelsea sambil berjalan ke arah rumah yang sudah ditunjuk oleh ibu-ibu tadi...
“Kakek, tempatin bukit yang paling tinggi dong!”, kataku sambil memasang jaket biru-hitamku, warisannya Kak Hasan.
            “Siip deh, Safir!!”, ujar Kakek bersemangat sambil mengacungkan jempol. Kemudian aku keluar untuk mengunci rumah dan kuncinya kukasih ke Nenek. Pas sudah ingin menaiki motor, tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang mau menghampiri rumahku. Pas mulai jelas ternyata...Chelsea!
“Abang, jangan bengong! Buruan!!!”, tegur Nenek yang sudah duduk di motor.
“Oh..eh..duluan saja! Nanti Safir nyusul”, kataku gugup. “Nanti Safir ke sana pakai sepeda. Tenang saja”.
“Benar ya!”, kata Kakek. “Susul kami ke Bukit Subur, yang paling tinggi itu, lho!”. Akhirnya Kakek berangkat dengan motornya.
“Kak Safiiirr!!!!”, seru Chelsea sambil berlari ke arahku. “Kak, kok gak ke rumahku? Aku menunggu kakak, lho! Ya sudah langsung kususul”.
“Ya Allah..Chelsea!”, kataku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ya sudah, Chelsea ikut aku ya! Yuk, naik ke sepeda”. Kemudian aku mengeluarkan sepeda. Kemudian aku membonceng Chelsea dan kami menuju ke Bukit Subur, bukit yang paling tinggi di Desa Bukit Berbaris. Selain tinggi, bukit itu juga subur..bagaikan dihamparkan karpet hijau yang berumput. Makanya orang-orang desa menamakan ‘Bukit Subur’.
Sepanjang perjalanan, aku menceritakan setiap bukit yang kami lewati. Chelsea hanya berdecak kagum mendengar setiap ceritaku. Sampai gak terasa, kami pun sampai. Aku memarkirkan sepedaku di samping motor Kakek.
“Kak Safir, Chelsea takut jatuh..”, gumam Chelsea gugup.
“Gak bakal jatuh, kok!”, bujukku. “Ayo, pegang tanganku..”. Akhirnya aku menuntun Chelsea untuk naik ke bukit yang tinggi itu.
Ketika sampai di puncak, kami melihat orang-orang yang sudah menngelar tikar. Suasana sangat ramai! Untung aku bisa melihat Kakek dan Nenek yang sedang menggelar tikar.
“Duduk dekat Nenek dan Kakekku, yuk!”, ajakku. Akhirnya kami menghampiri Nenek dan Kakek.
“Safir bawa Hamid?”, tanya Nenek ketika melihat seseorang yang berjalan di sampingku.  “Lho..dikira Hamid! Gak mungkin Hamid jadi perempuan”.
“Temanku, Nek. Namanya Chelsea”, kataku. “Tetangga baru Hamid”. Chelsea pun menyalami Nenek dan Kakek.
“Sepertinya kalian gak mau diganggu, tuh!”, ledek Kakek sambil mengedipkan mata. “Nih, Kakek ada tikar kecil kalau duduknya ingin agak jauh dari kami”. Kakek memberi gulungan tikar kecil. “Selamat menikmati persahabatan!”.
“Apaan sih Kek?”, kataku sambil nyengir. Chelsea pun juga ikut nyengir.
“Tapi kalau mau makan ke sini, ya!”, pinta Nenek.
“Iyaa..iyaa..”, kataku. Setelah itu kami berdua pun berlalu. Kami memilih duduk di ujung puncak bukit, tidak jauh dari tempat Kakek dan Nenek. Kami pun gelar tikar kecil di situ dan duduk. Pas banget untuk 2 orang.
“Maaf, ya.. karena aku, kamu jadi jauh-jauh datang ke sini”, gumamku.
“Gak apa-apa, kok! Aku sudah tau alasannya dari Kak Hamid”, kata Chelsea sebelum aku memberi alasannya. Kemudian, dia menghidupkan Ipod ‘apple’-nya.
I used to think that I could not go on
And life was nothing but an awful song
But now I know the meaning of true love
I'm leaning on the everlasting arms
“Lagu siapa lagi, Chel?”, tanyaku. “Kali ini kedengarannya enak!”.
“‘I Believe I Can Fly’-nya R. Kelly. Gak tau ‘R’-nya itu kepanjangan dari apa..”, beritahu Chelsea.
I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see me running through that open door
I believe I can fly
I believe I can fly
I believe I can fly
“Gila..lagunya tentang aku banget nih!”, ujarku. “Kan aku juga ingin terbang”.
“Sengaja dihidupin..hehehe”, kata Chelsea.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Oya..ada sesuatu nih, buat Chelsea!”, kataku sambil mengeluarkan sesuatu dari jaketku, yaitu kado. Chelsea terbelalak kaget melihatnya
“Wah, kado! Terima kasih Kak”, serunya bahagia sambil menerima kadonya. Dia langsung membukanya dengan tidak sabaran.
“Buku pengetahuan tentang luar angkasa!!!!”, serunya lagi sambil memeluk bukunya.
“Maaf, ya lecek. Itu sudah kusampul kok. Soalnya itu bekas punya kakakku yang sudah tertindih kasur bertahun-tahun”, ujarku.
“Gak apa-apa..yang penting bukunya sesuai dengan seleraku!!”, kata Chelsea sambil menatapku penuh terima kasih. Kemudian, kami terdiam sejenak. Kembang api sudah mulai terlihat.
“Dingin banget..”, lirihnya tiba-tiba sambil melihat Hp-nya. “Pantasan..sudah jam 9.30 malam..”.
“Mau pakai jaketku, gak?”, tawarku sambil melepaskan jaketku.
“Gak usah, Kak! Ntar kakak kedinginan..”, tolak Chelsea halus.
“Gak apa-apa! Aku pakai lengan panjang, kok!”, kataku sambil menunjukkan bajuku yang berlengan panjang. “Siapa suruh pakai kaos lengan pendek ke sini?”.
“Jih? Kan gak tau kalau disuruh ke sini!”, ujar Chelsea sambil tertawa ngakak. Akhirnya Chelsea pun memakai jaketku. “Makasih, ya Kak! Beruntung deh, Zahro punya kakak kayak Kak Safir yang baik ini”.
“Apa sih..? Biasa saja, ah aku”, tukasku. Kami pun tertawa.
“Kak Safir..”, panggil Chelsea. “Benar deh, ini adalah hari dan kado paling menyenangkan yang pernah Kak Safir beri..!”.
“Semua Allah yang beri, Chel”, kataku. “Kamu harusnya berterima kasih kepada Allah, bukan aku”.
“Iya deh..terima kasih ya Allah..”, gumam Chelsea. “Kak, kembang apinya mulai banyak tuh!”.
“Iya! Keren kan?”, kataku.
“Banget!! Betah deh, Chelsea di sini sampai jam 1 malam”, ujar Chelsea.
“Huu...dasar! Ujung-ujungnya juga ketiduran”, ledekku. Chelsea langsung memukul lenganku pelan. Kami pun tertawa terbahak-bahak sambil menikmati kembang api-kembang api yang sudah menghiasi hamparan langit gelap.
Hey, if I just spread my wings
I can fly
I can fly
I can fly, hey
If I just spread my wings
I can fly
Fly-eye-eye
Benar-benar hari yang indah...
«««

Bab 8 : Perjuangan Tiada Henti

Tanggal 20 Juli tahun ini adalah hari yang menjadikan Safir baru. Tau gak..kenapa?  Hari ini, aku berusia ganjil 15 tahun dan duduk di bangku 2 SMA! Yah, walau umur tersebut seharusnya ditujukan pada anak kelas 3 SMP, tapi gak apa-apa. Hei, tapi ketika aku masih duduk di bangku 1 SMA, teman-temanku ada yang masih berumur 15 tahun. api beberapa doang..!! Gak apa-apa, umur 15 tahun itu, kan umurnya kita sudah baligh (dewasa).
Suasana juga mulai baru! Teman-teman yang mulai tampil dewasa. Ya, soalnya di kelas 2 SMA..kebanyakan murid-murid sudah berumur 17 tahun, tapi ada yang masih 16 tahun. Lihat, deh! Maryam yang sekarang memakai kerudung panjang, Ali yang sudah ada sedikit jambang, Lili yang semakin cerewet, pokoknya beda banget 100%, deh!
“Weis..Safir!! Sudah memasuki umur anak baligh, nih!!”, ledek Ali sambil mengacak rambutku. “Lu sudah mulai dewasa gitu dehh!”.
“Deuh..yang baru menginjak umur 15 tahun..!”, ledek Kiki. “Seharusnya masih SMP, nih! Salah masuk kelas!!”.
“Apaan sih, yang sudah berumur dewasa!”, ledekku gantian. “Kalau ada film bertuliskan ‘hanya untuk 17 tahun keatas’, berarti boleh nonton tuh!”.
“Huu...dasar Safir!!”, ujar Ja’far. Sekelas pun tertawa. Kemudian, Hamid datang memasuki kelas.
“Weiis!! Seorang Hamid sudah mulai dewasa tuh!!”, ledekku. “Hamid sudah mulai kumisan. Hahaha!”. Semua pun tertawa. Hamid hanya berjalan santai.
“Kenapa sih, anak baru 15 tahun? Mau kumisan juga kayak aku??”, balas Hamid sambil menunjukkan kumisnya yang masih sangat tipis. Sekelas mulai tertawa lagi.
Selain suasana baru, guru pun juga baru! Kali ini, wali kelas kami adalah seorang pria muda. Fiuh..untung saja..laki-laki. Masalahnya dari kelas 1 SD wali kelasku selalu perempuan! Setelah belajar di Fatmawati 10 tahun, kudapati seorang wali kelas yan laki-laki.
Namanya Pak Herman. Beliau akan mengajar Sejarah di kelas 2 SMA. Dari kata-katanya, beliau adalah orang yang sangat bijaksana. Setiap beliau mengajar, beliau pasti akan menyelipkan sepatah dua patah nasehatnya. Sungguh..aku kagum melihat dan mendengar beliau.
“Kalian sudah dewasa. Sekarang kalian harus memegang mimpi masing-masing. Dari mimpi itu, kalian bisa membentuknya menjadi cita-cita”, nasehat Pak Herman suatu hari. “Ingatlah kata Walt Disney : semua mimpi kita akan menjadi kenyataan, jika kita memiliki keberanian untuk mengejarnya. Jadi, kita tidak perlu segan-segan untuk mengejar mimpi kita..walaupun setinggi apapun. Asal, kita harus berani!”. Kriing..bel pun berbunyi.
«««
“Wah, berarti kalau aku berani untuk mengejar mimpiku, aku bisa menjadi fotografer yang memotret alam-alam dong!”, seru Hamid di kantin.
“Pak Herman itu orangnya bijaksana, ya!”, seruku juga.
“Betul banget..nget..nget..”, sambung Ali sambil melewatiku. Mungkin dia dengar seruanku kali, ya ketika melewatiku. Akhirnya dia berlalu.
“Banget, Saf! Banget!”, kata Hamid dengan tampang serius.
“Beliau memotivasi kita untuk selalu mengejar mimpi kita, Mid!”, kataku. “Setiap nasehatnya pasti selalu begitu!”.
“Apa mungkin beliau sudah berpengalaman ya?”, tanya Hamid sambil mengunyah rotinya (tumben..biasanya kan bakso).
“Gak tau..”, gumamku. Akhirnya kami pun terdiam.
“Hei, ngomong-ngomong..uang tabunganmu sudah banyak, belum?”, tanya Hamid.
“Gak tau, deh!”, kataku. “Malas ngitung. Mudah-mudahan saja sudah banyak!”.
“Kalau sudah diatas Rp500.000, bisa dibeli tiket lho!”, beritahu Hamid. “Kan ada tiket yang harganya Rp600.000-an!”.
Aku terbelalak kaget. “Oh iya? Bagus dong!”. Akhirnya bel berbunyi tanda masuk.
Pak Herman selalu meminta kita untuk mempunyai mimpi yang tinggi dengan nasehatnya. Biarpun setiap pelajaran beliau selalu menasehati tentan mimpi dan mimpi, tapi kami tidak pernah bosan untuk mendengarkannya.
“Hiduplah dengan mimpi, agar kalian bisa mempunyai tujuan hidup!”, nasehat Pak Herman. “Tapi..janganlah hidup dalam mimpi!”. Spontan kelas langsung menjatuhkan bom atom yang bersuara tawaan berbarengan...
Karena terus-terusan beliau menasehati kami tentang mimpi, pernah suatu hari..pas aku mau jalan ke perbelokan untuk mengantar buku latihan Matematika ke kantor, aku melihat Pak Herman dan Pak Wisnu sedang berbicara serius di depan pintu kantor. Spontan aku langsung bersembunyi..sambil menguping pembicaraan mereka berdua (jangan ditiru, ya!).
“Pak, saya ingatkan sekali lagi! Bapak tidak usah menasehati mereka tentang mimpi-mimpi lagi! Ntar mereka hanya bisa mengkhayal dan mengkhayal!”, tegur Pak Wisnu galak.
“Tapi Pak, sekali lagi juga saya beritahukan. Saya menasehati mereka agar mereka bisa menggapai masa depan mereka yang cerah, karena mereka sudah mempunyai tujuan hidup”, kata Pak Herman membela diri.
“Emang dengan mimpi, mereka bisa mencapai cita-cita mereka? Belum tentu Pak!”, hardik Pak Wisnu lebih galak.
“Emang apa buktinya, Pak?”, tanya Pak Herman.
“Buktinya, Bapak masih seperti sekarang. Guru, guru, dan guru. Padahal, kan mimpi Bapak bukan jadi guru, kan? Mimpi Bapak saat ini belum terkabul, kan?? Ya kan??”, tukas Pak Wisnu sambil melotot seram. “Makanya, jangan memberitahu kepada anak-anak jika Bapak sendiri belum mengalaminya. Itu namanya SOK TAU!”. Akhirnya Pak Wisnu pergi meninggalkan Pak Herman begitu saja.
“Namanya juga takdir. Hanya Allah yang mengetahuinya. Kan saya hanya memberi semangat pada anak-anak. Soalnya zaman ini, anak-anak remaja Indonesia jarang banget yang menjadi orang sukses”, gumam Pak Herman sambil memasuki kantor. Setelah benar-benar aman, aku pun memasuki kantor.
Sesampai di rumah, kata-kata galak Pak Wisnu kepada Pak Herman masih terngiang di pikiranku. Padahal, kan mimpi Bapak bukan jadi guru, kan? Mimpi Bapak saat ini belum terkabul, kan??.... Makanya, jangan memberitahu kepada anak-anak jika Bapak sendiri belum mengalaminya. Emang Pak Herman punya mimpi, seperti aku? Tapi mimpinya belum tercapai. Apa benar, ya??
Selain bijaksana, Pak Herman terkenal sangat baik dan sangat ramah. Murid yang dikenal atau tak dikenal, pun tetap beliau beri senyum. Makanya banyak murid-murid yang menghormatinya...!
Keesokkan harinya, ketika jam istirahat...“Mid..kayaknya Pak Herman juga punya mimpi kayak kita deh”, ceritaku. “Makanya beliau selalu menasehati kita tentang mimpi. Sayangnya gak tercapai...”.
“Tau dari mana?”, tanya Hamid heran.
“Soalnya kayak gini....”. Akhirnya aku menceritakan pengupinganku kemarin.
“Parah banget, sih Pak Wisnu!”, komentar Hamid sewot. “Namanya juga takdir”.
“Ingin kutanyakan pada Pak Herman tentang hal ini...”, gumamku.
“Tanyakan saja. Kamu, kan pemberani..”, ujar Hamid. “Kalau tau jawabannya, beritahu aku segera, ya!”.
“Huu...bisanya ngambil hasil”, ledekku. “Dasar Pak Kumis, hahaha!”.
“Eh..eh..parah banget!”, seru Hamid hampir melempar mangkuk bakso ke arahku.
«««
Aku tau..sebenarnya perbuatan ini sangat buruk! Aduh, Safir..tambah besar tambah bandel! Tapi demi menguras rasa penasaranku, aku rela melakukan ini! Yaitu, aku akan mencari tau informasi tentang Pak Herman, bahkan bisa sampai nekat mengobrak-abrik barang-barang beliau yang ada di kantor! Jangan ditiru, ya...! :P
Pertama-tama, aku harus berbicara pada Pak Herman sering-sering!
Alhamdulillah..Allah memberi kesempatan pertama untukku, ketika aku mau mengumpulkan buku latihan sepulang sekolah. Aku menuju ke kantor untuk menghampiri Pak Herman.
“Pak..ini tugasnya..”, ujarku sambil memberi buku latihan pada Pak Herman.
“Oya..terima kasih!”, kata Pak Herman sambil menerima bukunya.
“Ngg..ngomong-ngomong, Pak Herman ada waktu luang gak hari ini?”, tanyaku. “Saya mau membicarakan satu hal...”.
“Ada! Saat ini adalah waktu luang saya”, kata Pak Herman. “Duduklah..! Mau cerita apa?”. Beliau menepuk salah satu kursi yang ada di sampingnya. Akhirnya aku pun duduk.
“Pak, emang setinggi apapun mimpi, bakal bisa tercapai ya?”, tanyaku pelan.
“Bisa, kok Safir! Bisa! Asal, ingat kata Walt Disney yang pernah saya beritahu”, kata Pak Herman.
“Saya ingat, kok Pak!”, gumamku.
“Tau Hellen Keller, gak?”, tanya Pak Herman.
“Tau, Pak! Orang yang buta dan tuli itu, kan?”, kataku meyakinkan.
Pak Herman mengangguk. “Dia yang buta dan tuli sampai terputus oleh dunia, punya impian yang kuat! Dia ingin melihat dan merasakan dunia. Eh..besarnya dia bisa menjadi penulis terkenal dan hebat sepanjang zaman! Dia bisa melihat dan merasakan, tapi tidak lewat matanya yang buta itu! Tetapi lewat hati..! Apalagi kayak kita ini, yang sudah dikasih Allah utuh”.
Aku pun mengangguk. Sungguh bijaksana, gumamku. “Tapi..kalau misalnya gak tercapai gimana?”. Mudah-mudahan saja beliau gak tersinggung!
“Yaa...takdir Allah, dong. Mungkin Allah maunya di lain waktu”, kata Pak Herman sambil tersenyum. Aku menghela napas. Untung gak tersinggung, gumamku.
“Tapi pasti bisa, kok Saf! Bapak yakin pasti tercapai”, hibur Pak Herman. Mungkin beliau kira helaan napasku tadi tanda bersedih hati...!
“Hehehe...do’akan ya, Pak! Supaya mimpi saya tercapai”, kataku.
“Emang..mimpimu apaan, Saf?”, tanya Pak Herman.
“Eng...ingin terbang, Pak!”, jawabku santai. “Terbang pakai apa saja, yang penting bisa melihat alam di atas sana”.
“Wah, bagus banget mimpinya! Seperti Wright bersaudara”, puji Pak Herman sambil menepuk pundakku. “Terus dikejar, ya Saf!”.
“Hehe..ya Pak!”, kataku sambil tersenyum. Setelah bercakap-cakap lama, akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
Semenjak kejadian itu, aku dan Pak Herman mulai akrab dan banyak bicara. Setiap sepulang sekolah, kami selalu membicarakan tentang mimpi. Dan kami bagaikan teman, sangaaaat akrab! Oke, deh..strategi pertama terpenuhi!
Kedua, menguping pembicaraan antara Pak Herman dengan guru lain..jika bersangkutan dengan mimpi. Mohon sikap ini untuk tidak ditiru..terima kasih..! ^_^
Alhamdulillah! Allah memberi kesempatan lagi!!
Pas aku sedang membuka lokerku untuk menyimpan buku-buku ketika jam istirahat, aku mendengar percakapan antara Pak Herman dengan Pak Saleh, guru Kimia, tepat di belakangku. Sayup-sayup aku mendengar seperti ini...
“Pak, apakah aku adalah orang yang sok tau?”, tanya Pak Herman.
“Sok tau dalam rangka apa, Pak?”, tanya Pak Saleh balik.
“Dalam rangka..mimpi”, kata Pak Herman sedikit sedih.
“Gak, kok Pak! Justru Bapak bagus karena sering memotivasi anak-anak”, hibur Pak Saleh. “Kan Bapak sudah berpengalaman, walau gagal”.
“Iya, sih!”, gumam Pak Herman. “Soalnya, kata Pak Wisnu saya itu sok tau, padahal mimpi saya belum tercapai”.
“Jangan hiraukan apa yang dibilang Pak Wisnu”, tukas Pak Saleh. “Belajarlah dari pengalaman. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Itu takdir, Allah pasti akan menggantikan yang lebih baik daripada sekarang”. Setelah itu, kayaknya mereka berlalu soalnya percakapan telah berhenti. Apa benar, ya..Pak Herman mempunyai mimpi yang tertunda, gumamku. Strategi kedua sudah terpenuhi.
Strategi terakhir (yang paling buruk), mengobrak-abrik barang-barang Pak Herman yang ada di kantor!
Ya Allah..engkau Maha Baik! Engkau memberi kesempatan lagi!
Suatu hari, ketika kami sedang berbicara seru di kantor sepulang sekolah, tiba-tiba ada telepon dari Pak Wisnu bahwa beliau harus ke kantor kepala sekolah.
“Safir, kalau Bapak kelamaan di sana, pulang saja ya!”, kata Pak Herman sambil berlalu.
Kesempatan nih.., gumamku. Akhirnya aku pun mulai mengobrak-abrik barang-barang yang ada di meja beliau. Belum ada tanda.., gumamku. Setelah benar-benar tidak ada tanda-tanda, aku pun menyerah. Tapi, tiba-tiba mataku tertuju ke arah buku bewarna oren kecoklatan. Langsung kubuka dan kubaca. Ternyata isi hati Pak Herman!
1 Mei 19xx
Aku tau..hidup memang pendakian..! Susah sekali untuk dicapai, apalagi gunung yang berlahar mimpi. Bersusah payah sudah kukejar mimpiku, tapi..mimpi ini selalu meloloskan diri. Sampai-sampai aku telah gagal..mencapai mimpiku! Ya Allah..mungkin ini takdir..mungkin engkau ingin aku bisa meraih mempiku di lain waktu..!
Ya Allah..aku ingin menemukan barang-barang yang tertimbun di masa lalu..aku ingin menjadi seorang arkeologis..aku ingin ya Allah! Tapi kapan engkau memberiku kesempatan lagi...?
Ya Allah..cukup aku seorang diri saja yang mempunyai mimpi yang gagal! Cukup aku seorang diri saja...
Air mataku hampir berjatuhan. Ya Allah..benar-benar harapan Pak Herman yang sangat kuat! Pantaslah beliau mewanti-wanti kami agar selalu berjuang meraih cita-cita...!
Strategi terakhir sudah terselesaikan...
«««
 “Hamid, aku tau jawabannya!”, beritahuku lewat telepon malam itu juga.
“Apaan??”, tanya Hamid dengan nada penuh penasaran.
“Pak Herman ingin menjadi arkeologis, tapi gak tercapai..”.
“Yaah...kasihan sekali Pak Herman! Cari cara, dong..agar bisa meraih impiannya lagi, sampai dimaki-maki Pak Wisnu segala”.
“Gimana dong caranya??”, tanyaku kebingungan. Hamid asal ceplas-ceplos saja!
“Hmm...gak tau! Hehehe!”, Hamid tertawa terkekeh-kekeh. “Kamu, kan sudah akrab banget sama Pak Herman. Sekali-kali tanyakan..mengapa bisa tidak tercapai...”.
“Iya juga, ya!”, gumamku. “Tapi kalau tersinggung gimana??”.
“Insya Allah, mah tidak”, ujar Hamid.
“Alaah..sok tau banget sih!”, seruku sampai mulutku menempel di telepon.
“Eh..eh..pekak tau!!”, seru Hamid balas, memekakan telinga. Akhirnya kami tertawa terbahak-bahak...
Oke deh, kalau begitu aku akan merancang strategi tentang mencari tau sebab mimpi Pak Herman tidak tercapai...!
«««
Tapi...kayaknya Allah belum memberi kesempatan...!
Akhir-akhir ini Pak Herman selalu sibuk! Jadi aku jarang mengobrol dengan beliau setiap pulang sekolah sekarang. Mungkin Pak Herman sibuk, ya buat soal-soal untuk ulangan umum semester 1 di bulan November nanti! Ya sih, sekarang kan akhir bulan Oktober. Tapi..jika kuperhatikan, guru-guru lainnya masih santai dan biasa-biasa saja kok! Bahkan Pak Saleh, guru yang terkenal paling santai, sering menambahkan game tentang Kimia! Beda jauh dengan Bu Mimi, guru Matematika, yang terkenal paling serius, tiada henti tanpa quiz sebelum memulai pelajaran (bahkan kalau pelajarannya jam pertama, sudah buat otak kegerahan tuh!). Bagaikan langit dan Bumi...!
Suatu hari, aku disuruh Pak Herman untuk mengantarkan buku-buku latihan anak-anak ke kantor, soalnya Pak Herman mau pergi ke mana..gitu. Biasa..masih sibuk. Ya sudah, aku mengantarkan buku-buku latihan ke kantor sendiri. Waktu itu Hamid sedang gak masuk karena sakit..
Fiiiuuhh...! Selesai sudah kutaruh buku-bukunya di meja kantor Pak Herman. Di samping meja Pak Herman, ada Pak Saleh sedang duduk sambil membaca-baca buku pelajaran Kimia kelas 2 SMA.
Pak Saleh adalah sahabatnya Pak Herman, sama seperti aku bersahabat dengan Hamid. Mereka memang sangat akrab. Karena itu, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Pak Saleh tentang Pak Herman.
“Ngg...Pak..aku mau nanya sesuatu dong”, kataku agak ragu-ragu. “Tapi jangan bilang iapa-siapa, ya! Dan maaf kalau ini bukan pertanyaan tentang pelajaran”.
“Oya? Gak apa-apa. Duduk saja di kursi Pak Herman”, kata Pak Saleh lembut dan santai. Aku pun duduk. “Mau nanya apa, Safir?”.
Aku menghela napas sejenak. “Pak Saleh, Pak Herman itu punya mimpi, ya? Kayak aku dan teman-teman?”.
Pak Saleh ikut menghela napas. “Safir jangan bilang siapa-siapa juga, ya”. Aku mengangguk pelan..dengan berjuta-juta penasaran. “Ya, beliau mempunyai mimpi”.
“Ooh..pantasan beliau sering menasehati kami tentang meraih mimpi gitu-gitu deh!”, ujarku pelan.
“Ya, karena beliau tidak mau mimpi murid-muridnya tidak tercapai”, kata Pak Saleh.
“Oya? Emang mimpi beliau tidak tercapai?”, tanyaku pura-pura kaget. Padahal aku sudah tau dari kapan tau, hehehe!
“Ya, Safir! Kamu tau...Pak Herman itu ingin menjadi arkeologis...”. Akhirnya Pak Saleh mulai bercerita. “Dulu, Pak Herman paling jago yang namanya Sejarah! Jago banget, deh pokoknya! Nilai ulangan Sejarahnya juga paling rendah itu 8. Hebat, kan?”. Aku pun terkagum. “Nah..pas itu, beliau mendapatkan formulir pendaftaran Fakultas Ilmu Kebudayaan yang ada di Universitas Indonesia. Beliau pun akhirnya mendaftarkan diri. Untung saja, bayarnya bisa  pas tanggal mau ujian. Apalagi, ujiannya tahun depan. Ya sudah, akhirnya Pak Herman menabung..sekalian bekerja! Rela bekerja menjadi tukang minyak yang ada di Pertamina itu, selama setahun! Alhamdulillah, seminggu sebelum tanggal ujiannya, beliau menghitung tabungannya. Ternyata memenuhi pembayaran ujiannya!”. Pak Herman benar-benar mirip aku untuk meraih mimpinya, gumamku.
“Tapi Saf, sayangnya.....”. Pak Saleh sedikit tertunduk. Mungkin ceritanya sedih..! “Sehari sebelum tanggal ujiannya, beliau mendapati kabar bahwa ibunya kecelakaan dan butuh dana cukup banyak. Hasil uang kerja ayahnya sudah diserahkan semuanya, tapi belum terpenuhi juga. Akhirnya, karena Pak Herman sayang sama ibunya, uang tabungannya beliau serahkan semuanya demi pengobatan ibunya, Saf...!”. Pak Saleh mulai menitihkan air mata. Aku pun jadi ingin menangis juga..sedih banget!
“Karena itu, keesokkan harinya, beliau pergi ke tempat ujiannya dan bilang bahwa beliau tidak jadi ikut tes karena tidak ada dana lagi...! Ya sudah, akhirnya beliau jadi dapat gelar sarjana pendidikan, yang bayar masuknya cukup murah...”, cerita Pak Saleh lirih. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi...
“Safir, dulu hidup Pak Herman sangat kekurangan. Ayahnya hanya bekerja sebagai penjual sate jalanan. Ibunya bekerja sebagai pembantu. Kakaknya yang sudah berkeluarga juga bekerja sebagai tukang becak...! Makanya itu beliau menabung dan bekerja supaya bisa membayar tesnya. Sayangnya..semua sudah tidak bisa diraih lagi...”, lanjut Pak Saleh sambil mengelap mukanya yang basah karena tetes-tetesan air mata yang bertumpah-ruah. “Makanya, kalian jangan menggerutu kalau beliau selalu menasehati tentang meraih mimpi. Beliau sangat berharap jika kalian bisa meraihnya..”. Akhirnya Pak Saleh terdiam sejenak.
“Pak Saleh, tapi akhir-akhir ini kok Pak Herman sibuk?”, tanyaku.
“Selain membuat soal Sejarah kelas 2 dan 3 SMA untuk ulangan umum nanti, beliau sedang bersikeras mencari formulir pendaftaran ujian Fakultas Ilmu Kebudayaan yang ada di Universitas Indonesia. Beliau ingin mendapatkan sarjana ilmu arkeologi”, jawab Pak Saleh singkat. Setelah bercakap-cakap sedikit, akhirnya aku berpamitan pulang. Hmm...sepertinya aku mempunyai sebuah rencana!
«««
Keesokkan harinya, pagi-pagi aku langsung meneriakkan teman-teman kelasku yang tengah berkumpul. “WOII!! TEMAN-TEMAN, ADA YANG MAU DISAMPAIKAN, NIH!!!!”, teriakku seperti orang gila habis dikejar anjing. Baju seragamku juga sudah basah karena tadi dengan ngebutnya aku mengayuh sepedaku..hampir menabrak pohon dan jatuh ke selokan!
“Woi..woi..Safir, lu kenape??”, tanya Ali heran.
“Makanya, dengerin dulu!!!!”, kataku. “Ngumpul, deh semuanya!”. Akhirnya satu kelas pada berkumpul di bangkuku.
“Kalian tau, gak..kenapa Pak Herman selalu menasehati kita tentang mimpi? Yang alhamdulillah kita juga gak bosan?”, ujarku. Semua pada menggeleng.
“Soalnya kayak gini...”, akhirnya aku mulai bercerita tentang strategi-strategi yang kuperbuat. Mulai dari menguping pembicaraan Pak Wisnu dengan Pak Herman, mendekatkan diri pada Pak Herman, menguping pembicaraan Pak Saleh dengan Pak Herman, mengobrak-abrik barang-barang Pak Herman, membaca buku tentang isi hati Pak Herman, sampai mendengar cerita Pak Saleh tentang Pak Herman. Teman-teman yang awalnya mulai tampak serius, kemudian satu per satu mulai menitihkan air mata!
“Jadi aku mau usul nih, sekarang kan Pak Herman sedang mencari formulir pendaftaran ujiannya lagi, jadi mau gak ngumpulin uang untuk pembayaran ujian beliau?”.
“Gila, Saf!! Aku setuju banget!!!”, seru Ja’far. Semua pun ikut setuju.
“Ntar uangnya diserahkan ke bendahara saja”, ujarku.
“Tapi yang ngasihin uangnya kamu, ya Saf!”, kata Hamid. “Kan kamu yang paling akrab sama Pak Herman diantara kita-kita”. Semua pun mengiyakan. Aku juga mengiyakan.
“Tapi kapan ngumpulinnya??”, tanya Zainab.
“Terserah! Yang jelas paling lambat hari terakhir ujian semester! Soalnya kan, beberapa hari kemudian pembagian raport. Ntar kita ngasih uangnya pas hari itu”, usulku. Semua pun setuju.
Akhirnya, semua pada rajin mengumpulkan sumbangan untuk Pak Herman. Tanpa keluhan mereka menyumbangkannya dengan jumlah yang sangat besar! Mungkin mereka menceritakan kepada orangtuanya, ya! Lagian mereka juga anak kota. Kalau aku? Aku menyumbangkan sedikit dari uang tabunganku. Tapi, aku ada ide lain! Kubuat kotak seperti kotak infaq, lalu kutuliskan : ‘Sumbangan Bagi Seorang Guru yang Sedang Tertimpa Musibah’ (lho, kan Pak Herman sedang tertimpa musibah, kan? Musibahnya yaitu cita-citanya belum tercapai? berarti aku gak bohong), lalu kutaruh di masjid yang ada di desaku. Alhamdulillah, orang-orang pun banyak yang menyumbangkan, walau ada yang receh-recehan! Sampai kulihat, kotak infaqnya berat karena penuh dengan uang!
Sampai hari terakhir dari ujian semester pun tiba...
Kriing! Bel berbunyi tanda waktu mengerjakan ujian telah usai. Semuanya pada mengumpulkan kertas ujian pada pengawasnya. Ada yang memasang muka tenang, santai, biasa-biasa saja, meremehkan, tapi ada yang tegang, takut, sedih, pasrah, dan sebagainya. Setelah berdoa, mengucapkan salam, dan pengawasnya pergi, semua pada berkumpul di bangkuku (lagi).
“Nih, Saf..uangnya!”, kata Melati, sang bendahara di kelas, memberi uang yang sudah terkumpul. “Jumlahnya kalau kuhitung ratusan tau, bisa beli Hp jadul malah, yang hanya 200-an itu”.
Aku menerima dan menaruhnya di meja. Kemudian, aku mengambil sesuatu dari tas, yaitu kotak infaq yang kubuat itu! Pas adzan Shubuh tadi, aku langsung ke masjid dan mengambil kotaknya diam-diam, lalu aku pulang ke rumah lagi. Kan sambil menunggu Kakek dan Nenek, soalnya seperti biasa kami sholat Shubuh di masjid bersama.
“Eh kreatif banget, lu Saf! Buat kotak infaq segala!”, ujar Ali ketika melihat kotak infaq yang kutaruh di meja. Semua pun tertawa.
“Ada yang punya cutter, gak?”, tanyaku.
“Aku ada”, kata Lili sambil mengambil cutter dalam tas. Setelah menerima cutter dari Lili, aku memotong kotak yang kubuat dari kardus. Setelah itu, wah..isinya recehan semua (:P), mungkin yang paling besar hanya Rp5.000! Teman-teman pada cangak melihat dalamnya.
“Biasa..orang desa. Kayak gak tau saja”, tegurku. “Ada yang mau bantu nyusun, gak??”.
“Aku mau..aku mau..!!”, hampir semua anak perempuannya mengangkat telunjuk.
“Wah..pada ketahuan, nih mata duitan! Sering nyusun uang”, ledek Hamid sambil tertawa.
“Heeh..gini-gini, calon petugas bank, ya!”, kata Citra sambil membusungkan dada. Semua pun tertawa.
Setelah disusun rapi, aku mengeluarkan amplop lusuh yang kuminta sama Kakek tadi malam. Kemudian, semua uang yang sudah tersusun rapi kumasukan ke dalam amplop.
“Tinggal menunggu hari Sabtu”, kataku.
«««
Hari Sabtu pun tiba! Hari ini dimana semua murid pada deg-degan. Karena hari pembagian raport! Tapi, beda dengan kelasku. Hari ini dimana kami penasaran apa yang akan Pak Herman katakan ketika menerima hadiah dari kami!
Ditengah-tengah keributan kami di kelas, Pak Herman datang..dengan membawa raport serta wajah yang ceria. Gak biasanya nih cerianya..tampaknya ceria banget, gumamku.
“Anak-anak, Bapak kagum soalnya nilai di raport kalian bagus-bagus”, beritahu Pak Herman dengan nada bangga. Kami pun bertepuk tangan sambil bersorak-sorai gembira.
“Sekarang Bapak bagikan, ya!”, kata Pak Herman. “Yang meraih rangking satu di kelas ini...”
“Melly!!”, seru semuanya. “Pasti Melly lagi!”.
“Oya? Bukan!”, kata Pak Herman. “Tapi..Safirul Huda! Silahkan maju!”.
Aku langsung bengong heran. Semua pada bertepuk tangan sambil bersorak-sorai (lagi). Hamid yang ada di sampingku langsung menepuk-nepuk bahuku. Aku langsung maju ke depan.
“Selamat, ya!”, ujar Pak Herman sambil menyalamiku. Aku pun tersipu malu sambil terheran-heran. Biasanya, kan yang rangking satu itu Melly, anak terpintar di angkatan kita. Pokoknya kalau nilai-nilai semua murid di kelasku dengan kelas sebelah, nilai Melly pasti yang paling tinggi. Lagian dia, kan cita-citanya ingin menjadi ilmuwan. Tapi, kok..sekarang jadi aku?? Dan aku belum pernah mendapatkan rangking satu seumur hidup! Serius, deh.. rangking yang paling besar kudapati pun rangking tiga, ketika masih duduk di kelas 5 SD. :P
“Weiiss, Safir!! Selamat, ya! Menggeser jabatan si Melly”, sorak Ja’far.
“Jih? Apaan sih..”, kataku malu-malu.
“Selamat, ya!”, kata Melly. “Mungkin kamu yang pantasnya mendapatkan rangking satu”.
“Oya..ya..sama-sama”, ujarku. “Terus berjuang juga, ya Mel!”. Akhirnya Pak Herman membacakan yang masuk 10 besar saja. Setelah itu, Pak Herman menyebutkan namanya saja tanpa disebutkan rangking berapa. Mungkin biar gak malu kali, ya! Hamid mendapatkan rangking 7. Dia pun melompat-lompat senang, karena biasanya dia tidak masuk 10 besar. Raport terus dibagikan sampai raport di tangan beliau habis karena sudah dibagikan.
“Hmm...hari ini Bapak senang sekali!”, kata Pak Herman. “Karena nilai kalian bagus-bagus. Bapak bangga!”. Semua pun pada bertepuk tangan dan bersorak-sorai (lagi).
“Tapi selain itu...”, lanjut Pak Herman. “Saya bisa mengejar mimpi saya yang tidak tercapai sebelumnya”.
“Emang mimpi Bapak apa?”, tanya Hamid pura-pura gak tau, padahal sebenarnya sudah tau dari aku. :P
“Sebenarnya, saya ingin menjadi arkeologis...”, Pak Herman mulai bercerita. “Dulu, saya menemukan formulir pendaftaran ujian untuk masuk ke Fakultas Ilmu Kebudayaan yang ada di UI. Karena tidak ada uang, saya sepakat untuk menabung dan mencari kerja selama setahun, sampai tanggal ujian pun tiba. Tapi, karena ada sedikit musibah, uang yang saya kumpulkan tidak jadi untuk membayar tesnya, tapi untuk membayar seseorang yang tertimpa musibah itu..”. Beliau pun menghela napas sejenak.
“Tapi..perjuangan saya tidak akan berhenti sekarang. Akhirnya, saya terus berusaha untuk mendapatkan formulir itu lagi, yang membuat waktu saya tersita. Setiap habis mengajar, saya langsung pulang ke rumah untuk mencari informasi dari internet. Alhamdulillah, kemarin saya mendapatkannya. Itulah yang membuat saya senang”, ujar Pak Herman sambil tersenyum penuh kemenangan. Semua pun pada bertepuk tangan dan bersorak-sorai (lagi). Pantasan sehabis pulang sekolah gak ada Pak Herman, gumamku dalam hati.
“Terus, Bapak membayar ujiannya kapan?”, tanya Lili.
“Ngg..pas tanggal ujiannya. Kan ujiannya 2 tahun yang akan mendatang. Jadi, saya akan mengumpulkan dana dulu..!”, jawab Pak Herman.
Akhirnya, seisi kelas pada menatapku, berharap aku memberinya sekarang.
“Psst..sekarang saja, Saf!”, bisik Hamid pas di depan telingaku.
Akhirnya aku mengeluarkan amplop yang berisi uang dari dalam tasku. Lalu, aku berdiri dan berjalan menuju meja guru.
“Pak..ini, ada sesuatu dari kami satu kelas..”, kataku pelan sambil menyodorkan amplopnya.
Pak Herman yang terheran-heran akhirnya menerima amplopnya dan membukanya. Pas melihat isinya, mata beliau langsung berkaca-kaca.
“Kami mau membantu Bapak agar bisa membayar dananya, Pak! Ini sumbangan dari kami semua. Kami ingin mimpi Bapak tercapai, karena Bapak selalu menasehati kami untuk meraih mimpi kami. Kami ingin kita bisa meraih mimpi bersama-sama”, kataku bijaksana.
Muka Pak Herman mulai basah karena air mata. Kemudian, Pak Herman berdiri dan langsung memelukku. “Ya Allah...alhamdulillah..terima kasih, Nak! Terima kasih!! Uang ini lebih dari cukup untuk membayar tesnya..terima kasih...”. Seisi kelas diam-diam juga mulai menitihkan air mata.
“Terima kasihnya kepada Allah, Pak! Karena Allah telah memberi kita rezeki yang banyak sehingga kita bisa menyumbangkan uang untuk Pak Herman..”, kataku bijakasana. Pak Herman memelukku semakin erat sambil mengucapkan hamdalah berkali-kali...
Benar-benar hari yang mengharukan....
«««

Bab 9 : Musibah yang Menimpaku (1)

Yeah..akhirnya umurku sudah 16 tahun! Aku sudah menginjak umur anak SMA!! Dan sebentar lagi aku akan lepas dari seragam! Karena, aku sudah duduk di kelas 3 SMA. Gak terasa, ya..waktu begitu cepat!
Lihatlah teman-temanku juga. Sudah mulai bermuka dewasa. Hamid yang waktu itu kumisnya mulai tumbuh, sekarang sudah agak lebat gitu. Ali juga sudah mulai membentuk jenggot di wajahnya! Teman-temanku sudah mulai dewasa! Dan kelas 3 SMA adalah kelas dimana membuat orang deg-degan. Karena, tinggal setahun lagi mereka duduk di bangku sekolah. Tinggal setahun lagi mereka memakai baju seragam. Tinggal setahun lagi mereka bisa jajan di kantin (hehehe). Pokoknya semua tinggal setahun!
Sekarang Zahro berumur 5 tahun. Dia bersekolah di Tk yang ada di kabupaten. Dia sudah bisa berbicara jelas dan lancar. Hobinya membaca buku dan mengarang cerita. Jangan-jangan nanti dia kayak Ibu, suka mendongeng dan menulis cerita. Ibu, kan pernah menjadi penulis best seller! Zahro anaknya juga berperasaan. Kalau dia membaca atau mendengarkan cerita sedih, dia bakal menangis. Kalau seram, dia bakal takut. Kalau bahagia, dia akan senang sambil bertepuk tangan. Padahal itu semua baru dari cerita yang belum tentu kenyataan. Apalagi kalau mendengarkan berita yang sedih-sedih atau apalah..!
Dan Kakek sering meledekku sekarang.
“Deuh..bentar lagi lepas dari bangku sekolah nih!”, ledek Kakek setiap makan malam. “Bentar lagi lepas seragam, nih!”.
“Apa sih Kek..?”, kataku sambil nyengir.
“Sudah tau belum, mau kuliah dimana? Hahaha!”, ledek Kakek lagi. “Jangan jauh-jauh, ya! Nanti si Zahro kasihan, gak ada kakak-kakaknya lagi. Habis pergi semua!”.
“Iya, nih! Nanti gak ada yang bawa Zahro jalan-jalan keliling desa setiap sore”, sambung Nenek juga.
“Kuliah terserah dimana, yang penting impian tercapai. Hahaha!”, kataku sambil tertawa.
“Huuu...maunye!”, ujar Kakek sambil mengacak-acak rambutku. “Ngomong-ngomong, masih ngajar?”.
“Masih, tapi hanya 6 bulan saja. Soalnya biar tahun depan konsentrasi ke UN. Murid-muridnya juga begitu, kan sudah kelas 6”, jelasku.
“Wah..wah..wah, UN lagi! Perasaan baru kemarin”, kata Nenek. “Waktu memang cepat, ya!”.
“Betul, Nek! Namanya juga kiamat semakin dekat”, ujarku sambil menyuapi nasi.
“Kalau nanti kiamat, kita jadi gini-gini dong..”, kata Zahro sambil mempraktekan gaya pocong.
“Wah..mirip!! Sudah berpengalaman, bukan?”, ledekku. Zahro langsung memukul lenganku. Kami pun tertawa melihat tingkah laku Zahro yang lucu menggemaskan.
Setelah selesai makan, aku bergegas ke kamarku untuk menghitung uang tabungan. Aku membuka kotak sendal bekasnya Zahro dan menumpahkan uang-uang yang ada di situ. Kemudian aku mulai menghitung.
Alhamdulillah...sudah terkumpul Rp1.500.000! Usahaku ternyata tidak sia-sia! Ya Allah..rasanya ingin melompat-lompat di atas kasur..! Sayangnya kalau aku melompat sekali saja, ranjangnya sudah patah...
Tinggal 6 bulan lagi pekerjaanku selesai.....
«««
Seminggu sebelum ulangan semester, ketika hari terakhir aku menjadi tutor...
“Bentar lagi kalian UN, belajar yang rajin dan sungguh-sungguh, ya agar kalian bisa lulus”, pesanku. “Kita sama-sama berjuang untuk menghadapi UN, ok!”.
“OK!!”, seru Pengki. “Aku akan berjuang!!!”.
Ulah gelo mulu, Peng! Diajar tiheula, kakara kaci gelo-geloan..lamun lulus. Lamun teu lulus ulah emboh gelo, hahaha!! (jangan gila mulu, Peng! belajar dulu, baru boleh gila-gilaan..kalau lulus. kalau gak lulus jangan tambah gila, hahaha!!)”, ledek Desi masih istiqomah dengan bahasanya.
Maneh, ulah doakan kuring teu lulus atuh! Kurang ajar, enya!! Parna pisan! Lamun kuring teu lulus, kudu tanggung jawab! Lamun teu ntar kuring ngomong ka dines atikan yen lembar jawaban kepunyaan Desi Widyasari eta hasil contekan kabeh! Kajeun teu lulus oge! Hahaha!! (kamu, jangan doakan saya gak lulus dong! kurang ajar, ya!! parah banget! kalau aku gak lulus, harus tanggung jawab! kalau gak nanti aku bilang ke dinas pendidikan bahwa lembar jawaban kepunyaan Desi Widyasari itu hasil contekan semua! biar gak lulus juga! hahaha!!!)”, ledek Pengki dengan bahasa Sunda juga.
Heh, parna pisan! Ulah doakan kuring oge atuh! Doakan anu alus-alus, atuh! Ieu kalahka doakan anu goreng-goreng. Tadi, pan ngan bercanda! Emosian mulu (heh, kurang ajar! jangan doakan aku yang jelek-jelek juga dong! doakan yang baik-baik, dong! ini malah doakan yang buruk-buruk. tadi, kan hanya bercanda! emosian mulu)”, tukas Desi gak mau kalah.
Enya geus, antare atuh! Komentar terus! (ya sudah, santai dong! komentar terus!)”, ujar Pengki gak mau kalah juga.
Maneh anu antare!!!!!!! Dasar aheng, gelo, saraf! (kamu yang santai!!!!!!! dasar aneh, gila, saraf!)”, sewot Desi.
Geus..geus..! Ulah debat presiden di dieu!! Daek perpisahan oge, masih terus debat!! (sudah..sudah..! jangan debat presiden di sini!! mau perpisahan juga, masih terus debat!!)”, seru Malik memberhentikan mereka dengan bahasa Sunda juga, karena sering mendengarkan debat bahasa Sunda yang selalu dilontarkan antara Pengki dan Desi.
“Ya sudah, kita sama-sama berdoa kepada Allah agar lulus”, ujar Marsha.
“AMIIIEEN!!! Anak alim doanya dikabul deuh!”, seru Adinda. Semua pun meng-amin-kan. Marsha hanya tersipu malu.
“Kak..nanti pas kuliah masih ngajar, gak?”, tanya Marsha penuh harapan.
“Gak tau, deh! Belum tentu, sih..kuliahnya dimana!”, kataku. “Makanya hari ini hari terakhir kita”.
“Yaaaaaaaahhhhhh.............di sini lagi, dong!”, mohon Idris. Yang lain pun mengiyakan.
“Gak tau, dong! Hanya Allah yang tau”, tukasku.
“Kak, kalau misalnya kuliahnya gak disini, jangan lupa sama kami, ya..”, kata Marsha penuh harapan. Semua pun mengiyakan.
“Gak bakalan, kok!”, kataku. Aku gak bakalan melupakan kelas ini. Marsha yang alim, Pengki yang mempuyai ribuan tebakan aneh tapi lucu, perdebatan bahasa Sunda-nya Desy, pokoknya gak bakalan lupa!
Setelah kelas usai, aku pun langsung menuju ke kantor untuk mengambil ‘uang jajan’ terakhirku.
“Nih, Saf! Uang terakhirmu..”, kata Om Farel sambil memberi uang sebesar Rp30.000.
Aku pun menerimanya. “Makasih ya, Om! Doain aku agar lulus..”, kataku.
“Om bakalan mendoakanmu”, kata Om Farel sambil mengelus rambutku. “Pasti deh Safir lulus! Safir kan pintar! Dan pasti Safir bakal bisa terbang!!”.
“Hehehe, ingat juga impianku”, kataku. Akhirnya aku berpamitan pulang...
Benar-benar hari perpisahan sungguh mengharukan...
Akhirnya mulailah kesibukanku.
Try out..try out..dan try out! Waktu luangku pasti diisi dengan belajar, mengerjakan soal try out yang kubeli di toko buku di kabupaten, dan sebagainya! Sekarang, aku juga tidak membawa Zahro keliling desa pakai sepeda setiap sore, karena kuisi dengan BELAJAR. Tapi Zahro paham, kok maksud aku! Kalian tau...Ujian Nasional di awal April!!! Tinggal 4 bulan lagi, teman-temanku sekalian!!!!
Tapi, aku juga punya rencana! Habis pembagian ijazah, aku akan membeli tiket pesawat, oke deh..akhirnya impianku bakalan tercapai! Kalau bisa membeli tiket lebih dari satu, aku akan mengajak Ayah, Kak Hasan dan Zahro. Kakek dan Nenek, maaf ya gak diajak, lagian Kakek dan Nenek kalau mudik kan pakai pesawat! Belum tentu uangnya bisa terbeli lebih dari 2! Yang paling utama adalah keempat orang itu lha!
Suatu hari, aku pun membuka celenganku. Ketika kuhitung lagi...alhamdulillah! Sudah terkumpul Rp2.000.000! Pas banget bisa membeli 4 tiket pesawat yang harganya Rp600.000!
Oke dech, Safir!! Tinggal tunggu mainnya!!
«««
Kriiingg!!! Bel pun berbunyi nyaring. Anak-anak TK mulai berhamburan keluar dan menuju ke depan sekolah. Ada yang menunggu jemputan dan ada yang menunggu bus sekolah.
Zahro, salah satu anak yang diantar-jemput oleh bus sekolah. Bus sekolah selalu menaik dan menurunkannya di depan desa. Setelah itu, Zahro jalan ke rumahnya..sendirian. Tapi dia tidak takut dan tau arah jalannya.
Bagi yang murid-muridnya pulang dengan bus sekolah, ada halte khusus di pinggir jalan. Paling..dari sekolah tinggal menyebrang ke depan, terus sudah, deh! Terlihatlah halte bus khusus sekolahnya Zahro.
“Teman-teman, nyebrang yuk! Sudah lampu merah, tuh..untuk kendaraan!”, ajak Zahro. Akhirnya, Zahro dan teman-teman menyebrang di zebra-cross.
 Ketika lagi menyebrang, tiba-tiba ada motor yang sangat ngebutnya dan tidak tau lampu lalu lintas mau menabrak teman Zahro, yang pas depannya.
Zahro yang melihat motor itu langsung mendorong temannya. “Felis, awaaaaaas......!!!!!!!”. Sayang demi sayang..................
BRRAAAAAK!!!!!!!!!!!!
«««
“Gilaaa...otak ini rasanya butuh istirahat..”, gumamku sambil memarkirkan sepeda dan bergegas masuk ke rumah. Ya..tadi di sekolah baru saja try out Matematika. Wajarlah sekarang otakku lagi terkapar tak berdaya. Aku pun memasuki rumah.
“Ya, Pak....ya..saya akan ke sana...waalaikumsalam..”, kata Nenek lirih kemudian menutup telepon. Kulihat Nenek menangis tersedu-sedu. Gak biasanya Nenek menangis seperti itu. Ada apa, ya??
“Nek, Nenek kenapa?”, tanyaku sambil duduk di sampingnya. Nenek tidak menjawab dan masih menangis tersedu-sedu.
“Nenek kenapa...?”, tanyaku semakin penasaran. Nenek masih tidak menjawab.
“Nek..cerita, Nek sama Safir! Nenek kenapa? Cerita, Nek..sama Safir...”, akhirnya aku memohon sambil mengguncang-guncang bahu Nenek.
“Huuhuuhuu...si..hiks..si..Za..hiks..Zahro, Bang...hiks..”, lirih Nenek sambil sesenggukan.
“Iya, Nek? Zahro kenapa?”, tanyaku heran.
“Si Zahro..Bang..hiks...ke...hiks...kecce..ce...”, Nenek masih ngomong terbata-bata, membuatku semakin bingung.
“Kece..apa Nek??”, tanyaku semakin penasaran. “Kecebur got?” Kalau mendengar kecebur got, sih sudah biasa. Soalnya Zahro memang suka kecebur got. Tapi, untung saja tidak pernah terluka atau memar. Tapi, kali ini sepertinya parah banget...
“Bukan, Bang!”, lirih Nenek mulai agak tenang. “Ke..ce..la..kaa..an....”.
Aku langsung terdiam membisu. Astaghfirullahal’adzim...kecelakaan? Ya Allah...Zahro yang umurnya baru 5 tahun, Zahro yang masih TK, sudah tertimpa musibah seperti itu..? Ya Allah..apa maksudnya ini??
“Safir, kita ke RS Bunda Mulia, yuk! Yang ada di kabupaten..”, ajak Nenek sambil beranjak pergi untuk siap-siap. Aku masih terdiam seribu bahasa...
«««
“Tadi, Kak..pas kami lagi menyebrang jalan, ada motor ngebut gak tau lampu lalu lintas mau menabrakku. Karena Zahro melihat motornya yang hampir menabrakku, Zahro langsung mendorongku untuk menyelamatkanku. Eh..malah dia yang kena”, cerita Felis, seorang saksi. “Parahnya lagi, tukang motor yang menabrak Zahro gak mau bertanggung jawab, langsung main ngebut saja..!”.
Parah banget, sih tukang motornya! Kalau ketahuan, harus membiayai pengobatan Zahro!!!!
“Tau plat nomor motor itu, gak??”, tanyaku.
“Hah? Plat nomor itu apa, Kak?”, tanya Felis balik. Oya, ya..masih umur 5 tahun belum tau apa-apa, kan?
“Itu, lho..yang di belakang motornya ada angka-angka gitu”, terangku.
“Ooh...gak tau!”, kata Felis setelah mengerti. “Motornya ngebut, sih! Jadi gak terlalu jelas”. Setelah diinterogasi cukup lama olehku, Felis berpamitan pulang.
“Ya sudah, Bang! Kita saja yang bayar”, kata Nenek pasrah. “Mba, jumlah dananya berapa?”, Nenek bertanya pada resepsionisnya.
“Karena banyak darah yang harus didonorkan, jumlahnya besar Bu”, kata resepsionis itu. Aduh..aku jadi deg-degan. “Jumlahnya..Rp2.000.000”.
Nenek langsung tersentak kaget. Aku pun juga ikutan kaget! Uang itu, kan bisa membayar iuran sekolahku selama 4 bulan!
“Bayarnya kapan, Mba..?”, tanya Nenek agak lirih.
“Paling lambat besok, ya..Bu”, jawab resepsionis ramah. Akhirnya kami pun pulang.
Malam harinya, Nenek langsung menelpon Ayah untuk meminta dana.
“Rahman, ada uang untuk pengobatan Zahro, gak?”, tanya Nenek lewat telepon.
“Lho, emang Zahro kenapa, Mak?”, tanya Ayah balik.
“Zahro kecelakaan tadi siang”, beritahu Nenek. “Bayar pengobatannya paling lambat besok”.
“Astaghfirullahal’adzim! Emang butuh berapa?”.
“Rp2.000.000, Man..”, lirih Nenek.
“Ya Allah..besar sekali! Bulan ini saya sama Hasan belum dikasih gaji, Mak! Punya uang Rp50.000 saja gak ada! Apalagi sampai berjuta-juta seperti itu? Itu, sih..bisa bayar iuran Safir sampai 4 bulan!”.
“Oh..begitu, ya sudah..terima kasih, Man! Assalamualaikum..”, tanpa menunggu jawaban Ayah, Nenek langsung menutup pintu.
“Kakek, gimana dong? Si Rahman sama Hasan belum dikasih gaji bulan ini!”, beritahu Nenek.
“Nek, penghasilan saya juga sedikit, cuma sampai Rp50.000”, kata Kakek.
“Aduuh..pusing!!”, keluh Nenek. Sementara, aku masih terdiam membisu sambil menyuapi ayam goreng buatan Nenek. Ketika itu, aku teringat uang tabunganku yang sebesar Rp2.000.000! Aku langsung cepat-cepat makan dan langsung berlari ke kamarku.
Rp2.000.000 di celenganku!
Aku mengeluarkan semua uang yang ada di kotak sendal bekas itu. Tapi aku berpikir, uang ini kan untuk membeli tiket! Uang ini untuk meraih cita-citaku. Uang ini dari jerih payahku sendiri. Uang ini hanya untuk terbang ke langit! Tapi..gimanalah pengobatan Zahro? 
Setelah kupikir-pikir, ternyata aku lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Ternyata aku mulai egois. Ya Allah..maafkan kesalahanku! Sekarang uang tabungan ini untuk...pengobatan Zahro!
“Nek, untuk pengobatan Zahro..”, kataku sambil menyodorkan amplop yang berisi uang tabunganku.
Nenek pun membuka amplop itu. Setelah melihat isinya.. “Jumlahnya berapa, Bang?”.
“Rp2.000.000. Pas buat pengobatan Zahro”, beritahuku.
Nenek langsung terbelalak kaget. “Kamu dapat darimana?”.
“Dari uang tabunganku..yang awalnya umtuk dibelikan tiket pesawat”, kataku. “Tapi..untuk pengobatan Zahro saja deh! Lebih penting untuk dana adik sendiri daripada meraih mimpi. Mungkin, kan..bisa di lain waktu kalau mimpi, mah!”.
Nenek langsung memelukku. “Ya Allah..Safir! Terima kasih, ya! Safir benar-benar cucu Nenek yang paling murah hati...”.
Makasih Nek, gumamku dalam hati. Mungkin Allah maunya mimpiku tercapai di lain waktu. Mungkin hal ini yang terbaik bagi Allah, yang belum tentu yang terbaik bagi kita, karena hanya Dzat-Nya yang Maha Mengetahui. Aku mulai menitihkan air mata.
Untuk sementara...musnahlah mimpiku......
«««

Bab 10 : Musibah yang Menimpaku (2)

Akhirnya kami bisa membayar pengobatan Zahro dengan uang tabunganku..yang selama 3 tahun ini kukumpulkan. Alhamdulillah, kemarin ada berita bahwa Zahro sudah didonorkan darah. Sekarang, dia lagi diopname di RS Bunda Mulia, yang terletak di kabupaten. Nenek meminta Tante Rini, anaknya Nenek untuk nemenin Zahro di rumah sakit. Kalau Nenek yang nemenin, nanti siapa yang mengurusi rumah tangga?
Sudahlah..sekarang aku tidak mau memikirkan mimpiku lagi. Semua aku pasrahkan hanya kepada Allah. Allah saja yang menentukannya. Yang penting, sekarang harus memikirkan ujian terlebih dahulu! Sekarang bulan Februari. Awal bulan April UN. Seminggu lagi ulangan umum semester 2. Makanya, aku hanya belajar, belajar, belajar, belajar, belajar, dan belajar! Aku gak mau memikirkan mimpi lagi! Sudah, Safir harus selalu belajar sekarang!!!!
Ya..karena tidak memikirkan mimpi dan hanya belajar, aku menjadi orang yang pendiam dan pemurung. Kalau istirahat, aku lebih banyak mengisi waktu dengan mengerjakan buku kumpulan soal UN punyaku daripada jajan. Mungkin teman-teman heran melihat sikapku yang berubah drastis. Safir yang selalu ceria, Safir yang setiap istirahat selalu menghilang di kelas, Safir yang suka jajan roti, roti, dan roti di kantin, Safir yang selalu aktif mengerjakan soal di depan, Safir yang selalu membuat suasana menjadi aneh di kelas...sekarang Safir yang memampang muka kuburan, Safir yang setiap istirahat hanya menempel di bangkunya, Safir yang gak pernah jajan roti sampai tukang roti heran..mana sih anak SMA yang langganan beli daganganku selama 3 tahun ini? Safir yang gak pernah mengerjakan soal di depan..kali ini digantikan oleh si Melly anak genius, dan Safir yang membuat suasana sangat garing seperti kerupuk kulit di kelas.
“Kenapa, Saf?”, Hamid selalu menanyakan pertanyaan seperti itu dan selalu kujawab dengan gelengan kepala.
Mungkin karena Hamid gak tahan dengan jawabanku yang sangat singkat, padat, tapi susah dimengerti, suatu hari sepulang sekolah Hamid langsung berlari menghampiriku dan menarik tanganku.
“Safir kenapa? Ada sesuatu yang membuatmu sedih?”, tanya Hamid sambil merangkulku. “Cerita, dong sahabat!”.
Hanya Hamid yang bisa kupercaya. Hanya Hamid yang selalu menemaniku dalam suka dan duka. Hanya Hamid yang tak pernah bosan mendengarkan ceritaku, walau kadang ceritaku sampai aneh dan garing banget. Hanya Hamid yang selalu setia bersamaku. Selama hidupku di sekolah ini, hanya Hamid satu-satunya teman yang tak pernah terpisah dariku.
“Ceritanya di situ saja, yuk..”, ajakku sambil menunjukkan tangga menuju depan sekolah, tempat anak-anak menunggu jemputan atau sebagai tongkrongan.
“Ngomong juga akhirnya..”, ledek Hamid sambil tertawa terkekeh-kekeh, yang membuatku tertawa juga. Akhirnya mulutku bisa dipaksain tertawa juga. Kami pun menuju tangga itu dan duduk di situ.
“Kenapa??”, tanya Hamid sekali lagi yang masih merangkulku.
“Hamid meraih mimpinya sendiri saja, ya..”, gumamku agak sedih. “Kita gak usah meraih bersama-sama lagi..”.
Hamid yang tadinya merangkulku langsung melepaskannya. “Lho, kenapa?? Emang mimpimu kenapa??”.
Aku pun menghela napas. “Begini, kemarin Zahro kecelakaan. Terus kami gak punya dana untuk pengobatannya. Tapi uang tabunganku mencukupi, sehingga dananya dibayar dengan uang tabunganku. Padahal uang itu rencananya untuk dibelikan tiket pesawat..setelah pembagian ijazah nanti...”, ceritaku. Mataku mulai berkaca-kaca, tapi langsung kukucek biar air matanya gak jatuh. Malu, tau kalau laki-laki sebesar anak SMA nangis!
“Ya Allah..sabar, ya Saf! Mudah-mudahan Allah menggantikan yang lebih baik..!”, hibur Hamid sambil mengelus pundakku. “Ini takdir, Saf! Mungkin Allah maunya di lain waktu, gak mau sekarang. Bisa saja suatu saat, Allah memberimu naik pesawat gratis, hahaha!”. Kami pun tertawa bersama.
“Beranilah untuk terjatuh, Saf...”, nasehatnya sekali lagi. “Beranilah...”. Hamid..benar-benar penghibur yang baik...
«««
Alhamdulillah..aku bisa tersenyum dan berubah lagi menjadi Safir yang sehari-hari! Dan sekarang, aku hanya menunggu kehendak Allah, kapan Allah akan menggantikannya?? Tapi, aku juga tetap belajar, dong! Di bulan Maret memang penuh dengan berbagai macam ujian! Ulangan umum, UAS, dan ujian praktek. Sekolah memang sengaja mendahulukan ujian yang ringan-ringan, karena untuk membuat kami lebih mempersiapkan diri lagi.
April sudah masuk. Kata Pak Herman (yang masih wali kelasku), seminggu lagi UN. Jadi mohon untuk mempersiapkan diri dan menjaga kondisi.
Sepulang sekolah, aku berencana untuk ke toko roti milik mamanya Hamid. Aku mau membeli roti untuk Zahro, karena kata Tante Rini sekarang Zahro sudah siuman, kan Zahro sempat koma! Rencananya, sepulang sekolah aku akan ke rumah sakit, menyusul Nenek dan Kakek. Aku tau, kok jalannya! Tapi, aku mau bawa sesuatu untuk adikku, yaitu roti selai coklat kesukaannya.
Aku tau arah jalan ke toko roti mamanya Hamid. Dari sekolah tinggal lurus, lurus, lurus, sampai menemukan perempatan. Lalu, belok ke arah kanan sampai menemukan pertigaan. Setelah itu, lihatlah ke sebelah kiri. Sudah, deh..terlihat tulisan ‘BLASUS Cake & Bakery”. ‘Blasus’ itu artinya ‘enak’ dalam bahasa Wales. Mamanya Hamid memang bisa berbahasa Wales. Insya Allah sisa-sisa uang jajan yang kusimpan di tas bisa membeli roti.
“Selamat Siang, Safir! Ada yang bisa dibantu??”, sambut Mba Mita, salah satu karyawati toko itu. Mba Mita memang cukup kenal denganku.
“Ada kue terbaru, gak?”, tanyaku.
“Ada!”, kata Mba Mita sambil menunjukkan salah satu kue yang dibungkus cup. “Namanya Blackforest Mini. Lagi best seller nih, kuenya! Hehehe”.
“Hahaha, kayak buku saja..best seller segala!”, ujarku. “Aku mau beli satu cup saja! Berapa?”.
“Rp7.000 per cup”, kata Mba Mita sambil mengambil satu cup Blackforest Mini. Kemudian memencet-mencet counter. Aku pun mengambil uang yang ada dalam tasku. Alhamdulillah, mencukupi! Kemudian aku membayar sambil menerima plastik yang berisi Blackforest Mini. Ketika aku mulai keluar, ada seorang perempuan masuk ke toko itu. Ternyata..Marsha!
“Kak Safir..halo!!!”, sapa Marsha ketika melihatku.
“Halo juga, Marsha!”, sapaku juga. “Apa kabar?”.
“Alhamdulillah, baik kok!”, katanya sambil tersenyum.
“UN anak SD kapan, Mar?”, tanyaku.
“Hmm..awal bulan Mei! Masih lama, lho!”, beritahunya. “Emang Kak Safir kapan??”.
“Seminggu lagi, tau! Sebentar lagi, nih”, ujarku. Dia pun tertawa menunjukkan tanda kemenangan.
“Beli kue apa, Kak??”, tanya Marsha. “Ada yang baru gak?”.
“Ada! Aku barusan membeli kue yang baru. Namanya Blackforest Mini”, beritahuku.
Akhirnya Marsha memesan 3 cup Blackforest Mini-nya. Setelah itu, dia membayar. Kemudian, kami keluar dari toko bersamaan.
“Kak, doakan aku ya..supaya bisa lulus!”, katanya. “Rencananya, SMP dan SMA-nya nanti mau masuk akselerasi lagi”.
“Wah..berarti Marsha pintar, dong!”, pujiku.
“Gak juga, ah! Kak Safir pasti pintar juga. Buktinya kakak bisa ngajar kami”, puji Marsha balik.
“Ah..itu kan hanya kebetulan doang”, tukasku pelan. Kami pun tertawa bersamaan. Akhirnya kami memutuskan untuk bercerita sebentar di depan toko. Nenek pasti bakalan lama di rumah sakit, bisa sampai maghrib!
Setelah puas bercerita, aku berpamitan pulang pada Marsha. Sepedaku berada di seberang sana, jadi aku harus menyebrang. Kebetulan lampu merah bagi kendaraan, jadi orang-orang pun pada menyebrang.
Tiba-tiba, ada suara mobil polisi yang mengejar mobil pemabuk. Mobil si pemabuk itu terus mengebut dan mau menabrak ke arah nenek-nenek tua yang pas di depanku. Dengan refleksnya aku langsung mendorong nenek-nenek tua itu. “AWAAASS NEEEK!!!!!!!!!!”. Sayang demi sayang....
BRRAAAAKK!!!!!!
Marsha yang masih berdiri di situ, langsung jatuh terduduk melihat kejadian itu...
“Blackforest 4 cup. Mama buat kue baru lagi, bukan..?”, gumam Hamid sambil mengendarai motor ke arah ‘BLASUS Cake & Bakery’. Ketika sampai di depan, Hamid melihat 2 orang polisi yang menangkap pemabuk yang sudah diborgol dan memaksa untuk dimasukkan ke dalam mobil polisi. Orang-orang pada mengerumuni seorang nenek-nenek tua di pinggir jalan sambil menenangkan beliau yang menangis tersedu-sedu. Di sampingnya, ada sepedanya Safir! Lho, Safir mana?
Ketika itu juga, pas di depannya ada orang yang sedang mengerumuni seorang anak perempuan yang menangis meraung-raung dan seorang wanita yang menenangkannya. Ternyata..Mba Mita dan Marsha yang sedang menangis! Hamid langsung berlari ke arah kerumunan orang itu.
“Huaaa...huaaa...mengapa ini terjadi? Huaaa...dasar pemabuk gila, brengsek, dajjal, iblis!!!! Harus kena laknatullah tuh!!!”, seru Marsha menyumpah-nyumpah si pemabuk sambil menangis meraung-raung.
“Sudah..sudah..kamu tenang saja..tenang..tenang..”, kata Mba Mita menenangkan dengan mata yang berlinang juga.
“Ada apa, nih??”, tanyaku. “Marsha kenapa??”.
“Kak..Kak Hamid...huaaa...huaaa!!!! Aku gak mau ada orang tertimpa kayak kakakku! Gak mau ada orang yang kecelakaan kayak Kak Ustman! Apalagi….huaa..huuaaaa..!!!”, rengek Marsha.
“Marsha kenapa? Tenang, tenang! Jangan nangis dulu!! Marsha kenapa? Cerita sama Kak Hamid!”, kata Hamid menenangkan.
Akhirnya Marsha sedikit tenang sambil memeluk Hamid. “Huu..huu..huu...”.
“Marsha kenapa? Cerita sama Kak Hamid. Tenang, ya..!”, ujar Hamid sambil mengelap air matanya.
Marsha mulai ngomong walau dengan susah payah, karena sesak. “Kak...Kak Safir.....”.
“SAFIR KENAPA???”, potong Hamid sesigap mungkin.
“Ka..kayak Kak Ustmaan....”, kata Marsha.
“Maksudnya?”, tanya Hamid bingung. Dia saja gak tau yang namanya Kak Ustman.
Marsha mulai merengek lagi. “Huu..huu...Kak Safir..hiks...kecelakaan.....”.
Seketika Hamid langsung terdiam seribu bahasa. Perlahan-lahan air matanya mulai menetes deras...
«««
“MAMAAAAA!!!!!!!!”, tiba-tiba Hamid langsung memanggil mamanya sambil mendobrak pintu rumah, mengagetkan suasana. Padahal, di situ ada Mrs. Simpson dan Chelsea.
“Mamaaa...huu..huu..huuu...”, Hamid langsung memeluk mamanya yang tengah kebingungan.
“Hamid kenapa? Hamid kok tumben nangis sesedih ini? Muka sama matanya sampai merah betul, tuh! Hamid kenapa??”, tanya Mrs. Simpson juga bingung.
“Kak..Kak Hamid kenapa?”, Chelsea pun ikutan bertanya. Akhirnya mereka berdua pada menghampiri Hamid yang masih memeluk mamanya.
“Hamid tenang, deh! Hamid kenapa? Cerita dong, sama Mama! Kuenya mana?”, ujar Mama sambil mengelus rambut Hamid. Tapi Hamid masih belum menjawab dan tetap menangis meraung-raung.
“Hamid, ih! Jangan nangis! Sudah besar juga, ada Chelsea di sini!!”, tukas Mrs. Simpson. “Sudah berumur 18 tahun juga!”.
Akhirnya Hamid pun mulai membuka mulut. “Huu..huuu..huu...masalahnya hal ini sangat tidak biasa bagiku..”.
“Emang Hamid kenapa?”, tanya Mama. “Nih, minum dulu biar tenang”. Mama pun menyodorkan segelas air pada Hamid, tapi dia menolak.
“Saa..Safir, Ma..”, kata Hamid dengan muka dan matanya yang sangat merah. “Si Safir...”.
Mendengar nama ‘Safir’, Chelsea langsung merespon. “Kak Safir kenapa, Kak???”.
“Si Safir.....”, Hamid terdiam sebentar. “Safir ke..kecelakaan.., Ma...”.
Seketika orang-orang yang mendengarkan jawaban Hamid langsung terdiam seribu bahasa. Mamanya Hamid langsung memeluk Hamid erat-erat sambil menitihkan air mata.
Chelsea yang tadinya berdiri langsung jatuh terduduk. “Innalilahi....”, gumam Chelsea sangat lirih..lirih sekali.
Seketika suasana mulai membuat kedukaan.
«««
Di RS Bunda Mulia, yang terletak di kabupaten...
Tok..tok..tok..! Pintu ruangan Zahro diketuk. Tante Rini tergopoh-gopoh membuka pintu. Ternyata seorang resepsionis!
“Ada apa, Mba?”, tanya Kakek.
“Anda...Kakek sama Neneknya yang namanya Safir, ya?”, tanya resepsionis meyakinkan.
“Iya”, jawab Nenek. “Emang kenapa? Dicari Safir?”.
“Hah? Kak Safir datang? Yeee!!”, ujar Zahro dengan gembira.
“Maaf, saya tidak bermaksud seperti itu...”, kata resepsionis. “Saya hanya mau menyampaikan berita duka yang bersangkutan dengan Safir..”.
Kakek langsung terbelalak kaget. “Lho, emang ada apa dengan Safir?”.
“Ngg..begini..”, resepsionis menghela napas sejenak, kemudian mulai bercerita. “Tadi, dari RS As-Syifa mengabarkan bahwa anak laki-laki yang namanya Safir kecelakaan...”.
Seketika semua terdiam seribu bahasa. Beberapa lama, Nenek mulai menangis tersedu-sedu. Tante Rini pun menenangkan Nenek.
“Gak mungkin!!! Kenapa hal ini bisa terjadi pada cucu yang paling kusayangi??”, tukas Kakek dengan air mata yang berjatuhan juga. “Sekarang dia ada dimana?”.
“Sekarang dia ada di RS As-Syifa, di kota sana”, kata resepsionis.
“Nek, ayo kita ke As-Syifa dengan taksi”, ajak Kakek. Nenek pun mengangguk setuju. Akhirnya mereka berdua langsung keluar dari ruangan Zahro.
“Lho..Nenek sama Kakek mau kemana, Tante?”, tanya Zahro.
“Mau menjenguk Kak Safir, Za..!”, jawab Tante Rini sambil mengusap air mata.
“Lho, emang Kak Safir kemana? Bukannya Kak Safir mau ke sini??”, tanya Zahro lagi.
Tante Rini menghela napas. Kemudian berkata lirih, “Kan Kak Safir kecelakaan, Zahro...”.
Zahro langsung terdiam seribu bahasa....
«««
“Dokter, bagaimana keadaan cucu saya???”, tanya Kakek sesampai di As-Syifa.
“Pak, cucu anda kaki kirinya patah”, jawab dokter itu dengan nada sedih juga.
“Ya Allah Robbi...”, gumam Nenek dengan linangan air mata.
“Tapi..alhamdulillah patahnya tidak berbahaya”, hibur dokter. “Tadi sudah dirontgen pakai sinar X, tulangnya patah di tempat, kok..gak sampai kemana-mana. Biasanya penyembuhannya berlangsung cepat”.
“Kira-kira berapa bulan?”, tanya Kakek.
“Kalau patah model seperti itu, paling cepat 4 bulan. Itu pun kalau jalan masih pincang”.
“Biayanya berapa, Dok?”, tanya Nenek.
“Ngg...Rp4.500.000...”, jawab dokter. Seketika Nenek dan Kakek langsung tersentak kaget.
Ya Allah..biayanya lebih besar dari Zahro..! Apa kita mampu membayar sebesar itu.
“Pak..jangan kaget dulu, Pak!”, tegur dokter. “Biayanya boleh dibayar 2 minggu yang akan datang”.
Kakek dan Nenek mengucapkan hamdalah berbarengan.
“Terima kasih, ya Dok!”, ujar Kakek sambil memeluk dokter itu. Akhirnya mereka berdua berpamitan pulang...
«««

Bab 11 : Ayo Semuanya Menyumbang!!

“Oi..seminggu lagi UN, lho!!!”, seru Ali di kelas. “Jadi lu, lu, dan lu semua jangan main-main lagi, oke!!”.
“Huu...Ali, sok menasehati banget, sih!”, ujar Ja’far. “Padahal sendirinya begitu!”.
“Hee...kurang asem lu, Ja’far!”, ujar Ali sambil mengepalkan tangannya.
“Eh, teman..ngomong-ngomong yang namanya Safir kok, belum datang ya? Tumben!”, ujar Lili.
“Namanya juga dari desa, kendaraan ramai kali! Jadi susah mengendarain sepedanya!”, kata Maryam.
“Eh, kemarin nonton berita, gak??”, tanya Melly. “Ada anak remaja laki-laki SMA tertabrak oleh mobil pemabuk karena menyelamatkan nenek-nenek tua! Kejadiannya dekat Fatmawati”.
“Gue nonton deh!”, kata Ali. Yang lain mulai bersahutan “aku juga”.
“Kalau anak itu kelas 3 SMA, kasihan ya! Seminggu lagi, kan UN! Ih, gak tega deh sama anak itu”, ujar Ja’far.
“Anak itu Safir, Ja’far!”, tiba-tiba Hamid berseru, yang dari tadi bersender di samping pintu sambil melipat tangannya, mendengar omongan teman-temannya. “Anak itu teman kita...”.
Semua langsung terbelalak kaget. Yang tadinya main pesawat kertas langsung berhenti bagaikan patung.
“Kemarin aku bertemu dengan saksinya ketika mau ke toko kue. Kejadian itu pas depan ‘BLASUS Cake & Bakery’”, cerita Hamid dengan mata bengkaknya, karena menangis semalaman. “Safir, kan menyeberang jalan sama orang-orang lain, terus ada mobil pemabuk ngebut begitu saja..mau menabrak nenek-nenek tua yang ada di depannya. Terus, si Safir langsung mendorong nenek-nenek tua itu. Eh, malah dia yang tertabrak. Untung pemabuk itu langsung ditangkap polisi”.
Semua langsung terdiam membisu. Ada yang mulai menangis terisak-isak. Ada yang menunduk karena sedih. Ada yang membaca istighfar berkali-kali.
“Semalam aku menelpon neneknya. Katanya, Safir lagi dirawat di As-Syifa. Kaki kirinya patah. Sekarang lagi di ICU, lagi koma...”.
“YA ALLAH, aku paling merinding jika mendengar orang lagi koma, apalagi yang sedang tertimpa teman kelas sendiri”, ujar Maryam sambil mengusap air matanya.
Hamid hanya menghela napas, mengapa sahabatnya bisa tertimpa seperti ini..? Selama 6 tahun ini, teman yang paling baik adalah Safir. Safir..walaupun anak piatu..walaupun anak desa yang pas-pasan..tapi perjuangannya bisa membuat berjuta-juta air mata mengalir jika mendengarnya. Safir..yang tidak pernah memanfaatkan hartanya Hamid. Safir..yang selalu acuh tak acuh walau dulu orang jijik dengannya karena anak desa. Safir..yang tak pernah berhenti berjuang demi mimpinya. Buktinya, sekarang banyak yang senang dengannya, sampai guru-guru sekalipun. Pak Wisnu yang terkenal galak pun, sayang sama dia. Safir itu ramah, baik, aktif..walau pernah dengan pe-de-nya mengerjakan soal di papan tulis tapi jawabannya salah. Semua langsung tertawa terbahak-bahak. Tapi, dia tidak pernah sakit hati diperlakukan seperti itu, justru dia juga ikut tertawa..bahkan tertawa paling keras! Membuat kelas menjadi aneh dan gila. Safir..yang tanpa jerih payah mengayuh sepeda berjarak tiga kilometer hanya demi menuntut ilmu! Setiap datang ke sekolah, baju seragamnya pasti sudah basah seperti habis kecebur dari kolam renang. Tapi, dia tidak pernah merasa capek! Safir..yang selalu mengembangkan senyum yang sangat manis dan indah, walau dalam kondisi apapun. Dan Safir..yang mempunyai ide brilian untuk membantu Pak Herman mengejar mimpi beliau. Entah darimanalah dia mendapatkan ide sebrilian itu! Sobat..aku kagum atas perjuanganmu, gumam Hamid ketika mengingat kenangan-kenangan indah tentang Safir.
Dan kini..satu kelas sangat kehilangan dia...
Kriiing..! Bel berbunyi nyaring. Pak Herman mulai memasuki kelas. Setelah mengucap salam, Pak Herman mulai menasehati kami. “Anak-anak, seminggu lagi kalian menghadapi UN. Jadi tolong mempersiapkan diri....”.
Kalimat Pak Herman terputus ketika melihat bangku samping Hamid kosong. “Lho, Safir kemana?”.
Hening...semua pun diam tidak mau jawab saking sedihnya.
“Oooh...belum ada kabar kali, ya..”, gumam Pak Herman. Kemudian beliau melanjutkan nasehatnya. “Bapak mohon untuk menjaga kondisi kalian. Kalau bisa, jangan bermain di luar, karena sekarang lagi banyak pengendara mobil yang mabuk-mabukan. Jangan seperti yang kayak di berita itu, lho! Anak SMA yang tertabrak mobil pemabuk. Padahal, pasti dia lagi mau menghadapi UN jika seandainya anak itu seangkatan sama kalian....”.
“Pak Herman jangan salahkan anak itu!!!!”, potong Hamid sigap. “Anak itu tidak salah, justru si pemabuknya yang salah karena tidak tau lampu lintas. Dan anak itu tertabrak karena menyelamatkan nenek-nenek tua yang ada di depannya. Kalau anak itu diam saja, yang tertabrak juga si nenek-nenek tua itu!!”. Semua pun mengiyakan.
“Darimana kamu tau, Hamid?”, tanya Pak Herman.
“Pak, saya pergi ke tempat kejadian itu. Saya juga berbicara langsung kepada saksinya. Dan kejadian itu tidak jauh dari sekolah..!”, jelas Hamid. Matanya mulai berkaca-kaca. “Pak..anak itu, kan dari Sekolah Fatmawati..”.
“Anak itu..anak itu juga teman baik kami..”, kata Hamid lagi.
Lalu Hamid menghela napas karena berteriak terus. “Pak...sesungguhnya anak itu adalah..Safir..”. Semua mengiyakannya. “Safir, lho Pak! Makanya dia gak masuk hari ini!”.
Pak Herman langsung terbelalak kaget. “Innalilahii...anak yang mempunyai mimpi yang tinggi itu....”.
“Pak Herman, masih ingat gak ketika kami memberi uang untuk ujian Bapak?”, tanya Hamid. Pak Herman mengangguk.
“Pak Herman harus mengucapkan terima kasih kepada Safir, karena dialah yang merancang ide sebrilian itu...”, kata Hamid. Akhirnya dia menceritakan strategi-strategi Safir ketika masih duduk di kelas 2 SMA.
“Pak, saat ini Safir juga menimpa suatu musibah apa yang menimpa Bapak dulu...”, kata Hamid. “Selama 3 tahun ini, dia menyisakan uang jajan dan bekerja di tempat kursus omku untuk mengumpulkan uang. Terus, uangnya bakalan dibeli tiket pesawat kelak habis pembagian ijazah. Sayangnya...waktu itu adiknya kecelakaan. Ayahnya belum dikasih gaji. Karena uang tabungannya mencukupi, dia pakaikan uang itu untuk pengobatan adiknya..tidak jadi untuk beli tiket. Kali ini mimpinya belum tercapai, Pak..”. Seketika seluruh kelas pada menangis karena mendengar cerita Hamid.
“Ya Allah...mengapa ada orang yang mimpinya tidak tercapai..bukannya aku meminta kalau cukup aku seorang diri saja di dunia ini yang mimpinya tidak tercapai! Mengapa bisa ada seorang murid yang perjuangannya begitu keras..mimpinya belum tercapai?”, gumam Pak Herman.
“Pak Herman, teman-teman, Safir butuh 4,5 juta untuk pengobatannya...”, beritahu Hamid. “Jadi, aku punya usul nih..mau menyumbang, gak buat teman kita yang paling muda ini?”.
“Hamid, gue lebih dari setuju atas usul lu!! Lebih dari setuju!!”, seru Ali sambil berdiri. Semua pun ikut setuju.
“Usul kamu bagus, Hamid! Kalau begitu, Bapak juga ikut menyumbang!”, kata Pak Herman tegas.
“Nanti dikumpulin di Pak Herman”, kata Hamid. Semua mengangguk setuju.
Keesokkan harinya, mereka sudah membawa uang dengan nilai yang besar. Namanya juga anak kota.., mungkin mereka juga bilang ke orangtuanya. Terus, ketika Pak Herman masuk, mereka langsung memberi uang untuk disumbangkan.
Dalam waktu yang tidak lama, berita ini terdengar sampai ke telinga Pak Wisnu. Maka, beliau menyuruh anggota OSIS SMP-SMA untuk berkeliling kelas meminta sumbangan untuk pengobatanku. Bahkan guru-guru pun ikut menyumbangkan! Perbuatan Pak Wisnu juga sudah terdengar ke telinga Pak Herman.
Setelah itu, uang-uang yang terkumpul diberikan kepada Pak Wisnu, termasuk uang sumbangan dari kelasku.
«««
Tok..tok..tok..! Pintu kelas 11 d, kelas akselerasi, kelasnya Chelsea, diketuk.
“Silahkan masuk!”, teriak seorang guru yang ada di dalam kelas. Akhirnya pintu pun dibuka.
“Permisi..maaf mengganggu belajar dan mengajarnya! Mari kita doakan anak kelas 12 b yang kecelakaan kemarin. Karena itu, kami minta sumbangannya..”, kata ketua OSIS SMA sambil menyodorkan sebuah kotak  dari kardus yang dibuat kayak kotak infaq.
“Emang siapa, Kak?”, tanya seorang murid.
“Itu, lho...yang namanya Safir”, jawab ketua OSIS sambil terus menyodorkan kotak kepada yang lain.
Mendengar jawaban itu, Chelsea yang awalnya iseng-iseng menggambar-gambar di buku tulisnya langsung terbelalak kaget.
“Hei..Chel, mau menymbang gak??”, tegur ketua OSIS karena melihat Chelsea bengong.
“Oh iya...ya...”, kata Chelsea sambil memasukan semua uang jajannya.
“Banyak banget! Gak takut gak bisa jajan nanti?”, kata ketua OSIS.
“Bodo! Yang penting biar Kak Safir sehat!!”, ujar Chelsea. Akhirnya ketua OSIS berlalu meninggalkan Chelsea.
Sampai rumah harus berbuat sesuatu..nih, gumam Chelsea.
Sementara...
Tok..tok..tok! Pintu kelas 6 d, kelas akselerasi, diketuk.
Karena gurunya lagi keluar, Marsha membuka pintu. “Eh..kak! Ada apa?”.
“Maaf ya, mengganggu! Mari kita doakan anak kelas 12 b yang kecelakaan kemarin. Karena itu, kami minta sumbangannya..”, kata ketua OSIS SMP (ya dong, anak SD gak ada OSIS). Setelah masuk, ketua OSIS menyodorkan sebuah kotak (yang kayak dibawa ketua OSIS SMA) untuk meminta sumbangan.
“Ngomong-ngomong..siapa Kak?”, tanya Marsha.
“Itu...yang namanya Kak Safir”, jawab ketua OSIS.
Seketika itu, Marsha langsung mengobrak-abrik tasnya untuk mencari dompetnya. Kemudian, dia mengeluarkan semua uang , sampai receh-recehan, yang ada di dompet. Terus, uangnya dia masukin semua ke dalam kotak itu.
“Banyak banget! Gak takut gak bisa jajan?”, tanya ketua OSIS.
“Emang kenapa?”, tanya Marsha balik. Ketua OSIS hanya tersenyum kemudian berlalu meninggalkan Marsha.
Aku gak mau Kak Safir sampai seperti Kak Ustman, gumam Marsha pelan..sangat pelan.
Sepulang sekolah..., “Assalamu’alaikum..!”, salam Chelsea sambil membuka pintu.
“Waalaikumsalam”, balas Mrs. Simpson sambil membereskan meja makan. “Kenapa Nak? Kok murung? Dihabiskan, gak bekalnya?”, tanya Mrs. Simpson.
“Iya, kok!”, jawab Chelsea sambil menaruh kotak makanannya di atas meja makan. Setelah itu, Chelsea melemparkan diri ke sofa dan menyalakan TV.
Mrs. Simpson menghampiri. “Kenapa, Chel? Masih ingat Safir?”, tanya beliau.
Chelsea pun mengangguk. “Aku gak tau harus balas apa ke dia. Kak Safir sudah berbuat banyak kebaikan padaku, tapi aku gak tau balas apaan..”.
Mrs. Simpson hanya menghela napas.  Beliau teringat ketika pertama kali bersilahturahmi ke rumah Hamid. Hamid asyik saja menceritakan tentang Safir.
“Safir itu anaknya ramah dan kocak. Tapi kocaknya malah buat suasana jadi kaku dan aneh!”, cerita Hamid. “Padahal, Safir itu anak piatu. Dia ditinggal ibunya ketika masih berumur 12 tahun..”.
“Oya? Kasihan sekali”, kata Mrs.Simpson prihatin.
“Safir juga anak desa yang pas-pasan. Kalau mau ke sekolah, dia harus mengayuh sepeda dan menempuh sepanjang 3 kilometer. Tapi, dia tidak pernah merasa lelah..walau sampai sekolah baju seragamnya sudah basah. Dia selalu tersenyum”, sambung Hamid. “Makanya..beruntung banget kalau kenal sama Safir!”.
“Kapan-kapan saya mau lihat, dong Mid!”, pinta Mrs.Simpson. “Ajak dia ke rumah, lha!”.
“Iya, deh! Ntar Hamid bujuk”, kata Hamid.
Mrs.Simpson pun mulai menitihkan air mata. Safir..anak yang selalu senyum kepadanya. Anak yang sangat murah senyum. Selama beliau hidup, baru pertama kali beliau melihat seorang anak yang murah senyum, gak kayak di Amerika...jutek-jutek semua! Gak semua sih, ada yang masih bisa memberi senyuman. Cuma gak sebanyak Safir.
“Mammy, kita beri sumbangan yuk untuk pengobatan Kak Safir!”, ujar Chelsea tiba-tiba.
“Ide bagus, Chelsea! Kalau kamu bilangin ke Daddy, pasti Daddy juga bakalan setuju!!”, ujar Mrs.Simpson sambil memeluk anaknya..terharu.
Sementara, di rumah Marsha........
Sepulang sekolah, Marsha menceritakan tentang tutor di tempat kursusnya dulu yang kemarin kecelakaan.
“Ooh..jadi yang di TV itu tutornya Marsha?”, tanya ibunya Marsha meyakinkan. Marsha pun mengangguk.
“Ya sudah, kasih sumbangan saja supaya bisa membayar biaya pengobatannya”, usul ibunya Marsha. “Ntar malam Mama bilang ke Papa dulu, ya!”.
“Pasti Papa setuju!”, kata Marsha yakin.
“Iya, dong..apalagi itu, kan guru Marsha yang ngajar Marsha dari kelas 4 SD”, kata ibunya Marsha.
“Jangan lupa dibilang, ya Ma!”, pinta Marsha sambil berlari menuju ke kamar. Dia ingin membuat puisi untuk orang yang dia sayangi...
«««

Bab 12 : Tenang, Janganlah Bersedih..

Kakek mondar-mandir dekat resepsionis. Beliau sudah menelpon Ayah, tetapi gaji bulan ini belum dikasih, soalnya masih di awal bulan. Sisa gaji yang waktu itu disumbangkan kepada teman Ayah yang keluarganya juga tertimpa musibah. Makanya..kali ini juga belum punya uang untu biaya pengobatanku. Padahal sudah 2 minggu!
“Kakek...Kakeknya Safir..”, ditengah-tengah kebingungan Kakek, tiba-tiba ada yang berteriak memanggilnya. Ternyata..Hamid! Dia datang bersama Pak Herman dan Pak Wisnu.
“Oh, ini kakeknya Safir?”, tanya Pak Herman sambil menjabat tangan Kakek. Kakek mengiyakan.
“Ini, Pak..sumbangan dari sekolah..untuk Safir..”, kata Pak Wisnu sambil menyodorkan amplop yang agak tebal.
“Jumlahnya 4,5 juta, kok Kek! Pas, kan?”, tanya Hamid meyakinkan.
Kakek langsung terbelalak kaget. “Alhamdulillahi robbil ‘alamiin....terima kasih, ya Nak..!”, seru Kakek terharu sambil memeluk Hamid erat-erat. “Kamu benar-benar sahabat Safir yang terlalu baik..”.
“Gak, ah! Biasa saja!”, kata Hamid. “Hamid hanya mau membalas kebaikan-kebaikan Safir selama 6 tahun ini!”.
Kemudian, dengan senang hati Kakek menyodorkan amplop itu ke resepsionis, tanpa dihitung ulang soalnya sudah yakin 100%! Dasar Kakek...!
“Ngomong-ngomong, Safir sudah siuman belum?”, tanya Pak Herman.
“Oh, sudah kok! Boleh dijenguk! Silahkan!!”, kata Kakek. Hamid langsung berjingkrak-jingkrak senang.
“Hahaha...kalian adalah pengunjung pertama yang menjenguk Safir! Soalnya, baru beberapa menit yang lalu dia siuman. Padahal, sudah koma 2 minggu”, beritahu Kakek.
“Ya Allah! Tapi Safir gak apa-apa, kan??”, tanya Hamid. Karena baru kali ini dia mendengar orang yang koma sampai 2 minggu, apalagi ditimpa sama sahabat karibnya.
“Gak apa-apa, kok! Cuma dia agak panas..”, kata Kakek sambil mengajak mereka untuk menuju ruanganku.
«««
Sebelumnya...
Aku mulai membuka mata. Wuih, silau banget! Seingatku, ketika aku menyelamatkan seorang nenek tersebut, siang hari tidak terlalu sesialu ini! Rasanya, seperti habis tidur seharian. Lho..tapi, bukannya waktu itu aku masih pakai baju seragam, ya? Kok saat ini aku pakai kaos dengan jaket, sih? Aduhh...kaki kiriku sakit sekali!! Aku mulai melihat keadaan. Kok..beda sih dengan kamarku? Dinding yang bercat putih, gak ada lemari, lho..kamarku kan dicat abu-abu yang sudah mengelupas  dan ada lemari butut. Apa sudah direnovasi? Kulihat ada infusan. Ya Allah, tangan kiriku diinfus! Jangan-jangan...aku ada di rumah sakit!
Aku mulai meraba diriku, hanya dengan tangan kananku saja. Soalnya kulihat tangan kiriku dibalut perban dan tidak bisa digerakkan. Kuraba kepalaku. Hah, kok ada perban juga sih yang membalut kepalaku?  Uh, aku ingin melihat kaki kiriku. Ngomong-ngomong kenapa, sih..bisa sesakit ini?
Kemudian, pintu mulai terbuka..dan masuklah Nenek. Ketika Nenek melihatku, Nenek langsung berteriak sekencang-kencangnya. “DOKTER!!! DOKTER SINI!! SAFIR SUDAH SIUMAAN!!!!”.
Dokter dan seorang suster langsung masuk ke ruanganku. “Oh iya!!! Alhamdulillah!!! Hampir saja mau dipasang alat pendektesi detak jantung!”. Setelah dokter memeriksaku dengan berbagai macam alat..gak taulah alat-alat apa saja (maklum baru kali ini di rumah sakit)..dokter langsung mengangguk (gak jelas amat sih!!) sambil berkata, “Safir agak panas, jadi harus istirahat total ya...”. Akhirnya dokter dan seorang suster pun keluar.
Nenek langsung mengucapkan hamdalah sambil mencium pipiku berkali-kali. “Ya Allah...alhamdulillah...Safir gak apa-apa, kan??”.
“Hah? Gak tau dehh!!!”, kataku parau dengan tampang blo’on. “Barusan aku tidur, ya?? Tapi kok, pakai siuman segala sih?”.
“Bukan! Justru kamu itu koma dari 2 minggu yang lalu!!!!”, beritahu Nenek sambil menegakan posisiku. Aku hanya ber-ooh saja karena belum nyambung. Biasanya aku juga sedikit syok kalau mendengar orang koma, tapi sekarang juga terjadi pada diriku sendiri.
“Nek, kok aku mimpi aneh, ya?”, kataku lemah. “Aku mimpi..aku terbang ke awan. Tapi sama Ibu doang. Ayah, Kak Hasan, Zahro, Nenek, dan Kakek malah kutinggalin”.
“Tanda-tanda mau dapat tiket pesawat kali”, canda Nenek sambil tertawa terkekeh-kekeh. Aku pun juga ikut tertawa walau sangat lemah.
“Oya, kaki kiriku kenapa, sih??”, tanyaku akhirnya.
“Kaki kamu digips, Bang!”, jawab Nenek sambil menarik selimut untuk menunjukkan bahwa kaki kiriku benar-benar digips.
“Terus, tangan kiriku kok, susah ya digerakkan?”, tanyaku lagi.
“Tangan kirimu waktu itu terlindas ban mobil, jadi tulangnya ada yang retak”, jawab Nenek juga.
“Terus, kepalaku kenapa diperban?”, tanyaku lagi.
“Yah..luka!”, jawab Nenek. “Gimana, sih? Safir belum sadar bukan??”.
“Hah? Gak tau juga deh! Masih agak kunang-kunang”, beritahuku dengan tampang muka orang blo’on lagi.
Tok..tok..tok..! Tiba-tiba pintu diketuk.
“Siapa? Kakek, ya?”, teriak Nenek. “Masuk!”. Akhirnya (memang benar) Kakek masuk.
“Safir sudah bangun? Pas juga Kakek bawa 3 tamu, nih!!”, beritahu Kakek sambil mempersilahkan masuk kepada tamu-tamunya. Uuuh...baru siuman sudah ada yang jenguk, gumamku agak menggerutu.
Eh, tapi gak jadi menggerutu deh! Soalnya, tamunya itu adalah...Hamid, Pak Herman, dan Pak Wisnu!!!
Hamid yang melihatku langsung berlari ke arahku. “SAFIIR!!!!!!!!”, serunya sambil memelukku pelan (ya dong, kalau erat-erat ntar tangan kiriku tambah retak saja!). “Safir, Hamid kangen!!!”.
“Aku juga..”, ujarku (tidak lemah lagi, sudah bersemangat ‘45) sambil memeluknya juga, walau hanya dengan satu tangan.
“Ngomong-ngomong, UN kapan sih?”, tanyaku.
“Sudah lewat kali!!”, jawab Hamid sambil melepas pelukannya. “Gila, susah banget! Tapi aku gak mau kasih tau soalnya apa. Kan gak boleh!”.
“Jih? Siapa yang mau tau? Pe-de!!”, kataku. Hamid tertawa, padahal sudah beberapa minggu ini dia tidak tertawa. “Jadi aku UN-nya gimana dong!”.
“Safir bakal bisa UN, kok!”, beritahu Pak Wisnu. “Waktu itu, saya sudah ke Dinas Pendidikan bahwa ada satu orang yang berhalangan sampai tidak bisa mengikuti UN di hari itu. Terus, beliau bilang boleh susulan. Tapi, batasnya sampai bulan Juni, soalnya kan bulan Juni sudah pembagian ijazah. Safir bisa, kok ujian di sini! Ntar biar saya saja yang mengawasi! Gimana? Safir mau ujian kapan?”.
“Hmm...kapan ya?”, gumamku heran.
“Ujiannya gak usah sekarang-sekarang deh, Saf!”, usul Hamid. “Pasti kamu masih agak pusing, kan? Lihat, deh..perban saja menempel di kepalamu”.
“4 Mei saja, deh! Pas anak SD lagi UN juga”, ujarku akhirnya.
“Oh..ya sudah. Berarti tanggal segitu Bapak ke sini lagi, ya!”, kata Pak Wisnu.
“Gak keawalan, Saf?”, tanya Hamid agak prihatin.
“Gak apa-apa, lha! Insya Allah Safir sudah siap”, ujarku tegas. Seluruh orang yang ada di sekitar situ pada tertawa.
“Nenek bawa buku-buku kamu, kok..kalau mau belajar”, beritahu Nenek.
“Ada buku kumpulan soal UN, kan?”, tanyaku.
“Yang ini, ya?”, tanya Nenek balik sambil mengobrak-abrik ranselku. Kemudian Nenek mengeluarkan buku tebal dan besar yang bewarna biru tua dan menunjukkan kepadaku. Aku mengangguk. Buku itu memang buku yang paling setia selama perjalananku untuk menghadapi UN.
“Pak Herman, kok diam saja?”, tanya Pak Wisnu sambil menepuk-nepuk pundak beliau.
“Mau ngomong sama Safir, tapi diajak ngobrol sama Hamid mulu, nih!”, tukas Pak Herman sambil tertawa terkekeh-kekeh. Aku menyoraki Hamid, walau pelan. Soalnya kalau di kelas, sorakanku paling kelas dan heboh, membuat kelas menjadi berguncang.
“Oh, maaf ya Pak!”, kata Hamid sambil menjauh dariku. Akhirnya Pak Herman menghampiriku.
“Safir..”, Pak Herman mulai bicara sambil membelai kepalaku ang dibaluti perban. “Terima kasih ya, atas sumbangan 2 tahun yang lalu, pas kamu masih kelas 2 SMA. Masih ingat, gak?”.
“Oh, ya..ingat deh!”, kataku. “Kok berterima kasihnya sama aku? Yang nyumbang, kan banyak!”.
“Jangan pura-pura gak tau gitu deh!”, canda Pak Herman. “Kan kamu yang punya ide”.
“Oya? Kata siapa??”, tanyaku heran. Duh, jangan sampai ketahuan!
“Nih..kata teman kamu”, jawab Pak Herman sambil menunjuk Hamid. Hamid hanya nyengar-nyengir kuda.
“Heeee....dasarr!!!”, seruku pada Hamid. Hamid hanya tertawa terkekeh-kekeh saja.
“Sekali lagi, makasih ya Nak!”, kata Pak Herman senang sambil memelukku. “Mudah-mudahan mimpimu tercapai”.
“Amin! Tapi aku tinggal menunggu jawaban Allah saja”, kataku.
Setelah bercanda-canda lama sama Hamid, akhirnya ‘para tamu’ berpamitan pulang.
«««
Keesokkan harinya, aku sudah mulai nyambung dengan suasana. Jadi, aku sudah bisa belajar dan mengerjakan soal di buku kumpulan UN-ku.
Ketika sedang mengerjakan soal-soal, pintu diketuk. Nenek yang sedang menikmati pemandangan kota (padahal hanya gedung-gedung dan asap-asap kendaraan doang!) langsung menuju ke pintu untuk membukanya.
Ketika membuka pintu, ternyata Hamid yang membawa teman-teman kelasku!
“SAFIIR!!!!!”, Ali, orang yang pertama melihatku langsung menyambarku, diikuti oleh teman-teman lain. Ali langsung memelukku.
“Gila..sumpah, gue kangen banget sama lu, Saf!”, seru Ali sambil terus memelukku.
“Ali jangan lama-lama! Aku juga mau memeluk Safir!!”, kata Ja’far sambil memukul lengan Ali. Akhirnya satu per satu teman-teman mulai memelukku (yang perempuan, mah kagak! aku bakalan nekat kabur dari ruangan kalau ada yang mau memelukku!).
“Oya, Saf! Katanya kaki kirinya patah. Mana?”, tanya Hamid.
“Buka saja selimutnya”, jawabku sambil menunjukkan ujung selimut. “Satu orang saja yang buka! Takutnya kalau ramai-ramai, ada yang gak sengaja menyentuh gipsnya”, pintaku dengan sangat memohon. Ya sih, kalau ada sesuatu yang menyentuh gipsnya, sakitnya luar binasa..eh luar biasa!!
Hamid mulai membuka selimutnya. Mereka terkaget-kaget ketika melihat kaki kiriku digips.
“Safir, kalau gue pukul, gimana nih??”, ledek Ali sambil bergaya orang mau memukul.
“Eh..eh..!!! Kena laknatullah!!!”, teriakku histeris. Kami langsung tertawa terbahak-bahak. Setelah bercerita seru, mereka pun pulang.
Sebelum keluar dari ruangan, Hamid memberiku secarik kertas yang terlipat rapi. “Dari hamba Allah. Moga cepat sembuh setelah membacanya”, bisik Hamid kemudian keluar. Aku langsung membukanya...
Tersenyumlah...
Aku akan selalu tersenyum
Walau badai menghadangku
Aku akan selalu tersenyum
Walau musibah menginjakku
Aku akan selalu tersenyum
Walau hati ini terluka perih
Aku akan selalu tersenyum
Walau kegelapan menyelimuti lubukku
Aku akan selalu tersenyum
Walau hujan deras dan petir-petir mengguyurku
Aku akan selalu tersenyum
Walau api-api berkobar membakar jasmani
Aku akan selalu tersenyum
Walau makhluk-makhluk yang melata di Bumi ini memusuhiku
Aku akan selalu tersenyum
Walau ombak ganas menerpaku
Aku akan selalu tersenyum
Walau sinar matahari sadis menyengatku
Aku akan selalu tersenyum
Walau sang bintang telah pergi jauh meninggalkanku, bahkan tak kembali lagi

Aku akan selalu tersenyum...
Walau perih...
by : Marshanda (aku selalu mendoakan kakak! moga cepat     sembuh.. :D)
Aku langsung terharu membacanya. Aku teringat cerita Pengki ketika aku masih kelas 1 SMA. Marsha, yang pernah bilang ke Pengki bahwa aku mirip seperti kakaknya. Saking miripnya, aku pun kecelakaan persis seperti kakaknya dan sebabnya juga sama. Bedanya, alhamdulillah aku tidak sampai meninggal, walau sempat koma 2 minggu.
Pokoknya tiada hari tanpa dijenguk orang. Ada anak-anaknya Nenek, tetangga-tetangga, Pengki dan teman-teman..sampai ada Marsha juga, guru-guru, banyaklah!
4 Mei pun tiba. Harinya aku mengerjakan UN. Insya Allah aku bisa mengerjakannya. Pak Wisnu mengawasiku. Nenek menunggu di luar untuk mengawasi bahwa sementara jangan ada yang menjengukku dulu. Sampai 3 hari. 3 hari kemudian, wah!! Aku bebas!! Aku ingin teriak rasanya bahwa aku bebas!!!! Sayangnya, aku belum BEBAS dari rumah sakit, tempat yang paling kubenci seumur hidup. Mungkin saking bencinya, aku sampai kualat kali..ya (hehehe..)? Eh, tapi..ngomong-ngomong rumah sakit di kota lumayan nyaman, lho..gak kayak rumah sakit di kabupaten, apalagi puskesmas di desa (beeuuh..jangan ditanya bo!).
Suatu hari, ketika Nenek sedang pergi ke kabupaten untuk melihat kondisi Zahro, sementara aku ditemani Kakek, pintu diketuk. Kakek membukanya. Ternyata, Chelsea dan orangtuanya!
“Assalamualaikum, Safir! Gimana kabarnya??”, sapa Mrs.Simpson.
“Waalaikumsalam, alhamdulillah baik kok!”, jawabku sambil mencium tangan beliau.
“Safir, Kakek keluar sebentar ya”, kata Kakek. Aku mengiyakan. Kemudian, beliau keluar.
“Safir, ini Mr.Simpson, ayahnya Chelsea”, kata Mrs.Simpson sambil menunjuk seorang pria bule yang tinggi. “Beliau belum terlalu lancar berbahasa Indonesia”.
Nice to meet you (senang bertemu denganmu)!”, kata Mr.Simpson sambil menjabat tanganku. “Broken left leg, huh? (kaki kirinya patah, ya?)”.
“Oh..ya..ya! Just pull the blanket if you want to see it (tarik saja selimutnya kalau kamu ingin melihatnya)”, kataku sambil menunjukkan ujung selimut. Edan, Safir bisa ngomong lancar ternyata! Hahaha! :P
Well, you're fluent English, yes! (wah, bahasa Inggris kamu lancar, ya!)”, puji Mr.Simpson sambil menarik selimutnya. Terlihat, deh kaki kiriku yang lagi digips!
Owh, it seems painful! (owh, sepertinya menyakitkan!)”, kata Mr.Simpson dengan muka prihatin.
Yup, indeed! Be careful, do not be touched the plaster .. (yup, betul sekali! hati-hati, ya..jangan sampai tersentuh gipsnya..)”, pintaku dengan sangat memohon.
Don’t worry! (tidak masalah)”, kata Mr.Simpson sambil tersenyum. Baru kali ini aku berbicara sama orang bule, hehehe! Akhirnya beliau menutup selimutnya kembali.
“Oya Saf! Chelsea mau ngasih sesuatu, tuh!”, kata Mrs.Simpson sambil menunjuk Chelsea.
 Akhirnya, Chelsea menghampiriku sambil memberi satu cup Blackforest Mini. “Untuk Kak Safir”, katanya. Sementara, orangtua Chelsea berpamitan keluar sebentar. Aku pun mempersilahkan. Akhirnya, di dalam ruangan hanya ada aku dan Chelsea.
“Terima kasih, Chel..”, kataku sambil tersenyum. Tapi, Chelsea malah mulai menitihkan air mata.
“Chelsea kenapa?”, tanyaku heran. “Kenapa? Cerita, dong..sama Safir”.
“Maafkan Chelsea, ya kalau punya banyak salah...”, katanya pelan sambil terisak.
“Lho? Dalam rangka apa, nih..minta maaf? Selama ini Chelsea gak pernah salah, kok!”, kataku.
“Kak Safir sudah banyak berbuat baik sama aku, sampai-sampai membantuku supaya bisa meraih mimpiku. Tapi, apa yang telah kuperbuat sama Kak Safir? Justru aku tidak bertindak apa-apa ketika kakak tidak bisa mencapai mimpi kakak!”, ujar Chelsea lirih.
“Gak, ah! Chelsea, kan sudah menyumbang untuk pengobatanku, kan?? Justru kata Hamid, Chelsea adalah penyumbang terbanyak! Chelsea juga sudah memberitahuku supaya aku bisa naik pesawat. Itu sudah cukup bagiku. Aku gak perlu apa-apa, kok! Aku sudah banyak berterima kasih atas itu”, ujarku sambil mengelus rambutnya.
“Itu belum mencukupi, Kak!”, tukas Chelsea dengan mukanya yang basah.
“Ya sudah, biar mencukupi..Chelsea berdoa saja agar cepat sembuh dan bisa meraih mimpiku. Oke?”, ujarku.
“Oke, deh!!”, kata Chelsea kemudian. “Coba saja aku punya kakak seperti Kak Safir....”.
“Chelsea adik Kak Safir, kok! Tenang saja..”, candaku.
“Zahronya mau dikemanain??”, tanya Chelsea.
“Disimpan dalam hati, dong! Gimana sih?”, ujarku.
“Disimpan di hati? Gak muat, dong Kak! Hati, kan kecil”, canda Chelsea balik. Akhirnya kami tertawa bersamaan. Setelah itu, kami terdiam sejenak.
“Kak, cepat sembuh dong..biar bisa main ular tangga lagi di rumah Kak Hamid”, kata Chelsea sambil menggenggam tangan kananku. “Anak kelas 3 SMA sudah libur, tuh!”.
“Makanya..doain”, kataku. Chelsea hanya tertawa terkekeh-kekeh. Tiba-tiba, dengan refleksnya aku memeluknya (kalau adik kelas, sih gak apa-apa). Chelsea..yang selalu menghibur hatiku.....
«««
Beberapa minggu kemudian...
Tok..! Tok..! Tok..! Pintu ruangan diketuk. Nenek yang tadinya baca buku di sofa langsung berdiri untuk membuka pintu. Setelah itu, masuklah Tante Rini dan Zahro yang masih ada balutan perban di kepalanya, persis kayak aku.
Aku yang tadinya sedang menggonta-ganti channel TV (bagus semua sih, jadi gak tau mau nonton yang mana) langsung menyambutnya. “Eh..Dek! Sudah sembuh?”.
“Baru dibolehkan pulang sama dokternya”, beritahu Tante Rini. “Langsung dari rumah sakit, sih..jadi balutan perban Zahro belum dibuka”.
Aku hanya ber-ooh. “Zahro mau naik, gak?”, ajakku sambil menepu-nepuk ranjang, yang kebetulan memang masih ada ruangan (ranjangnya lebar sih, selebar sofa di rumah, hehehe!). Zahro langsung naik ke atas.
“Kok diam saja, sih? Habis pingsan?”, ledekku. Zahro hanya tersenyum kecut.
“Kenapa, Dek?”, tanyaku sambil merangkulnya. “TV di kota keren, lho! Ada kartunnya. Gak kayak TV di rumah, sinetron yang gak jelas semua”. Aku memilih channel yang ada kartunnya, supaya Zahro bisa menonton.
“Kak Safir, aku mau ngomong sesuatu yang sangaaat..penting!”, kata Zahro.
“Serius amat! Amat saja gak serius!”, ledekku lagi. Zahro paling suka diledek, biasanya kalau diledek suka tertawa ngakak. Kali ini hanya tersenyum kecut. “Mau ngomong apa?”.
“Kak..”, Zahro mulai bicara. “Kakak harus jujur. Jawab pertanyaan Zahro, ya!”.
“Ya..aku bakalan jujur, kok!”, ujarku. “Emang apaan?”.
“Pertanyaannya hanya satu : Zahro itu pembawa sial kakak ya...?”, tanya Zahro dengan nada sedih.
Aku langsung tersentak kaget. “Gak, ah! Zahro gak pembawa sial. Zahro gak pembawa sial, kok!! Suerr..!”.
Zahro mulai menangis. “Tapi..mengapa diri Zahro selalu membuat kakak mendapatkan musibah???”, tanya Zahro.
“Ah, masa?”, tukasku. “Biasa saja, lha!”.
“Zahro merasa bahwa diri Zahro itu pembawa sial!”, katanya sambil terisak-isak. “Ketika Zahro dilahirkan, Ibu meninggal. Padahal Kak Safir masih di sekolah, jadi gak bisa melihat wajah Ibu untuk terakhir kalinya. Sekarang, Zahro kecelakaan..yang bayar pengobatannya uang tabungan kakak. Padahal rencananya Kak Safir mau dibeliin tiket pesawat. Akhirnya mimpi kakak menjadi gagal. Tuh, kan? Zahro itu bencana bagi Kak Safir!!!”. Tangisan Zahro tambah deras.
“Eh..eh..Zahro gak boleh ngomong begitu!!”, tegurku. “Itu semua takdir, Zahro. Itu kehendak Allah. Bukan gara-gara Zahro. Zahro harus tau, di mata kita itu baik..belum tentu di mata Allah itu baik. Tapi, di mata kita belum tentu baik..bisa saja di mata Allah itu baik. Jadi, kita hanya menerima takdir saja! Awalnya pas Ibu meninggal, Kak Safir sempat menyalahkan Zahro. Tapi, Kak Safir sadar..ini sebuah takdir, bukan Zahro yang membuat Ibu meninggal. Kan umur, rezeki, dan jodoh kita hanya Allah yang tau. Zahro tau, gak meninggalnya kapan?”.
“Gak tau..”, jawab Zahro lirih.
“Gak tau, kan! Makanya, segala-galanya yang menimpa kita itu semua takdir. Kita menerima saja..yang baik ataupun yang buruk. Mungkin saja, suatu saat pasti akan digantikan yang lebih baik”, jelasku panjang lebar (tapi bukan rumus luas persegi panjang) sambil menghela napas sejenak. “Hidup itu pendakian. Semakin kita menuju puncak, akan semakin berat rintangannya. Sama seperti hidup yang kita jalani sekarang. Dan, setiap kita mencoba melewati rintangan, pasti kita bakalan terjatuh. Nah, kita harus siap dan berani untuk terjatuh dan jangan pernah diungkapkan lagi! Lihatlah Kak Hasan. Setelah lulus SMA, dia langsung bekerja dan tidak kuliah, karena waktu itu kita benar-benar sedang krisis ekonomi. Padahal kalau dia kuliah, dia akan memilih jurusan yang bisa bekerja sebagai arsitek. Kan..mimpi Kak Hasan ingin menjadi arsitek dan bisa merancang bangunan terindah di Indonesia. Tapi..sampai sekarang Kak Hasan menjadi apa? Tukang kuli, kan? Walaupun begitu, Kak Hasan tidak patah semangat dan terus berjuang demi meraih mimpi, walau mimpi itu datang berpuluh tahun lagi..! Intinya..kita itu menjalani hidup saja dan serahkan semuannya kepada Allah. Tidak perlu menentang! Sesungguhnya, Allah itu Maha Adil, Za. OKE?!”.
Akhirnya Zahro bisa tersenyum. “Kak, Zahro ingin seperti Ibu...”.
“Zahro memang mirip Ibu, kalii!!”, candaku. “Zahro, kan pintar bercerita ya? Dulu, Ibu juga suka menulis cerita. Zahro kembangkan saja bakatnya”.
“Oya??”, tanya Zahro meyakinkan dengan mata berbinar-binar. “Waah..berarti Zahro kayak Ibu! Nanti Zahro bakal menulis cerita kayak Ibu”.
“Zahro juga harus punya mimpi, dong”, bujukku.
“Mimpi Zahro apa, ya?”, gumam Zahro sambil bergaya seperti seorang ilmuwan yang sedang berpikir, buatku tertawa ngakak. “Gini saja, deh! Zahro ingin menulis buku cerita, terus dicetak di seluruh Indonesia dan di luar negeri.Terus, difilmkan, deh!! Ditayanginnya juga di seluruh dunia!”.
“Amiin...”, ujarku. “Camkan dalam hati Zahro, supaya dari sekarang Zahro bisa mengejar mimpinya”.
“Oke, deh! Zahro janji!!”, kata Zahro sambil mengacungkan kelingkingnya. Aku pun turut membalasnya. Setelah itu, Zahro menikmati film kartunnya. Aku hanya ikut-ikutan menonton saja, walau gak terlalu menyimak. Aku hanya menyimak untuk mendengarkan ocehan Zahro yang gak karuan setiap kartun itu berbuat tingkah aneh atau lucu. Sampai kami tertidur...
“Mak, Zahronya tidur di ranjang, tuh!”, beritahu Tante Rini setelah puas bercakap-cakap dengan Nenek.
“Ya sudah, gak usah dibawa pulang. Biarin saja”, ujar Nenek. “Lagi kangen kali sama kakaknya. Makanya ketiduran di ranjang..”. Kemudian Nenek mengambil remot yang masih tergenggam di tangan kananku. Akhrinya, Nenek mematikan TV-nya.
“Ayahnya Safir dan Hasan kapan ke sini?”, tanya Tante Rini sambil beranjak berdiri, siap-siap untuk balik ke rumah.
“Pas tanggalnya si Safir menerima ijazah”, jawab Nenek. “Gak tau, tanggal berapa. Yang jelas akhir bulan Juni”.
Tante Rini hanya ber-ooh kemudian berpamitan untuk pulang. “Salam buat Hasan, Safir, sama Zahro..ya. Kalau si Hasan, mah pas dia datang saja”. Akhirnya beliau menutup pintu.
“Ya..insya Allah..”, ujar Nenek kemudian tidur di sofa empuk, lebih empuk daripada kasur Nenek di rumah. Hahaha..namanya juga barang-barang kota, pasti bagus! ;-P
«««

Bab 13 : Akhirnya.....

Tanggal 28 Juni...hari pembagian ijazah.
Yaah...hari ini, kan acara wisuda. Huhuhu...terpaksa aku gak bisa datang karena masih harus di rumah sakit, walau kaki kiriku tidak digips lagi. Dan..gak jadi 4 bulan, jadinya 3 bulan saja. Jadi, minggi depan baru bisa keluar. Pasti teman-teman lagi asyik-asyiknya, deh lempar-lemparan topi.., gumamku. Di acara wisuda, acara yang paling asyik ketika melempar topinya. Wah, pas acara itu, dengan sekuat tenaga kulempar setinggi-tingginya..dan alhasil, mendarat di kepala orang lain. Dan orang itu ialah seorang bapak-bapak (dan bapak-bapaknya botak lagi!)! Itu, sih..ketika waktu SD (jadi maklumin sajaa...). Kalau SMP, mendaratnya malah pas di mukaku sendiri, karena waktu itu aku mendongak ke atas untuk berjaga-jaga supaya topinya gak mendarat di kepala orang. Eh, malah mendarat di muka si pelempar. Benar-benar memalukan! Kalau SMA? Topinya saja gak ada. Mau lempar apa, dong? Gak mungkin, kan aku lempar piring, ntar malah jadi piring terbang. Terus, dikira orang UFO lagi. Huh, percaya saja hal seperti itu.
2 hari sebelum tanggal itu, Ayah dan Kak Hasan sudah sampai di desa pada siang hari. Malamnya, Ayah dan Kak Hasan langsung ke As-Syifa untuk menjengukku.
“Halo, Dek! Apa kabar..!”, Kak Hasan langsung menyambutku hangat. “Wah..wah..wah..sebentar lagi 17 tahun, nih! Sudah dewasa nih! Bentar lagi lepas seragam nih! Bentar lagi gak duduk di bangku sekolah nih!”. Kak Hasan terus saja meledekku habis-habisan.
Aku juga turut membalas, dong! “Wah, Kak Hasan. Sudah 24 tahun nih! Bentar lagi nikah, dong! Hahaha!!!”. Seketika, Kak Hasan langsung melempar bantal sofa ke arahku. Aku pun turut membalas dengan melempar bantal sofanya balik. Alhamdulillah, tangan kiriku akhirnya bisa digerakan juga, walau masih sedikit nyeri.
“Wah, bahaya nih kalau Safir sama Hasan dipertemukan”, ujar Ayah sambil menggeleng-gelengkan. “Bisa-bisa ada perang dunia ke-3!”.
“Bukan perang dunia ke-3 lagi”, sahut Kakek. “Malah sampai ke-5! Perang terus kerjanya!”. Semua pun tertawa terbahak-bahak.
“Tapi Zahro jadi penengahnya, biar perangnya gak terus-terusan!”, kata Zahro polos sambil menunjukkan diri.
“Jih? Adik kecil mah, jangan nyempil dong! Nanti malah tertembak dengan pistolnya Safir”, ledek Kak Hasan. Zahro langsung memampang muka cemberut sambil memukul-mukul lengan Kak Hasan. Suasana menjadi semakin penuh dengan tawaan..!
Hari ini adalah pembagian ijazah...membuatku terus deg-degan, sampai-sampai detak jantungku terdengar oleh Kak Hasan.
“Kenapa, DeK? Kok deg-degan terus?”, tanya Kak Hasan yang duduk di sampingku sambil menggonta-ganti channel TV. Sekarang gantian, yang menjagaku Kak Hasan. Tapi, nanti malam Nenek, Kakek, dan Ayah ke sini. Soalnya, hari ini Ayah mau ke sekolah dulu untuk menanyakan kapan aku bisa mengambil ijazah.
“Hari ini, kan pembagian ijazah...”, beritahuku.
“Safir, mah..pasti dapat ijazah kok! Hasan gak bakalan percaya kalau Safir sampai gak dapat. Safir, kan pintar..gak kayak kakak”, hibur Kak Hasan. “Safir pasti juga bakalan bisa kuliah, kok! Insya Allah Ayah dan kakak dapat rezeki banyak, jadi bisa bayar kuliah kamu kelak”.
“Hehehe...aku biasa-biasa saja, ah”, tukasku pelan. Aku jadi sedih melihat Kak Hasan. Lulus SMA langsung menjadi tukang kuli, membantu Ayah hanya karena gak ada biaya. Sekarang, Kak Hasan memaksaku untuk kuliah. Pasti Ayah dan Kak Hasan akan ‘lebih’ membanting tulang, deh untuk menghasilkan uang lebih banyak. Ntar ditambah lagi Zahro, yang mau duduk di bangku SD. Gak tau, deh si Zahro sekolah di kabupaten atau di kota..! “Yang penting mimpiku tercapai, Kak..”. Aku masih teringat kata-kata Kak Hasan 10 tahun yang lalu.
“Safir pasti juga bisa terbang, kok! Hasan percaya..!!”, Kak Hasan terus mendukungku sambil merangkulku. “Tunggu saja kabar Ayah nanti malam!”.
Mudah-mudahan saja lulus..., gumamku dalam hati sambil terus deg-degan tanpa berhenti.
Malamnya...
Pintu diketuk ketika aku selesai makan malam. Kak Hasan bergegas membuka pintu. Pas pintu dibuka, teman-teman kelasku berhamburan masuk sambil berebutan memelukku. Wajah mereka basah dengan air mata. Lho, kenapa ini..bukannya mereka bangga karena mendapatkan ijazah? Soalnya kulihat terdapat ijazah di setiap tangan mereka. Tapi kok jadi menangis? Bahkan Ali yang biasanya suka bergila-gilaan ketika senang sekali, malah menangis paling deras. Kulihat wajah Hamid yang paling merah diantara teman-teman. Mengapa teman-teman pada menangis?
“Selamat, ya Safir...”, lirih Ali sambil menjabat tanganku, disertai dengan teman-teman lainnya.
“Ya Allah..Safir, gak nyangka..selamat ya! Aku saja kagak!”, ucap Melly ketika menjabat tanganku.
“Teman-teman, ada apa sih??”, tanyaku akhirnya karena gak tahan lagi. “Ikut perlombaan saja kagak!”.
“Ah..selamat saja! Saking selamatnya, kami terharu”, kata Hamid sambil memakaikan topi wisuda abu-abunya di kepalaku yang masih dibaluti perban.
“Huu...Safir..hiks..tunggu saja jawabannya...hiks..di Pak Wisnu..hiks..”, kata Maryam sesenggukan.
Ketika itu..Ayah, Zahro, Nenek, dan Kakek masuk ke ruangan. Wajah mereka penuh dengan basahan air mata.
“Safir...Ayah bangga sekali padamu, Nak..!”, seru Ayah tiba-tiba sambil memelukku penuh haru. Jih? Ayah pun ikutan menangis.
“Huu..nanti Kak Safir bakal meninggalkan Zahro sendirian..gak bisa jalan-jalan pakai sepeda lagi..”, kata Zahro sambil menangis meraung-raung. Zahro yang masih kecil juga ikutan menangis?
Kak Hasan yang gak tau masalah ini, langsung dibisikan Kakek. Bisikan itu cukup lama. Selesai dibisikan, muka Kak Hasan juga mulai merah dan satu per satu mulai meneteskan air mata. Kemudian Kak Hasan menghampiriku lalu memelukku (pelukan Kak Hasan paling erat dari yang lain). “Ya Allah...Safir, Hasan gak nyangka kalau kamu bisa seperti ini...”. Aduh, aku mulai semakin deg-degan. Jangan-jangan aku gak lulus lagi! Oh, tidak..Safir! Jangan berprasangka buruk dulu. Tapi, kok teman-teman mengucapkan selamat, sampai-sampai Hamid memakaikan topi wisudanya di kepalaku?
Beberapa lama kemudian, Marsha (dengan topi wisuda merah di kepalanya), Chelsea, Pak Herman dan Pak Wisnu datang. Muka mereka juga basah dengan air mata! Muka Pak Herman yang paling merah.
“Kak Safir...selamat....”, ucap Marsha sambil berlari ke arahku dan memelukku. “Kak Safir hebat, bahkan lebih dari hebat, bisa mendukung Indonesia...”.
“Kak Safir...Chelsea kagum sama kakak...”, puji Chelsea sambil ikut memelukku. Pak Wisnu dan Pak Herman mulai mendekatiku.
“Pak Wisnu, ada apa ini..sebenarnya?”, akhirnya aku bisa bertanya pada beliau.
“Selamat, ya Safir...kamu benar-benar mengharumkan nama sekolah”, puji Pak Herman sambil menjabat tangan dan memelukku. Pak Wisnu juga ikut menjabat tanganku.
“Kamu tau Safir...”, Pak Wisnu mulai memberitahu. “Kamu memang lulus, tapi ada tambahannya lagi..”.
“Tambahan apa, Pak?”, tanyaku. “ Ada sesuatu yang diberi selain ijazah?”.
“Betul sekali!”, jawab Pak Wisnu sambil membelai kepalaku. “Safir tau..kalau Safir langsung mendapatkan beasiswa dari dinas pendidikan...”.
Aku langsung terbelalak kaget. Mungkin mataku hampir keluar karena mendengar berita ini. Gak mungkin, aku benar-benar tak percaya mendengarnya!
Kemudian Pak Wisnu mulai melanjutkan. “Waktu itu, dinas pendidikan datang untuk membawa hasil-hasil nilai UN anak-anak. Biasanya, sih nilai-nilainya dikirim. Tapi, kali ini langsung dikasih sama dinas pendidikannya. Pas itu, salah satu bapak dinasnya bilang begini : ‘Pak, anak kelas 3 SMA yang namanya Safirul Huda itu sekolah di sini, kan?’. Pak Wisnu bilang : ‘Iya, Pak..emang kenapa?’. Beliau bilang : ‘Pak, saya mau bilang bahwa nilai anak itu ternyata paling tinggi se-Jawa Barat! Karena itu, saya mengusulkan kayaknya dia gak bisa kuliah di universitas yang ada di Indonesia, walaupun di UI. Dia bisanya di luar negeri. Jadi, tolong berikan beasiswa ini ke dia, dan beasiswa ini juga atas kerjasama dinas pendidikan. Beasiswa ini dari universitas di Inggris jurusan teknik penerbangan’. Ya sudah, Pak Wisnu langsung terharu mendengarnya. Terus, beliau melanjutkan : ‘Transportasi dengan bayarannya biar kami yang bayar, karena kami sudah terlalu bangga dengan anak itu, walaupun kami belum pernah melihat wajah anak itu. Hmm..titip salam saja, ya Pak..dari kami semua’. Akhirnya mereka pulang ke kantornya lagi”.
Kali ini, giliran aku yang mulai menangis..setelah mendengarkan ceritanya. Aku..seorang anak desa..yang UN-nya di rumah sakit..yang impiannya belum tercapai..tapi, atas kekurangan itu semua, Allah telah memberikan persembahan ini semua. Persembahan yang belum pernah orang-orang alami. Coba kutanya, ada gak, sih..orang yang dapat beasiswa langsung dari dinas pendidikan? Adanya juga dari sekolah. Kalau seandainya benar-benar ada, pasti jarang banget, kan? Anak Ayah yang pertama gak kuliah, langsung kerja. Tapi..anak Ayah yang kedua ini..kuliah langsung ke luar negeri! Ya Allah..Engkau Maha Adil. Berjuta-juta sujud ingin kupersembahkan kepadamu..setelah aku sembuh nanti.
“Ngomong-ngomong..kuliahnya dimana?”, tanyaku.
“Kan sudah dibilang, kalau di Inggris”, jawab Pak Wisnu.
Aku langsung terbelalak kaget. “Berarti Safir ke sana dengan....”
“PESAWAT!!”, seru semua orang berbarengan. “Safir bakalan terbang!”.
Air mataku mengalir semakin deras. Alhamdulillah...mimpi Safir ternyata tercapai! Ya Allah...sekali lagi Engkau Maha Adil..terlalu adil!!
“WAAAH!!! SAFIR TERBAAANG!!!”, seruku kayak orang norak.
“Huu....malah senang karena naik pesawat. Coba kalau berenang”, ledek Hamid. Semua orang langsung tertawa terbahak-bahak, bahkan Zahro yang masih kecil dan belum terlalu tau apa-apa malah ikutan tertawa.
“Hah, tadi apaan?”, tanya Kakek kepada Kak Hasan karena kurang mendengarkan. “Lanjut..ikut ketawa juga deh! HAHAHA!!”.    
“Dasar Kakek...”, kata Kak Hasan sambil terus tertawa.
Benar-benar hari menyenangkan..!
«««
Tanggal 10 Juli...
Aku mulai membawa tas ransel gunung bekas Ayah dulu (maklum orang desa..gak ada koper, jadi pakai ransel gunung saja :P) kemudian mulai memasuki stasiun.
“Bentar lagi, Saf..”, kata Ayah sambil melihat jam tangan. “Langsung ke kereta saja..”. Akhirnya aku dan para pengantarku yakni Ayah, Kakek, Nenek, Kak Hasan, Hamid, Chelsea, dan Marsha, berjalan menuju ke gerbong kereta.
Ketika sudah sampai.. “Pak Herman duluan saja..”, kataku. Akhirnya beliau duluan untuk memasuki kereta. Aku berangkat ke Inggris bersama Pak Herman, soalnya pas sudah tes dan melihat hasilnya, katanya Pak Herman gak bisa belajar di UI, tapi belajarnya di Inggris, karena Pak Herman sudah terlalu pintar dan hasil tesnya betul semua! Akhirnya, Pak Herman dikasih beasiswa, yang di dalamya sudah termasuk transportasi dan bayarannya. Ya sudah, kami berbarengan saja.
“Safir, belajar yang rajin ya di sana!”, pesan Ayah. “Karena Safir anak Ayah satu-satunya yang sangat diharapkan..”.
“Janji, kok Yah”, kataku sambil mengacungkan kelingking. Ayah pun membalas. Aku menyalami Ayah.
“Safir minta doa, ya..Yah!”, pintaku sambil memeluk Ayah. Aku mulai merasakan kalau air mataku berjatuhan lagi. Ayah..yang membanting tulang demi memenuhi kebutuhan hidupku..dan sekarang aku bisa membahagiakannya.
“Abang juga harus hidup mandiri di sana..”, pesan Nenek. “Kan Abang gak punya keluarga di negeri seberang”. Aku mengiyakan sambil menyalami Nenek dan memeluknya. Nenek yang selama ini selalu kuat dan memerhatikanku tanpa keluhan, walau beliau sudah tua.
“Wah..cucu Kakek hebat!”, puji Kakek sambil menepuk pundakku. “Nanti balik ke sini lagi malah jadi orang bule”.
“Haha..Kakek ada-ada saja”, kataku sambil tertawa ngakak. Kakek..seseorang yang selalu menghiburku dalam kondisi apapun. Aku pun menyalami Kakek dan memeluknya.
“Dek..jangan lupakan Kak Hasan, ya!”, mohonnya.
“Gak..gak bakalan kok!”, kataku sambil memeluknya. Terima kasih banyak, Kak Hasan! Kalimatmu yang terlantun 10 tahun yang lalu..bisa membuatku menjadi seperti ini. Aku akan mendoakanmu, Kak..supaya impianmu tercapai.
“Zahro..tetap semangat, ya! Walau gak ada aku. Ingat pesanku dulu ketika di rumah sakit”, pintaku pada Zahro sambil membelai kepalanya.
“Janji, kok Kak! Berbagai macam cerita yang Zahro tulis kelak akan persembahkan hanya untuk Kak Safir”, tuturnya sambil mengacungkan kelingking. Aku pun membalasnya sambil memeluknya. Zahro..yang selalu membuatku tersenyum meskipun dia sering bertingkah menyebalkan. Kali ini dia harus kehilangan kedua kakaknya.
“Safir, jangan lupakan sahabat lama..!”, mohon Hamid.
“Sahabat selalu abadi, kok!”, kataku sambil memeluknya. Hamid..6 tahun ini kita selalu bersama. Tapi, sekarang aku harus pergi meninggalkanmu jauh. Tapi, engkau akan selalu di hatiku. Sahabat yang sangat setia dalam hidupku.
“Kak Safir..”, panggil Marsha.
Aku yang masih memeluk Hamid langsung menolehnya. “Iya, Marsha...?”.
“Kak Safir mirip Kak Ustman..”, tuturnya sambil menangis. “Selama ini Kak Safir sangat setia bersamaku. Terima kasih, Kak..telah menjadi kakakku...”. Kata-katanya menyentuh lubuk hatiku. Aku langsung memeluknya. Gara-gara puisinya..yang pernah dia beri ketika aku di rumah sakit, hatiku menjadi terobati. Awalnya aku benar-benar pasrah atas hidupku ini..karena puisinya yang membangun semangatku, aku menjadi semangat kembali. Terima kasih, Marsha..puisinya akan selalu kusimpan.
“Kak Safir, jangan lupakan Chelsea..ya..”, pinta Chelsea.
“Chelsea, mah gak bakalan Safir lupakan”, kataku. “Berjuang terus, Chel! Agar bisa menjadi astronot!”. Chelsea tersenyum. Aku memeluknya. “Chelsea itu adik Safir”, bisikku sambil memeluknya semakin erat. Aku bisa merasakan pundakku yang basah karena air mata Chelsea.
Setelah acara tangis-tangisan bersama, aku mulai memasuki kereta. Pas kereta mulai berangkat, aku melambaikan tangan kepada mereka semua.
Mereka...orang-orang yang selalu terikat di hidup ini..
«««
Kami berangkat ke Jakarta dengan kereta. Setelah menempuh perjalanan delapan jam, kami langsung ke bandara. Wow! Baru kali ini aku melihat bandara. Luas banget..mungkin seluas desa, orang-orang ramai banget ingin berlibur, pokoknya aku sampai cangak seperti orang blo’on. Maklumlah..orang desa yang katro!
“Kita naik pesawat 2 kali”, beritahu Pak Herman. “Dari Jakarta ke Singapur dulu. Setelah itu, dari Singapur ke Inggris, deh”.
Asyiik...naik pesawat 2 kali sekaligus. Hei, ngomong-ngomong pesawat gratis lagi, yang pernah Hamid bilang ketika di tangga sekolah!
Hmm..kalau naik pesawat banyak peraturannya, ya! Salah satunya gak boleh membawa benda tajam atau benda berbahaya lainnya. Pokoknya, penjaganya sangat ketat!
Jam keberangkatannya 15 menit lagi. Jadi, kami bermaksud untuk duduk-duduk di ruang tunggu.
15 menit kemudian, ada speaker yang bilang bahwa pesawat kami sudah datang. Jadi, bisa masuk sekarang. Orang-orang pada beramai-ramai berdiri dan berjalan keluar untuk memasuki pesawat. Aku dan Pak Herman juga ikut berdiri.
“Pak, nama transportasi itu apa?”, tanyaku ketika sampai di luar. “Besar sekali!”.
“Itu yang namanya pesawat, Safir!!!”, ujar Pak Herman sambil memukul pundakku. “Gimana, sih?”.
Oooh..itu yang namanya pesawat, gumamku. Wow, besar sekali! Bisa menampung satu penduduk desa, tuh!
Setelah mulai memasuki pesawat, kami mencari tempat duduk sesuai yang terdapat dalam tiket. Aku bermaksud untuk duduk di dekat jendela.
“Lho, ini apaan??”, tanyaku sambil menunjukkan sesuatu yang bertali kepada Pak Herman.
“Itu namanya sabuk pengaman”, jawab beliau. “Kalau mulai berangkat, harus dipasang”. Aku hanya ber-ooh.
“Oya, Hp dimatikan, ya ketika berangkat”, kata Pak Herman sambil mematikan Hp-nya.
“Pak, saya kan gak ada Hp”, beritahuku.
“Ooh..gak ada, ya? Maaf”, kata Pak Herman. “Siapa tau kalau suatu saat sudah punya Hp gitu..hehehe”. Aku hanya tertawa kecil.
“Emang kenapa dimatikan?”, tanyaku.
“Kan Hp ada jaringanya, nanti bisa berakibat bencana bagi pesawat”, jawab Pak Herman. “Pesawat dengan radar butuh bekerjasama. Jadi kalau Hp-nya dihidupkan, jaringan antara pesawat dengan radar bisa bertolak-belakang. Itu bisa berakibat pesawatnya jatuh!”. Aku hanya ber-ooh lagi.
Setelah beberapa lama kemudian, pesawat mulai siap-siap untuk terbang. Ketika mulai naik ke atas..
“Pak, telingaku kok sakit?”, tanyaku sambil menahan sakit.
“Ooh...karena tekanan, sih”, jawab Pak Herman “Nih, makan permen. Biar gak sakit”.
Aku mengambil satu bungkus permen kemudian memakannya. Setelah pesawat benar-benar terbang, aku melihat ke arah jendela. Subhanallaaah....Maha Suci Allah dalam segala Dzat-Nya...lihat, aku terbang teman! AKU TERBANG!!! Ingin rasanya aku berteriak seperti itu. Cuma nanti mengganggu suasana orang. Ya lha, nekat amat teriak dalam pesawat! Apakah ini mimpi?? Aku mencubit lenganku. Rasanya sakit. Berarti..ini bukan mimpi. Ini KENYATAAN!!!
Lihatlah..awan-awan yang menggumpal..bagaikan buntalan kapas yang lembut. Bentangan langit biru sejauh mata memandang..bagaikan cakrawala yang menyanggah tegak. Lihatlah ke bawah, mobil-mobil bagaikan semut-semut yang berjalan, hamparan sawah-sawah dan hutan-hutan bagaikan karpet hijau dari beludru, gedung-gedung yang menjulang tinggi bagaikan tiang-tiang langit, lautan yang luas bagaikan daratan biru yang tinggal diinjak saja (tapi jangan benar-benar terjun, nanti malah tenggelam lagi!), subhanallah...rasanya ingin keluar dan bermain-main di atas awan! Saking kagumnya..aku sampai tertidur di dekat jendela pesawat.
Ya Allah...aku benar-benar terbang sekarang! Mimpiku tercapai! Perjuanganku selama ini ternyata sangat tidak sia-sia..walau aku telah terjatuh berkali-kali. Tapi..seikat mimpi pasti bakalan tercapai walau hanya ditempuh seuntai jalan saja, asal dengan keberanian dan berusaha! Alhamdulillahi robbil’alamiin....berjuta-juta sujud kupersembahkan kepada-Mu ya Allaah.....
«««

Bab 14 : Epilog

San Francisco Airpots Commissions (Bandara Internasional San Francisco), San Fransisci, Amerika Serikat, 8 tahun kemudian...
Setelah aku lulus kuliah di Inggris dengan mendapatkan penghargaan sebagai pilot muda terhebat, aku langsung dikirim ke Bandara Internasional San Fransisco di Amerika. Disitulah aku bekerja sebagai pilot pesawat internasional, sampai sekarang. Kini, aku sudah berumur 25 tahun. Sedangkan Pak Herman, beliau sudah menjadi arkeologis..sampai sekarang. Sekarang beliau bekerja di Rusia.
Walaupun aku terletak jauuuuh banget dari kota di Jawa Barat, tapi aku masih bisa dapat informasi tentang keluarga dan teman-temanku. Dapat darimana? Dari e-mail dong! Aku kan sering chatting sama Hamid dan Kak Hasan. Aku juga sering chatting sama Pak Herman!
Oya, ada berita duka bagiku. Nenek dan Kakek sudah pulang ke rahmatullah. Peternakan yang ada di desa kini diurus oleh Ayah yang sudah pensiun. Sekarang Ayah hidup sendirian di desa. Kata Kak Hasan, Ayah sengaja menyendiri karena hanya ingin menunggu umur. Ayah sudah yakin bahwa anak-anaknya sudah bisa menjalani hidup sendiri.
Kak Hasan yang sudah berumur 32 tahun dan sudah menikah (prikitiww...pas mendengar berita itu aku meledeknya habis-habisan, hahaha!), kini tinggal di kota bersama Zahro, yang sekarang sudah berumur 13 tahun dan duduk di bangku SMP. Oya, sekarang Zahro sekolah di sekolahku dulu! Dia sekolah di situ dari SD, karena kepala sekolah tempat Zahro TK bilang bahwa dia bisanya sekolah di kota, karena IQ-nya cukup tinggi (kayak kakaknya gitu.. :P). Beruntungnya lagi, sekarang Kak Hasan menjadi arsitek terhebat dan terkenal di Indonesia! Kak Hasan sudah bisa meraih mimpinya, yaitu merancang bangunan terindah. Kini, bangunan indah hasil rancangan Kak Hasan sekarang dijadikan hotel bintang tujuh di Jakarta dan mendapat penghargaan dari berbagai macam negara. Berkat itu, Kak Hasan mendapatkan penghargaan dari presiden serta MURI, sebagai arsitek terkreatif di Indonesia. Karena itu, Kak Hasan menjadi kaya raya dan bisa membiayai sekolah Zahro.
Kalian tau? Sekarang Zahro menjadi penulis novel tercilik, lho! Dan buku-bukunya juga best-seller. Zahro juga mendapatkan penghargaan dari presiden sebagai penulis novel cilik terlaris di Indonesia. Kak Hasan bilang, setiap Zahro mengucapkan terima kasih yang ditulis di bukunya, pasti namaku dicantumi nomor tiga. “...yang ketiga, saya mengucapkan terima kasih kepada kakak laki-lakiku, salah satunya Kak Safir yang selalu menyemangatiku untuk terus berjuang mengejar mimpi, walau sekarang dia sedang bekerja di negeri seberang. Kemudian Kak Hasan....”. Dasar Zahro, mencantumkan dimana aku berada juga!
Bagaimana dengan Marsha dan Hamid? Kata Hamid, Marsha menjadi penyair terhebat! Bahkan puisi-puisinya kalau dinilai bisa melebihi Chairil Anwar! Tapi, kata Hamid, semua puisi yang Marsha buat sebenarnya tentang aku. Aduh, emang seperti apa sih puisinya (psst..satu info tentangnya : Marsha dan Pengki lagi PDKT, prikitiww..! :P)? Dan sahabatku, Hamid, sekarang menjadi anggota majalah National Geographic, dan dia menjadi fotografernya. Mimpi Hamid pun tercapai, karena dia bisa memotret alam dan sekitarnya. Kalau Chelsea..? Gak tau, deh! Soalnya dia sudah kembali ke asalnya. Hei, aku kan juga berada di Amerika! Mudah-mudahan saja ketemu kelak! (hehehe...)
Oya, di sini..aku juga punya sahabat baru sekaligus co-pilotku. Namanya Eddy. Dia lima tahun lebih tua dariku. Dia memang asli Amerika, tetapi dia bisa berbahasa Indonesia. Soalnya dulu dia mempunyai usaha untuk bisa berbicara bahasa Indonesia karena tertarik dengan negara Indonesia. Karena itu, dia selalu belajar bahasa Indonesia sendirian. Makanya dia bisa ngomong bahasa Indonesia sekarang dan fasih banget. Bahkan negara kesukaannya selain Amerika, yaitu Indonesia. Dia ingin sekali punya teman dari Indonesia. Eh, dia pun akhirnya mendapatiku. Akhirnya kami menjadi sahabat. Tapi, aku juga gak bakalan melupakan Hamid dong!
Aku suka pekerjaanku, soalnya sekarang aktivitas sehari-hariku adalah membawa penumpang dengan pesawat ke berbagai macam negara. Pokoknya seru deh! Tapi resikonya, aku jarang pulang ke rumah. Dari aku mulai kuliah di Inggir sampai sekarang aku menjadi pilot, aku belum pernah menginjak Indonesia lagi. Mengetahui tentang orang-orang yang aku sayangi hanya bisa lewat dunia maya, dan melakukannya juga sangat sebentar, setiap malam hari setelah bekerja. Dan ‘malamnya’ aku pulang, paling lambat juga jam 11.30 malam (waktu di Amerika). Istirahatku memang sangat sebentar, soalnya jam 06.00 pagi sudah harus berangkat untuk bekerja lagi. Terus, aku harus membawa koperku kemana-mana, soalnya tempat tinggalku tidak menetap. Bisa saja jam penerbangan terakhir berhenti di Cina, Brasil, Perancis, atau negara lainnya. Dari awal aku memulai pekerjaanku sampai sekarang, aku belum pernah menetap di Amerika. Tapi aku menjalankannya dengan senang dan enjoy, karena ‘terbang’ itu memang impianku sejak aku masih duduk di bangku SD.
«««
Bandara Internasional San Francisco, jam 10.30 malam...
“Akhirnya, perjuangan kita berhenti di Amerika juga, bro!”, kata Eddy dengan tampang lelah tapi bahagia.
“Ternyata perjalanan dari Moskow-San Fransisco lama juga, ya!”, kataku sambil menarik koperku (sekarang bukan tas gunung lagi, hehehe).
Bro, menginap di rumahku saja, yuk!”, pinta Eddy. “Aku sudah menelpon temanku untuk menjemput. Oya, kamu belum pernah melihat istriku, ya? Nanti aku kenalkan, oke!”. Aku hanya tertawa. Temanku ini memang sudah berkeluarga, aku saja belum.
Dalam perjalanan kami menuju luar bandara tersebut, aku melihat segerombolan orang-orang Rusia dengan jaslabnya yang masih terpasang sedang mengambil koper-koper mereka sambil berbicara dengan serius sekali.
“Ed, itu orang-orang Rusia yang kita bawa, kan?”, tanyaku meyakinkan pada Eddy sambil menyikutnya. “Tapi, kok pada pakai jaslab?”.
“Mereka itu para astronom dari Rusia, bro!”, beritahu Eddy. “Mereka bekerjasama dengan NASA. Setahuku, mereka datang ke sini mau ke kantor NASA untuk mendiskusikan tentang peneliti mereka”. Aku hanya ber-ooh pelan. Tak terasa, kami sudah sampai di luar.
Sementara Eddy sibuk menelpon temannya, aku duduk di kursi yang telah disediakan.
“Safir..”, tiba-tiba Eddy meneriakiku. “Temanku akan menjemput kita di Pintu Timur. Jadi kita harus stand by di pintu tersebut”.
Fiuh, lagi enak-enaknya duduk disuruh jalan lagi. Akhirnya aku beranjak dari kursi dengan kepala tertunduk karena sangat dan sangat lelah.
Karena menunduk, tak sengaja aku menabrak seorang wanita. BRUK! Dokume-dokumen yang dia bawa berjatuhan.
Sorry, sorry, I did not intentionally! I really apologize! (maaf, maaf, aku tidak sengaja! aku benar-benar minta maaf!)”, tuturku merasa bersalah sambil membantunya mengambil dokumen-dokumen yang berjatuhan. Ketika ingin mengambil kertas terakhir, tiba-tiba aku menyentuh tangannya yang ingin diambilnya juga. Spontan kami berdua langsung kaget dan menarik tangan kami.
“Waduh, maaf!!”, tuturku lagi. Saking kagetnya, aku sampai keceplosan berbicara bahasa indonesia. Memalukan..!!
“Tidak apa-apa, kok!”. Eh, seorang wanita itu membalasnya dengan bahasa indonesia juga!
Karena penasaran, aku mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya. Hei, tapi kami malah saling bertatapan! Tunggu dulu, aku mengenal wajah ini.
Dia, kan.. CHELSEA!! Dia sedang menggunakan jaslabnya! Jangan-jangan, dia sudah menjadi astronom lagi, sesuai impiannya!
Allah telah memberikan seuntai kejutan kepadaku...
“Kak....Kak...Kak Safir??”, gumamnya terbata-bata. Dia juga kaget seperti aku. “Kakak itu pilot yang membawa pesawat dari Moskow bukan?”.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Dia pun membalasnya.
 Dia tersenyum dengan sangat manisnya, senyuman paling manis yang pernah kulihat.
Angin sepoi-sepoi yang lembut membelai rambutku dan Chelsea, seperti mengucapkan selamat kepada kami.
Para bintang dan rembulan yang menjadi saksi atas pertemuan indah ini...
«««


[1] sangat (dalam b.sunda)